Oleh : Abdullah Sammy*
REPUBLIKA.CO.ID, Ahli kekayaan genetika Greg Venter pernah berujar, "Properti intelektual adalah aspek kunci dalam pembangunan ekonomi." Semakin baik kualitas dan kuantitas properti intelektual sebuah bangsa maka akan semakin maju ekonominya. Properti intelektual adalah sebuah ide dan gagasan yang terimplementasi menjadi karya. Bisa dalam bentuk penciptaan barang, teori keilmuan, hingga seni dan budaya.
Bersamaan dengan semakin baiknya kualitas dan kuantitas properti intelektual maka akan muncul konflik yang terkait penggunaannya. Kita bisa mengambil analogi pohon mangga. Semakin sedikit dan buruk kualitas dan kuantitas pohon mangga maka akan semakin sedikit yang tertarik memetiknya.
Sebaliknya, semakin manis dan banyak buahnya maka membuat orang semakin berminat memetik mangga itu. Semua karena kuantitas dan kualitas mangga menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi.
Hal ini berlaku pula dalam properti intelektual. Semakin baik dan banyak properti intelektual maka bobot ekonominya semakin tinggi. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan Greg Venter soal properti intelektual adalah aspek kunci dalam pembangunan ekonomi sebuah bangsa.
Lagu menjadi salah satu bentuk properti intelektual yang bisa menjadi tolak ukur majunya perekonomian sebuah bangsa. Korea yang ekonominya semakin baik, memiliki banyak properti intelektual lagu lewat K-POP. Begitupun Jepang, Amerika, dan Eropa.
Namun, bersamaan dengan kualitas dan kuantitas yang semakin baik akan banyak pihak yang tertarik menggunakannya. Layaknya analogi pohon mangga maka tak sedikit hal ini berujung pada konflik akibat banyak yang berpotensi mencurinya.
Oleh karena itu, setiap negara maju memiliki perangkat perlindungan hak kekayaan intelektual (Haki) yang perinci dan ketat. Sehingga properti intelektual seseorang tak mudah disalahgunakan. Hal ini membuat konflik seputar pemanfaatan properti intelektual bisa diredam.
Sejatinya, hak atas properti merupakan asas dasar yang mendorong era pemikiran modern di dunia. Sejak abad ke-17, John Locke sudah mengatakan bahwa hak milik dari seorang manusia terhadap benda yang dihasilkannya itu sudah ada sejak manusia lahir. Inilah prinsip dasar yang kemudian melahirkan liberalisme dan demokrasi. Intinya, setiap manusia punya hak ada properti yang dimilikinya, termasuk properti intelektual.
Sebagai negara yang menjunjung liberalisme, Amerika menerapkan standar yang tinggi soal perlindungan hak kekayaan intelektual (Haki). Sayangnya, di negara berkembang persoalan Haki ini kerap diabaikan. Sehingga akhirnya, pemilik properti intelektual kerap dirugikan akibat maraknya pembajakan dan pemalsuan.
Inilah yang kerap dialami seniman di Indonesia, terutama pencipta lagu. Kini persoalan Haki terkait lagu menjadi isu yang marak diperbincangkan oleh warganet Indonesia. Ini setelah dua seniman yang pernah tergabung bersama dalam grup band Dewa, Ahmad Dhani dan Once memiliki pandangan berbeda soal hak untuk membawakan lagu dalam konser.
Pangkal perselisihan Dhani dan Once terkait penggunaan lagu dalam konser. Dhani yang merasa lagunya kerap dibawakan Once dalam konser tak pernah dimintai izin.
Dhani mengaku tak pernah pula mendapatkan imbalan haknya. Sedangkan Once merasa tak perlu meminta izin. Sebaliknya, soal imbalan adalah hal itu adalah tugas promotor dan sudah diatur dalam undang-undang hak kekayaan intelektual.
Perdebatan Dhani dan Once ini terkait Pasal 9 dan Pasal 23 Undang-undang tentang Hak Cipta yang diperbarui dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021. Sikap Dhani merujuk ke Pasal 9 ayat (3) UU tersebut mengatur, "Setiap orang yang tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan."
Sedangkan sikap Once berdasar pada Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta menyatakan: “Setiap orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif."
Baik Dhani maupun Once sama-sama punya dasar. Secara umum, Pasal 23 ayat 5 memang mengatur secara teknis terkait pengunaan lagu dalam sebuah konser. Itu artinya, seorang pencipta karyanya tak dibatasi untuk dibawakan oleh performer mana pun. Ini dengan jaminan si pemilik lagu mendapatkan hak berupa imbalan yang nanti disalurkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif.
Hal yang baik sekaligus buruk bagi pencipta. Sebab, Pasal 23 ayat 5 ini memuat celah besar yang terkait dengan penyamarataan pencipta lagu. Dalam kasus pencipta lagu yang non-performer, aturan Pasal 23 ini tentu baik. Tapi tidak bagi pencipta lagu yang sekaligus performer yang karyanya ditujukan untuk menunjang aktivitasnya bermusik, termasuk untuk konser musiknya.
Ini berlaku dalam kasus Dhani. Sebab, lagu Dhani diciptakan untuk menunjang eksistensi grup Dewa dalam kegiatan bermusiknya. Saat Once yang eks vokalis Dewa memutuskan hengkang dan tiba-tiba membawakan lagu band tersebut secara solo dengan alibi Pasal 23, tentu hal ini merugikan bisnis Dewa. Pada titik inilah mesti ada aturan yang lebih detail untuk membedakan hak intelektual pencipta lagu performer dan pencipta non-performer.
Sebab, dua jenis pencipta lagu tersebut sangat berbeda satu sama lain. Ada pencipta yang memang mencipta lagu murni bagi orang lain, tapi ada pula yang mencipta untuk diri atau bandnya. Inilah mengapa Pasal 23 ayat 5 tidak tepat jika dipukul rata kepada setiap pencipta.
Sebagai perbandingan jika seorang chef memang hanya menciptakan resep saja, jadi tak mengapa jika ada orang yang menggunakan resepnya dengan imbalan. Tapi ada pula, chef yang menciptakan resep untuk restoran miliknya sendiri.
Tentu chef sekaligus pemilik restoran itu akan terganggu jika resepnya ditiru oleh restoran tetangga. Terlebih yang mendirikan restoran pesaing itu adalah eks karyawannya.
Analogi yang sama berlaku pada kasus Dhani dan Once. Terlepas dari perdebatan dua musisi besar itu, ada sisi positif yang bisa dipetik. Sisi positif itu menandakan kepedulian terhadap properti intelektual lagu di Indonesia semakin tinggi. Ini selaras dengan semakin baik kualitas dan kuantitas properti intelektual lagu di negeri ini. Hal yang berarti pula sebagai penanda semakin majunya perekonomian bangsa kita.
Perdebatan Dhani dan Once menjadi wajar karena yang diperdebatkan ibarat mangga berkualitas yang punya nilai ekonomi tinggi. Tentu situasinya bisa jadi berbeda jika properti lagunya milik Aldi Taher.
*Jurnalis Republika