REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahad pagi (14 Juli 2024), setelah jalan kaki, saya melihat lihat berita tentang Davao City dan sekitarnya, dan salah satu beritanya adalah perkembangan kasus pastor Apollo Carreon Quiboloy atau lebih dikenal dengan pastor Quiboloy, yang dituduhkan FBI Amerika telah melakukan pencucian uang, serta perdagangan manusia.
Sejak saya datang ke Davao City, Mei 1994, nama pastor Quiboloy, yang lahir di Davao City, 25 April 1950 sudah sangat terkenal sebagai pastor yang pandai berdebat dan mempunyai karisma yang tinggi. Dia mendirikan gereja the Kingdom of Jesus Christ (KOJC) pada tahun 1985 dan dia juga memproklamirkan dirinya sebagai “Appointed Son of God” atau anak Tuhan yang sudah ditunjuk serta “the Owner of the Univere” sebagai pemilik alam semesta ini. Kedua klaim itu sangat diimani dan dipercayai oleh para jamaahnya yang bertebaran di seluruh dunia, termasuk jamaahnya yang di Indonesia.
Dalam sebuah tayangan televisi beberapa tahun lalu, Quiboloy mengaku bahwa ketika dia membantu bapaknya bekerja di sawah, lalu tiba-tiba banyak petani datang kepadanya, memberikan mahkota dan bersujud meminta keselamatan kepadanya. Sejak saat itu ada kesadaran dalam dirinya bahwa dia sudah menerima wahyu untuk melakukan tugas kenabian, menyelamatkan umat manusia di dunia ini.
Setiap Sabtu dan Ahad, terutama pagi hari, sering juga rumah kami di Davao, kedatangan para misonaris, dari Saksi Yehovah, Baptist Church, dan beberapa aliran Kristen lainnya, yang mengkhutbahkan dan menyatakan bahwa gerejanya lah yang paling benar untuk memahami dan menafsirkan Bible, karena para pemuka agama mereka membaca Bible dalam naungan Roh Kudus. Fenomena ini juga dengan sangat mudah kita temui di terminal, di pasar, atau di tempat tempat keramaian lainnya di kota Davao, dimana mereka mengklaim bahwa gerejanyalah yang paling benar menafsirkan Bible karena para pemuka mereka telah menafsirkannya dalam naungan dan siraman cahaya Roh Kudus.
Di Indonesia juga demikian, kita mungkin pernah mendengarkan beberapa orang tertentu mengaku dirinya sebagai nabi setelah mereka mendapatkan wahyu kenabian.
Secara umum dari beberapa cerita di atas, bahwa para pemuka agama tersebut telah memiliki kesadaran akan dirinya sendiri dan sudah mempersiapkan diri untuk menerima wahyu, serta adanya kesadaran dan kesiapan mereka untuk memperjuangkan perintah dari wahyu tersebut.
Bagi saya, sikap dan sifat demikian tentunya sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut baik secara psikologis, sosiologis, antropologis maupun secara teologis.
Menarik sejarah ke belakang, melihat catatan catatan sejarah baginda Rasulullah SAW, Muhammad, ketika menerima wahyu pertama kali di gua Hira, ada sesuatu yang berbeda dan sangat menarik sekali catatan catatan tersebut untuk dikaji.
Di tengah keheningan malam hari, di bulan Ramadhan, ketika Beliau sedang berkontemplasi, memohon dan meminta petunjuk dari Allah, Tuhan yang Maha Esa untuk menyelesaikan permasalahan teologis dan akhlak masyarakat Mekah khususnya, dan kemanusiaan umumnya pada saat itu, tiba tiba, nabi yang ummi (buta huruf) ini kedatangan cahaya yang sangat terang benerang dan tiba-tiba saja memerintahkan untuk membaca (Iqra’). Kekagetan dan ketakutan yang luar biasa terjadi di malam yang sangat sunyi itu dialami oleh manusia yang agung itu. “Aku tidak bisa membaca…Aku tidak bisa membaca” ujarnya. Kemudian cahaya terang benerang itu mendekap tubuh manusia agung tersebut dan berkata “Bacalah dengan nama Tuhanmu ……”
Selesai peristiwa tersebut, manusia agung ini kemudian berlari, berjalan cepat, penuh dengan ketakutan, dan keraguan dengan peristiwa yang baru dilaluinya. Perasaan yang campur aduk antara rasa kaget, terkejut, takut, dan tidak yakin membuat tubuhnya gemetar dan kedinginan. “Wahai istriku selimuti aku…wahai istriku selimuti aku” Demikianlah cerita awal yang banyak dituliskan dalam sirah nabawiyah beliau.
Mari kita bayangkan sejenak bersama-sama, Muhammad, ketika beliau sebagai manusia biasa (sebelum kenabian) sudah dikenal sebagai orang yang sangat baik, cerdas, penuh inisiatif dan sangat jujur.
Kebijakan dan kecerdasannya terlihat ketika menangani batu Hajar Aswad yang terjatuh dari tempatnya dikarenakan banjir di kota Mekah. Dalam situasi ego kesukuan yang sangat kuat, masyarakat Mekah pada saat itu sudah siap saling membunuh untuk memperebutkan hak penuh dapat menaruh kembali hajar aswad ke tempat semula di Ka’bah. Dengan meletakannya di atas sorbannya, kemudian Muhammad meminta para kepala suku untuk memegang sorbannya dan membawa Hajar Aswad tersebut kembali ke tempet semula di Baitullah. Semua suku merasa puas dengan keputusan Muhammad, dan pertumpahan darah tidak terjadi.
