REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fuji Pratiwi*
Media sosial kembali ramai soal aksi penagih utang (debt collector) pinjaman online (pinjol), pertengahan September 2023 lalu. Kali ini kabar yang muncul bikin kita mengelus dada, nasabah pinjol itu bunuh diri karena tak tahan dengan cara penagih utang melancarkan aksi.
Kasus ini terungkap, salah satunya karena utas di akun media sosial X (Twitter) @rakyatvspinjol. Akun itu menulis, debt collector platform pinjol AdaKami menggunakan jasa pesan antar makanan online menggunakan skema bayar di tempat saat barang sampai (cash on delivery alias COD).
Pesanan makanan itu ditujukan ke alamat nasabah yang ditagih utangnya. Abang ojek online pengantar makanan menangih biaya ke si nasabah. Pesanan ini tak cuma satu dan tak cuma sehari. Tak tahan dengan itu, nasabah pria yang disebut "Almarhum K" itu mengakhiri hidupnya.
AdaKami pun diminta OJK untuk melakukan investigasi dan melaporkannya kepada OJK. Kata AdaKami, mereka masih mencari identitas mendiang nasabah dan menyatakan nomor telepon debt collector tak terdaftar dalam sistem AdaKami.
Terlepas bagaimana kelanjutan dan kebenaran kasus ini, persoalan utang piutang memang pelik. Dari perspektif syariah, berutang adalah hal yang dibolehkan. Panduan adabnya juga jelas baik bagi yang berutang maupun pemberi utang.
Yang berutang harus ingat, jika utang belum dibayar, tanggung jawab dilimpahkan kepada ahli waris. Perlu diingat juga, apa yang ia pinjam bukanlah barang "jatuh dari langit", tapi hasil jerih payah di pemberi pinjaman.
Sementaran pemberi utang pun akan lebih beradab jika menagih dengan santun atas haknya dan tidak boleh mensyaratkan tambahan apapun atas pinjaman yang diberikan.
Untuk kasus peminjam sampai sulit mengembalikan dan kondisi ekonominya sulit, sementara si pemberi pinjaman tak mau membebaskan, saya pikir di sini peran lembaga filantropi. Apalagi, kalau si peminjam sudah demikian tertekan dan "tergoda" mengakhiri hidup.
Dalam maqashid syariah, menjaga jiwa merupakan prioritas kedua. Kalau ada dana zakat, sedekah, atau infak (ZIS) yang bisa dipakai untuk menyelamatkan, insya Allah itupun berguna. Penggunaan zakat terbilang ketat sebab syarat dan ketentuan berlaku.
Namun, orang yang punya utang masuk menjadi satu dari delapan golongan yang berhak menerima zakat. Sementara infak dan sedekah bisa lebih longgar penggunaannya dibandingkan zakat.
Data Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menunjukkan, secara nasional pengumpulan dana zakat, infak, sedekah (ZIS) dan dana sosial keagamaan lainnya (DSKL) mencapai Rp 22,43 triliun pada 2022. Dari total itu, zakat mal saja Rp 3,7 triliun dan infak/sedekah Rp 2,3 triliun.
Menurut data OJK, pada Desember 2022, utang macet pinjol mencapai Rp 1,42 triliun. Pada Juni 2023, utang macet pinjol menjadi Rp 1,73 triliun.
Melihat data-data ini, gabungan zakat mal dan infak/sedekah pada 2022 mencapai Rp 10 triliun. Jika kita bagi seperdelapan untuk kategori pemilik utang (gharimin) ada Rp 1,25 triliun tersedia untuk menuntaskan lebih dari tiga perempat para pemilik utang di pinjol.
Saya mengerti tidak semua pemilik utang bisa dibantu pakai dana ZIS. Tidak semua utang juga dilandasi motivasi dan digunakan untuk hal yang benar. Namun saya yakin, lembaga filantropi bisa bijaksana memilih siapa yang pantas dibantu dan diselamatkan.
Lembaga filantropi Islam punya kapabilitas dan tahap asesmen untuk itu. Menjadi tugas kita bersama juga untuk mengedukasi dan mencegah orang-orang terdekat kita agar tak mengakses utang dengan bunga mencekik. Semoga kita juga ingat, sedekah dianjurkan lebih dulu kepada orang terdekat.
*Penulis adalah jurnalis Republika.co.id