Oleh : M. Nasir Djamil, Anggota Komisi Hukum DPR RI.
REPUBLIKA.CO.ID,Dalam lomba lari, start yang baik akan menentukan kemenangan. Petuah itu juga ingin mengatakan sesuatu yang diawali dengan keragu-raguan biasanya mengundang ketidakpastian dan ketidakjelasan, bahkan berakhir dengan kekalahan dan penyesalan. Inilah yang dialami para korban 12 (dua belas) pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada masa lampau yang telah dinyatakan oleh Komnas HAH, lembaga yang bertanggungjawab kepada presiden. Tiga dari dua belas pelanggaran HAM berat itu terjadi di Aceh. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh, peristiwa Jambo Keupo, dan peristiwa Simpang KKA. Meskipun Presiden Jokowi telah meminta maaf, mengakui, dan menyesalkan terjadinya 12 pelanggaran HAM berat itu, tapi kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu masih seperti orang menggantang asap.
Beberapa hari lalu, sekelompok aktivis HAM menggelar refleksi 16 tahun aksi kamisan dekat Istana negara. Seperti yang tertulis di sejumlah spanduk yang dibentangkan, mereka menolak keputusan presiden pembentukan tim penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat masa lalu. Ada lagi tulisan, “Presiden Jokowi jangan bohongi kami”. Pengakuan tanpa pertanggungjawaban sama dengan omong kosong. Kita tidak Cuma sekedar membicarakan santunan, yang harus dibongkar lebih dahulu adalah kebenaran. Deretan pernyataan tersebut menunjukkan bahwa mereka bukan hanya menolak, melainkan melihat bahwa Presiden Jokowi tidak sungguh-sungguh menyelesaikan secara tuntas dan bermartabat pelanggaran HAM berat masa lalu.
Pekan lalu saya juga sengaja bertemu dengan para korban dan keluarga korban peristiwa Simpang KKA, di salah satu warung kopi di Kreung Geukeuh, Aceh Utara. Lokasi pertemuan itu tidak begitu jauh dari tempat kejadian penembakan secara brutal oleh aparat militer di simpang jalan menuju industri kertas atau yang dikenal dengan simpang KKA, tahun 1999 silam. Mereka juga menolak keputusan presiden soal pembentukan tim tersebut. Apalagi santunan yang akan diberikan nanti berdasarkan berkas acara pemeriksaan (BAP) oleh Komnas HAM RI. Korban simpang KKA itu lebih kurang mencapai 100 orang. Sementara yang diBAP oleh Komnas HAM hanya 30 orang. Minimnya korban yang masuk dalam BAP dikarenakan alasan waktu dan pendanaan.
Karikatural di atas memburatkan wajah pemerintah yang seolah-olah berada di persimpangan jalan. Bagaikan memakan buah simalakama. Dimakan mati ibu, tidak dimakan mati ayah. Menyelesaikan secara yudisial sudah menyerah karena sejumlah alasan, melanjutkan penyelesaian dengan cara nonyudisial juga seperti menabur garam di atas luka. Syarat khusus pelanggaran HAM berat masuk pengadilan sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pengadilan HAM ad hoc bisa digelar jika terjadi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, penyelidikan kasus HAM berat dilakukan oleh Komnas HAM yang diteruskan ke penyidik Kejaksaan Agung, dan Jaksa Agung melakukan penyidikan serta menangkap dan menahan para terdakwa pelanggaran HAM.
Pesimis soal pengadilan ad hoc pelanggaran HAM tentu dapat dipahami mengingat ada empat peristiwa yang para terdakwa dibebaskan dari hukuman. Peristiwa Timor-Timur, Abepura, Tanjung Priok, dan Peristiwa Paniai 2014 yang sudah disidangkan di pengadilan HAM ad hoc. Berbagai spekulasi pun bermunculan terkait bebasnya para terdakwa di atas. Bagi keluarga korban pelanggaran HAM, bebasnya terdakwa dari hukuman di atas seperti menggapai keadilan di langit yang tinggi. Tahun demi tahun asa dan secercah harapan adanya balasan yang setimpal bagaikan pungguk yang merindukan bulan.
