REPUBLIKA.CO.ID,vOleh Teguh Imami, Sejarawan Muhammadiyah/Magister Universitas Airlangga
Hari ini masyarakat Indonesia akan memperingati Hari Pahlawan yang tepat pada Jumat 10 November 2023. Hari di mana, 78 tahun lalu, arek-arek Surabaya, masyarakat Jawa Timur, dan seluruh elemen masyarakat berbondong-bondong dengan segala daya mengusir penjajah dari Surabaya.
Perisitiwa heroik itu sering diceritakan di bangku sekolah, perkuliahan, masuk dalam kurikulum pembelajaran dan diceritakan dari mulut ke mulut, turun-temurun dari generasi ke generasi. Kisah itu juga selalu menjadi penyemangat masyarakat Indonesia untuk selalu berdikari dalam melawan setiap penjajahan dalam bentuk apa pun yang terjadi hari ini.
Momentum peristiwa 10 November sendiri menjadi salah satu pertempuran terbesar dan terberat dalam Revolusi Indonesia yang menjadi simbol perlawanan atas kolonialisme.
Pertempuran ini berpuncak saat Jendral Mallaby terbunuh pada 30 Oktober 1945. Setelah terbunuh, pengganti Jendral Mallaby, Mayor Jendral Eric Garden Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum kepada Indonesia. Dengan semangat kemerdekaan, rakyat Surabaya memilih melawan Sukutu. Terjadilah pertempuran Surabaya tanggal 10 November 1945 selama lebih kurang tiga minggu lamanya.
Peristiwa ini tentunya tidak hanya beberapa orang saja yang ikut melawan. Melainkan banyak masyarakat ikut melawan. Bukan sekadar segelintir golongan saja yang melawan, melainkan banyak ormas, pemuda, dan dari berbagai elemen masyarakat. Termasuk dari organisasi keagamaan semisal Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah.
Peran Muhammadiyah dalam 10 November
Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi terbesar di Indonesia. Sudah banyak pejuang dari Muhammadiyah yang berkontribusi untuk Indonesia. Muhammadiyah juga sudah banyak mendirikan sekolah, rumah sakit, universitas. Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) itu tidak pernah dinikmati sendiri, melainkan diserahkan untuk kepentingan bangsa.
Penulis berupaya melakukan penelitian jejak Muhammadiyah dalam peristiwa 10 November. Dan temuan-temuan baru yang selama ini belum banyak ditulis dan dikenal masyarakat luas, begitu mencengangkan. Ada banyak peran Muhammadiyah dalam peristiwa 10 November tersebut.
Penulis menemukan arsip di salah satu surat kabar Kedaulatan Rakyat bahwa saat itu Pengurus Besar Muhamamdiyah tidak tinggal diam dalam mendukung semangat juang kadernya untuk melawan penjajah. Dua puluh hari hari sebelum meletusnya perang, yaitu pada 20 Oktober 1945, Pengurus Besar mengeluarkan instruksi untuk sholat Hajad demi kemenangan kamu Muslimin di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, untuk berperang.
Bagian surat kabar tersebut tertulis dengan jelas bahwa pimpinan besar Muhammadiyah meminta kepada seluruh masjid, ranting, dan semua kadernya melaksanakan sholat Hajad sesudah jamaah Isya. Dengan ajakan yang penuh semangat: Merdeka! Merdeka! Allahu Akbar!
Berita tentang perang 10 November 1945 tersiar hingga ke pelosok Jawa Timur. Menyambut hal itu banyak masyarakat, terlebih para aktivis Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah ikut dalam barisan perjuangan. Tokoh Hizbhul Wathan yang bernama Said Umar ikut berperang hingga mengalami penangkapan dan penyiksaan dari sekutu. Bahkan, hingga perang berakhir, nasib dari Said Umar tidak diketahui. Selain itu, dari Pemuda Muhammadiyah juga ikut. Ibu-Ibu Aisyiyah menolong para pejuang perang. Santri yang berasal dari Lamongan, Gresik, yang memiliki garis perjuangan sama dengan Muhammadiyah juga terjun untuk ikut berperang melawan penjajah.
Dr. Moh. Soewandhie, tokoh dari KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) juga ikut berperang melawan penjajah. Dia, yang merupakan pengurus Muhammadiyah Surabaya, berjuang bersama tokoh lainnya mempertahankan kemerdekaan. Selain itu, RS PKU Muhammadiyah juga menjadi tempat para korban-korban perang untuk dirawat di sana.
Buram Muhammadiyah dalam 10 November
No Document No History. Kata Tersebut agaknya relevan untuk hari ini dimana peran Muhammadiyah dalam 10 November yang masih buram. Padahal sebagai organisasi keislaman terbesar saat itu tidak mungkin kader-kadernya melewatkan momentum untuk berjihad membela agama dan negaranya. Hal ini juga disampaikan oleh sejarwan asal University of North Caroline at Chapel Hill, AS, Dr Kevin W Fogg, Ph.D. Dr. Fogg menemukan sejumlah peran Muhammadiyah yang hilang dalam sejarah nasional Indonesia.
Dr. Fogg mengaku cukup heran dengan hal itu mengingat peran Muhammadiyah dalam sejarah nasional cukup besar. Penulis sendiri berargumen dari hasil penelitian saat ke daerah-daerah di Jawa Timur untuk meneliti sejarah Muhammadiyah, karena pada waktu itu, kader-kader Muhammadiyah tidak terbiasa menyimpan benda yang dianggapnya “syirik”. Selain itu, orang-orang Muhammadiyah saat berjuang mengutamakan keikhlasan.
Dr Fogg melihat peran Muhammadiyah yang sangat besar dalam peristiwa 10 November 1945. Sebagai organisasi yang lebih rapi, dalam perang itu Muhammadiyah mengirimkan anggota yang punya kecakapan yang memadai terkait perang hingga persoalan dapur dan obat-obatan.
Temuan yang baru ini menjadi bukti terkait peranan Muhammadiyah dalam peristiwa 10 November. Temuan ini juga menjadi bukti bahwa peristiwa 10 November bukan hanya diikuti oleh satu golongan, ormas, maupun masyarakat tertentu saja, melainkan Muhammadiyah dan seluruh masyarakat, ikut berbondong-bondong untuk berkolaborasi mengusir penjajah.