Muhammad, yang semasa mudanya tidak pernah melakukan perbuatan perbuatan aib, tercela, dan hina. Setiap perkatannya berupa hikmah. Berintegrasi tinggi, antara perkataan dan perbuatannya menjadi satu, sesuai dengan kenyataan dan kebenaran. Dengan sifat dan sikap tersebutlah, masyarakat Mekah yang penuh dengan ego kesukuan memberikan gelar kepada Muhammad sebagai al-Amin (orang yang sangat dipercaya), gelar yang tidak pernah diberikan oleh masyarakat Mekah Jahiliyah kepada siapapun kecuali kepada Muhammad seorang.
Muhammad, seorang yang mempunyai akhlak yang sangat mulia. Orang yang tidak pernah berbohong, yang setiap perkataannya yang keluar adalah hikmah. Pada setiap lakunya yang tergambarkan adalah hanya rasa cinta dan kasih sayang. Dalam kemurnian jiwanya yang agung saja, beliau masih ragu, masih bingung, masih ketakutan, masih bimbang antara kenyataan atau hanya halusinasinya saja ketika menerima wahyu pertama tersebut. Muhammad masih memiliki kesadaran, kejujuran tentang kemanusiaannya, sehingga pada saat itu belum ada kesadaran bahwa dirinya adalah sebagai seorang Nabi, perlu beberapa saat.
Konfirmasi pertama kalau beliau seorang nabi adalah dari istri tercintanya Khadijah al-Kubro, seorang bangsawan Arab yang sangat kaya raya, yang telah mengabdikan dirinya untuk berbakti kepada Muhammad suami tercintanya. Konfirmasi kedua tentang kenabiannya adalah bahwa kemudian Khadijah al-Kubro membawa Muhammad kepada sepupu tertuanya yang menjadi Imam Nasrani di Arab pada saat itu, yaitu Waraqah bin Naufal yang mengatakan bahwa suami sepupunya adalah benar benar seorang Nabi, yang akan disakiti, diusir dan diperangi.
Sedikit tentang Waraqh bin Naufal, beliau adalah seorang pemuda Arab yang sangat dikenal mempunyai kepribadian yang baik. Beliau menghindari perilaku perilaku tercela, terutama menyembah berhala dan penyembelihan kurban untuk para berhala yang banyak terdapat di Baitullah.
Waraqah bin Naufal, bersama tiga orang temannya yang sangat merindukan agama yang hanif, agama yang dibawa oleh nabi Ibrahim, kemudian belajar agama Nasrani dan Yahudi di negeri Syam (Syiria) kepada para pendeta Nasrani dan Yahudi secara mendalam. Setelah itu kemudian Waraqh bin Naufal menjadi penganut agama Masrani Nestorian yang sangat alim dan abid (ahli ibadah).
Lesley Hazleton, seorang agnostik Yahudi melihat kejujuran Muhammad secara jernih ketika menerima wahyu pertama. Secara manusiawi, siapaun juga pasti, secara kejiwaan akan mengalami hal-hal yang sama oleh Muhammad. Kejujuran inilah yang kemudian membuat dia tertarik kepada Muhammad, menelitinya secara mendalam dan mengaguminya yang kemudian dituliskan dalam sebuah buku The First Muslim; The Story of Muhammad.
Kejujuran dan kesadaran inilah yang membedakan antara khayalan dan halusinasi. Kejujuran dan kesadaran ini kemudian menjadi dasar selanjutnya untuk melakukan kerja risalah kenabian beliau ketika beliau menerima wahyu keduanya, yaitu surat al-Mudatsir (orang yang berselimut) ayat 1-7 ini turun. “Wahai orang yang berselimut. Bangunlah dan berilah peringatan. Dan agungkanlah Tuhanmu. Bersihkanlah pakaianmu. Tinggalkan segala perbuatan yang keji. Janganlah engkau memberi dengan maksud supaya memperoleh balasan yang banyak. Dan karena Tuhanmu, bersabarlah”
Para sejarawan menuliskan dan menyatakan bahwa kesuksesan nabi Muhammad SAW dalam misinya, menyebarkan agama Islam dalam tempo yang singkat dan berhasil mendidik para sahabat dan penerusnya karena diawali dari sebuah kejujuran dan kesadaran yang penuh akan dirinya. Kejujuran dan kesadaran yang dimulai dari diri sendiri, terkonfirmasi oleh orang orang yang penuh cinta dan orang yang mulia (mempunyai pengetahuan yang luas dan integritasnya tinggi), kemudioan baru siap menjalankan risalah kenabiannya.
Melihat kondisi kekinian bangsa ini setelah pilpres dan sekarang mengahadapi pilkada, banyak poster menyampah mengotori keindahan kota. Kata-kata memuji diri sendiri, dan pujian para buzzer bayaran menjadi tak bermakna walau bergincu warna warni, dan bentuk hurup yang indah. Akankah sanggup bangsa ini bertahan tanpa kejujuran dan integritas para pemimpinnya?