Sebenarnya niat baik pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat patut kita apresiasi. Tapi kadang gerakannya seperti tari poco yang maju dan mundur lagi. Atau seperti gerakan tarian melayu; dua langkah ke depan tapi empat langkah ke belakang. Upaya non-yudisial dalam bentuk ingin menghadirkan sejumlah kelembagaan ada yang berhasil dan juga gagal. Sebut saja ide soal komite pengungkapan kebenaran, dewan kerukunan nasional, tim terpadu untuk membedah kasus HAM masa lalu, Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat, dan terakhir Presiden Jokowi membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat masa lalu pada Agustus 2022 lalu.
Tim yang dibentuk terakhir itu telah selesai bekerja dan menghasilkan sejumlah rekomendasi untuk pemerintah. Di antara hal yang disampaikan itu adalah soal memulihkan hak korban pelanggaran HAM berat yang tak masuk cakupan mandate Tim PPHAM, memulihkan dua hak korban: hak konstitusional sebagai korban dan hak warga negara, dan menunaiukan kewajiban negara untuk memulihkan korban secara spesifik . Tiga dari 11 rekomendasi itu berhubungan langsung dengan korban. Keseluruhan rekomendasi itu oleh sebagian kalangan dinilai telah mencakup soal pengungkapan kebenaran, keadilan, reparasi, dan jaminan tak berulang.
Tentu saja rekomendasi tim penyelesaian pelangaran HAM berat masa lalu dengan pendekatan non-yudisial itu ibarat obat sakit kepala. Hanya bisa menghentikan nyeri tapi tidak mampu menghilangkan rasa sakit secara permanen. Apalagi pemerintahan Jokowi hanya menunggu bilangan tahun. Meskipun upaya menyelesaikan pelanggaran HAM berat tanpa jalur pengadilan telah berulang kali digagas, bagi korban jalur pengadilan adalah permintaan yang hingga kini belum berhenti. Mereka masih berharap agar Jaksa Agung dan Komnas HAM bisa duduk Bersama dan berusaha mengatasi hambatan-hambatan yang selama ini ada di depan mata mereka. Harapan para korban dan keluarga korban bukanlah tak beralasan. Menko Polhukam Mahfud MD di medio Januari lalu pernah menyampaikan bahwa pemerintah terus mengusahakan pelanggaran HAM berat diproses ke pengadilan karena tim yang dibentuk itu tidak meniadakan proses yudisial dan pelanggaran HAM berat tidak ada tenggat kadaluwarsa.
Bisa jadi keinginan membentuk tim penyelesaian pelanggaran HAM berat non-yudisial itu ibarat kata pepatah, tak ada rotan akar pun jadi. Apalagi Presiden Jokowi dinilai oleh para pegiat aktivis HAM, sebagai presiden yang abai untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat itu. Lalu bagaimana nasib rekomendasi tim tersebut di tengah tahun politik? Makarim Wibisiona, sang ketua tim juga agak was-was manakala rekomendasi itu tidak ada tindak lanjutnya. Bahkan Makarim menyebutkan apa yang dia lakukan bersama rekan-rekannya dalam tim tersebut akan dinilai sebagai manipulasi politik jika rekomendasi mereka menjadi basi.
Kini meskipun tidak diharapkan oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu, langkah konkrit Presiden Jokowi sedang dinanti. Sesuai dengan rekomendasi, menurut Mahfud MD, dalam rapat cabinet ke depan, pemerintah akan membahasnya dan memberikan target kepada kementerian dan lembaga untuk melakukan program pemulihan. Bila tidak berjalan, pemerintah akan membentuk satgas atau satuan tugas untuk mengawal kebijakan pemerintah terhadap 11 rekomendasi itu. Antara ragu dan tidak kini menggelayut di pikiran para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Meskipun mereka menolak, tapi tentu mereka sedang menunggu kejujuran dan kepastian dari Presiden Jokowi.
Semua itu mengingatkan kita akan penggalan bait lagu “Menanti Kejujuran” yang dilantunkan Achmad Albar dengan grup bandnya GONG 2000. “Kini ku berpijak di persimpangan, tanpa arah pasti kujelang. Tak pernah ku mengerti arti kedamaian, yang pernah kau janjikan. Menanti kejujuran, harapkan kepastian, Hanya itu yang aku sanggup lakukan. Menanti kejujuran, harapkan kepastian. Semoga damai jadi kenyataan”.