REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M. Anshorullah (Presidium Aqsa Working Group)
Dua bulan terakhir ini, Deklarasi HAM dan PBB menjadi salah satu frasa yang paling banyak dibicarakan, bahkan dipertanyakan kalau bukan digugat. Sebabnya adalah ketidakmampuan PBB menghentikan agresi Israel yang membawa bencana kemanusiaan di Gaza dan Palestina yang sungguh amat bertentangan dengan seluruh substansi Piagam PBB dan Deklarasi Universal HAM. Baik mukadimah maupun 30 pasal-pasalnya.
Pada Jumat, 9 Desember 2023 atau sehari sebelum peringatan Hari HAM sedunia, Sidang Dewan Keamanan PBB gagal meloloskan resolusi gencatan senjata di Palestina. Resolusi yang diajukan oleh Uni Emirat Arab itu kandas diveto Amerika Serikat, padahal 13 dari 15 anggota dewan keamanan PBB menyetujui.
Amerika menolak sedangkan Inggris abstain. Sidang DK PBB itu sendiri diselenggarakan atas seruan darurat dari Sekjen PBB Antonio Guterres agar DK PBB segera mengambil langkah lebih untuk menghentikan agresi Israel di Gaza yang sudah berlangsung lebih dari 2 bulan dan membawa korban lebih dari 17 ribu jiwa (kira-kira 280 orang dibunuh setiap hari!). Lebih dari 70% korban adalah anak-anak, perempuan, dan lansia.
Pada Sabtu, 10 Desember 2023, dunia memperingati deklarasi universal hak asasi manusia 1948 yang ke-75 tahun. Dokumen sakral ini menjadi pedoman universal bagi umat manusia dalam mewujudkan perdamaian dan keadilan dunia. Namun dalam konteks Israel-Palestina, Sidang DK PBB kemarin menjadi potret dari 75 tahun anomali HAM dan PBB. Seluruh instrumen PBB berupa Piagam PBB, Konvensi Mahkamah Internasional, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tidak mampu menghentikan berbagai pelanggaran Zionis Israel.
Kekejaman Zionis Israel terhadap rakyat Gaza dan Palestina sejak 1947 sampai genosida di Gaza hari ini semakin menunjukan seolah-olah Deklarasi HAM itu tidak pernah ada. Bahkan PBB sebagai lembaga yang bertugas untuk memastikan penerapan deklarasi universal itu, seolah-olah tidak pernah eksis.
Bagaimana tidak, kekerasan, penindasan satu bangsa atas bangsa lain yang terjadi pada Perang Dunia Pertama dan Kedua adalah alasan disusunnya deklarasi ini. Sementara, Zionis Israel terhadap rakyat Palestina, telah melanggar semua prinsip dalam Deklarasi HAM itu. Zionis Israel telah melakukan dehumanisasi di Gaza dan Palestina, tetapi PBB dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusianya tidak mampu menghentikan mereka.
Dehumanisasi di Gaza dua bulan ini membawa kemarahan dunia. Mayoritas negara menuntut segera dihentikan genosida, lakukan gencatan senjata, dan segera akhiri pendudukan Zionis Israel atas Palestina sebagai akar masalah. Pada 26 Oktober 2023 Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi gencatan senjata segera, tahan lama, dan berkelanjutan. Resolusi ini disetujui oleh 120 anggota, 14 menentang, dan 45 anggota abstain.
Tetapi resolusi itu tidak dapat diimplementasikan. Baru pada 24 November tercapai kesepakatan jeda kemanusiaan 4 hari dan diperpanjang 2 hari dan 1 hari. Rakyat Palestina yang terbunuh saat itu sudah lebih dari 14.000 orang.
Klausul utamanya adalah hentikan serangan, pertukaran sandera, dan pendistribusian bantuan kemanusiaan secara terbatas. Itu adalah atas usaha Qatar dan Mesir yang mendesak AS untuk menyetujui. Sedangkan gencatan senjata yang segera, tahan lama, dan berkelanjutan sesuai resolusi PBB tidak tercapai.
Setelah 7 hari jeda kemanusiaan, genosida kembali dilanjutkan oleh Zionis Israel. Pengusiran secara massif juga terjadi. Warga Gaza di bagian utara dipaksa untuk pergi ke Gaza selatan.
Korban sipil di Gaza melonjak lebih dari 17.000 orang. Lebih dari 7.000 diantaranya adalah anak-anak. Karena itulah kemudian Guterres ‘memaksa’ Dewan Keamanan PBB untuk melakukan sidang darurat memutuskan resolusi yang lebih luas dan jangka panjang. Tetapi gagal karena diveto oleh AS.
Alasan veto itu diungkapkan oleh Robert Wood, wakil AS di Sidang DK PBB, bahwa resolusi gencatan senjata akan memungkinkan Hamas terus memerintah di Gaza, itu hanya akan menanam benih perang berikutnya. Alasan ini adalah absurd dan menutup mata pada apa yang terjadi di lapangan.
Zionis Israel memburu Hamas tetapi faktanya korban sipil yang diserang secara serampangan. Maka, merujuk pada teks Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, veto yang dilakukan AS menjadi ironi yang memalukan.