REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Denny Kodrat, Pengamat Pendidikan
Jagat pendidikan Indonesia berguncang gara-gara 11 profesor dari salah satu universitas melakukan rekayasa dalam pengajuannya. Ujungnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menjatuhkan sanksi dengan menurunkan level akreditasi perguruan tinggi tersebut.
Sebelumnya, masih tentang profesor, publik pun disuguhkan dengan perdebatan politisi menjadi profesor. Sontak saja, terjadi eskalasi diskursus mengenai profesor ini, hingga di penghujung masa jabatannya, Mas Menteri mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi nomor 44 Tahun 2024 tentang Profesi, Karier dan Penghasilan. Salah satu poin pada peraturan itu mengenai jabatan akademik profesor (guru besar). Selain ia dapat dicapai melalui proses normal dan “jalur” honoris causa, ia hanya melekat saat yang bersangkutan berkontribusi dalam tridharma pendidikan (pasal 44).
Perbincangan yang ingin difokuskan pada diskursus ini bagaimana agar jabatan akademik profesor ini tidak diberhalakan, tetapi benar-benar merupakan penciri integritas akademis, tidak masuk pada pusaran kepentingan politik. Sehingga, diharapkan seorang dengan jabatan akademik profesor ini memiliki dampak kepada publik.
Jabatan Fungsional Dosen
Pola pikir bahwa titel akademik, diyakini dapat menambah hebat bungkus, itu yang terjadi kini. Setiap orang berupaya menjadi profesor mengabaikan aspek kelayakan, agar tervalidasi ilmuwan, intelektual dan memiliki pengaruh dari titelnya tersebut.
Sementara itu, masyarakat kita dengan struktur feodal yang terbentuk secara panjang, mendukung keberadaan anggapan tersebut. Profesor oleh masyarakat dianggap dewa dan bahkan menjadi “berhala” yang setiap kata yang terucap berubah menjadi fatwa, selalu benar dan ditaati sepenuh jiwa.
Di tahun 1990-an, seorang profesor dianggap oleh masyarakat sebagai seseorang yang telah menciptakan temuan dan teori baru. Bahkan ada yang menganggap sebagai gelar akademik di atas doktor. Sehingga terjadi mitos dan kesan sakral atas profesor tersebut. Padahal, profesor atau guru besar merupakan jabatan akademik/fungsional bagi dosen setelah dosen melewati jabatan asisten ahli, lektor, dan lektor kepala. Setara pula dengan jabatan fungsional guru ahli utama, setelah seorang guru tersebut melewati jenjang guru ahli pertama, ahli muda dan ahli madya. Di jabatan fungsional dokter, setara dengan dokter ahli utama, setelah ia melewati dokter ahli pertama, ahli muda dan madya.
Gengsi dan branding saja yang menjadikan jabatan fungsional profesor menjadi incaran banyak kalangan sehingga diatur oleh Permendikbudristek nomor 44 Tahun 2024 mengenai profesor kehormatan. Bandingkan dengan jabatan fungsional guru. Mungkin karena tidak ada yang berminat menjadi guru ahli utama, sehingga Mendikbudristek tidak perlu repot membuat aturan mengenai guru ahli utama kehormatan. Kalangan birokrat pun tidak ada yang mau alih fungsi menjadi guru.
Kebanyakan para birokrat setingkat kepala dinas atau sekretaris daerah (jabatan pimpinan tinggi) yang memenuhi syarat sebelum batas usia pensiun segera mengajukan alih fungsi ke jabatan dosen. Hanya saja sekarang untuk menjadi profesor dengan jalur karir sebagai dosen, disimpan “ranjau” masa kerja yang harus minimal bekerja 10 tahun sebagai dosen tetap.
Ini menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat, khususnya stakeholders pendidikan, apakah kita membiarkan saja profesor ini sebagai mitos atau akan diubah menjadi sekadar jabatan akademik dosen. Ironisnya, Kemendikbudristek masih memelihara profesor sebagai mitos dengan diberikan opsi profesor kehormatan.
Artinya, masyarakat tetap akan menganggap profesor sebagai privilege yang memiliki power (kekuatan) memiliki power yang mampu menyihir publik sehingga sang profesor dapat mengambil keuntungan dari gelarnya tersebut. Sementara itu, bagi dosen sendiri untuk menjadi profesor memerlukan perjuangan berdarah-darah, terlebih bagi dosen tetap yang membina karir dari asisten ahli, menjadi profesor bukan hanya sekadar pencapaian prestasi dan pengakuan atas kompetensi dan masa kerja yang dibangun berpuluh-puluh tahun, tetapi juga kesejahteraan.
Berbeda dengan mereka yang mendapat profesor kehormatan dari jalur politik atau pengusaha. Ia tidak perlu meniti karir dari bawah dan tidak merasakan pahit getirnya kesejahteraan di dunia pendidikan Indonesia.
Kekuatan integritas seorang dosen dipertaruhkan saat profesor ini bisa diperoleh melalui fast track, sehingga terjadilah kasus 11 profesor yang melakukan perekayasaan dalam pengajuannya. Ibarat gunung es, mungkin itu yang terungkap ke publik. Mungkin yang tidak lebih banyak.
Pada benak publik pun mulai terkikis kepercayaan atas profesor itu disaat begitu mudah perguruan tinggi memberikan profesor kehormatan kepada orang yang tidak jelas jejak rekam dan kontribusi akademiknya pada publik. Bergelar profesor namun tidak memiliki akun google scholar, tidak ada riwayat sebagai penulis jurnal internasional bereputasi, tidak pernah menulis buku atau tidak dikenal di masyarakat/komunitas ilmiah. Justru para ahli atau orang yang sering diundang di banyak siaran televisi atau podcast, mereka yang sama sekali tidak bergelar profesor, namun memiliki karya dan memberikan kontribusi pemikirannya kepada publik.