REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rakhmad Zailani Kiki, Kepala Lembaga Peradaban Luhur, Redaktur Mediaislam.id
Gempa bumi yang terjadi Senin (21/11/2022) pukul 12.15 Wib di Kabupaten Cianjur berkuatan 5.6 skala Richter (SR), dan berdampak di wilayah Kabupaten Bogor serta dirasakan sejumlah daerah sekitar Bandung, Jakarta dan Bekasi. Gempa, yang mengakibatkan korban tewas ratusan orang dan ribuan bangunan yang rusak parah serta hancur, telah memunculkan keprihatinan mendalam dan juga pandangan terhadap penyebabnya.
Paling tidak, dari pengamatan saya, ada dua pandangan menyikapi bencana gempa di Cianjur ini yang beredar di media sosial, yaitu pandangan pertama menyatakan gempa bumi karena ulah sebagian warga Cianjur yang melakukan perbuatan maksiat seperti perzinaan, LGBT dan membiarkan terjadinya pemurtadan sehingga mengundang murka Allah SWT berupa gempa bumi. Sedangkan pandangan kedua menganggap gempa bumi adalah sunnatullah, bencana dari Allah subhanahu wa ta'ala yang tidak dapat dihindari karena memang wilayah Cianjur rawan bencana seperti gempa bumi, jadi taken for granted, kalau tidak mau terkena bencana, gempa bumi, silakan pindah ke wilayah lain.
Menurut saya, dua pandangan ini sejatinya memiliki sejarah yang panjang dan memiliki basis teologis yang kuat, utamanya dari dua paham keislaman, yaitu paham non Mu`tazilah dan Mu`tazilah yang kemudian ditengahi oleh ahlussunnah wal jama'ah yang disingkat dengan Aswaja. Aswaja merupakan paham gabungan paham Asy'ariah dengan Maturidiyah.
Menurut paham non Mu`tazilah, di muka bumi ini tidak terjadi suatu kejahatan maupun kebaikan kecuali dikehendaki Allah subhanahu wa ta'ala. Segala sesuatu terjadi berdasarkan kehendak-Nya. Seseorang tidak akan sanggup melakukan sesuatu sebelum Allah subhanahu wa ta'ala melakukannya. Manusia tidak bisa melepaskan diri dari Allah subhanahu wa ta'ala. dan tidak mampu keluar dari pengetahuan-Nya.
Penganut teologi ini mengimani qadha dan qadar Allah subhanahu wa ta'ala, yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit. Jadi, bencana tetap dalam kehendak-Nya yang buruk. Dengan kata lain, gempa bumi itu sudah takdir-Nya yang juga merupakan balasan atas perbuatan maksiat, dosa, yang dilakukan manusia.
Sedangkan Mu`tazilah adalah paham yang menganggap bahwa akal manusia lebih baik dibandingkan tradisi. Karena itu, penganut paham ini cenderung menginterpretasikan ayat-ayat Alquran dan juga hadits secara lebih bebas dibanding kebanyakan umat Islam.
Menurut paham Mu`tazilah, Allah subhanahu wa ta'ala memang telah menciptakan kondisi rawan bencana, seperti gempa bumi, di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Cianjur, jadi tidak ada campur tangan-Nya lagi ketika bencana terjadi, apalagi dikait-kaitkan dengan murka-Nya. Kesalahan manusialah yang memilih tinggal di daerah rawan gempa bumi, dan juga kesalahan konstruksi bangunan yang tidak tahan gempa.
Menurut penganut teologi ini, Allah subhanahu wa ta'ala. tidak menyukai kerusakan, dan tidak menciptakan perbuatan hamba, tetapi hambalah yang melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan yang dilarang-Nya dengan qudrah (daya) yang diberikan dan diletakkan Allah Swt. Kepada mereka, Allah subhanahu wa ta'ala mengayomi segala kebaikan yang diperintahkan dan berlepas diri dari segala kejahatan yang dilarang-Nya.
Kesalahan ada pada mereka yang menghuni wilayah rawan gempa bumi jadi segala risiko harus mereka tanggung. Tidak perlu mengkait-kaitkan bencana gempa bumi dengan murka-Nya karena sekali lagi, Allah subhanahu wa ta'ala selalu menghendaki kebaikan kepada makhluk-Nya.
Teologi Aswaja
Sedangkan teologi Aswaja merupakan gabungan dari paham Asy'ariah dan Maturidiyah. Paham Asy`ariyah menyatakan bahwa di muka bumi ini tidak terjadi suatu kejahatan maupun kebaikan kecuali dikehendaki Allah subhanahu wa ta'ala. Segala sesuatu terjadi berdasarkan kehendak-Nya. Seseorang tidak akan sanggup melakukan sesuatu sebelum Allah subhanahu wa ta'ala melakukannya. Kemudian paham Maturidiyah melengkapi bahwa di Indonesia, seperti di Cianjur, merupakan daerah rawan bencana, seperti longsor dan gempa bumi.
Bencana gempa bumi tidak dapat dihindari jika para korban, setaqwa apapun dia, tetap berada di wilayah gempa bumi, sehingga tidak ada satu ikhtiar pun yang dapat mencegah jika terjadi gempa bumi. Dan sampai saat ini belum ada teknologi yang dapat mengetahui kapan dan di mana akan terjadi gempa bumi. Yang bisa dilakukan adalah mencegah terjadinya bencana, terjadinya korban jiwa dan kerusakan bangunan, akibat dari gempa bumi dengan misalnya membuat bangunan atau hunian tahan gempa. Cara lain adalah hijrah dari daerah rawan gempa bumi ke daerah yang aman dari gempa bumi, sehingga manusia dapat melepaskan diri dari takdir Allah subhanahu wa ta'ala yang buruk untuknya kepada takdir Allah subhanahu wa ta'ala yang baik untuknya.
Dari ulasan dua teologi di atas, tentu yang moderat adalah teologi Aswaja. Maka paham ini perlu kita pegang dan anut agar tidak tersesat secara pemikiran dan dalam menyikapi bencana seperti gempa bumi. Karena sekali lagi, nenek moyang kita telah memilih Indonesia, tempat yang rawan bencana ini, seperti gempa bumi, sebagai tempat untuk bermukim dan menjalankan kehidupannya, sebagaimana kita telah memilihnya juga. Jika tidak berkenan, kita dapat pindah, karena bumi Allah subhanahu wa ta'ala masih luas untuk hamba-hamba-Nya yang shaleh. Wallaahu`alam bishowab.