Selasa 25 Oct 2022 17:54 WIB

Minyak Makan Merah dan Perbaikan Pasar Minyak Goreng

Minyak goreng merah menjadi antisipasi kelangkaan minyak goreng sawit.

Warga antre membeli minyak goreng curah bersubsidi. (ilustrasu)
Foto: ANTARA/Prasetia Fauzani
Warga antre membeli minyak goreng curah bersubsidi. (ilustrasu)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Nalar Al Khair, Peneliti Sigmaphi

Pemerintah berniat melakukan ground breaking pembangunan pabrik minyak makan merah pada minggu ke-3 atau ke-4 Oktober 2022 di tiga wilayah, yaitu Kabupaten Deli Serdang, Asahan, dan Langkat. Piloting ini merupakan kerja sama antara Kementerian Koperasi dan UKM dengan PT Perkebunan Nusantara III. Langkah ini diharapkan dapat menjadi angin segar bagi konsumen karena harga jual minyak makan merah bakal lebih rendah dibandingkan minyak goreng sawit pada umumnya. 

Minyak makan merah adalah turunan produk sawit dan merupakan hasil penelitian Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Produk ini dapat dikonsumsi sebagai minyak goreng. Proses produksi memakai teknologi sederhana sehingga dapat diterapkan petani sawit rakyat dalam skala Usaha Kecil dan Menengah. 

Pengadaan minyak goreng merah diharapkan juga bisa menjadi antisipasi atas kemungkinan bakal kembali langka dan mahalnya harga minyak goreng sawit seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Kita ingat, tingginya harga minyak goreng terjadi hampir setahun lamanya, sejak pertengahan 2021 hingga puncaknya pada April 2022.  

Pada Juni 2021, menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, harga rata-rata minyak goreng kemasan sederhana di pasar tradisional mencapai Rp 15.850/ liter dengan aturan harga acuan penjualan yang ditetapkan pemerintah saat itu sebesar Rp 11.000/liter, atau lebih tinggi 44%. Kemudian harga tertinggi terjadi pada April 2022, di level harga Rp 26.550/liter, yang membuat masyarakat semakin tertekan di tengah hantaman pandemi Covid-19 yang belum pulih. 

Bukan hanya harga yang tinggi, komoditas minyak goreng juga sempat menghilang di pasaran. Spekulasi pun muncul terkait penyebab kondisi ini. Dari penimbunan oleh pihak tertentu, distribusi yang ditahan produsen, dan juga prioritas ekspor minyak sawit ketimbang memasok pasar dalam negeri karena harga dunia yang tinggi pada saat itu. 

Pada minggu ketiga Oktober 2022, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memulai sidang majelis pemeriksaan pendahuluan untuk perkara minyak goreng yang dihadiri 27 terlapor terkait pelanggaran pasal penetapan harga dan pembatasan peredaran barang.  Semoga saja, dengan langkah KPPU ini, penyebab kasus tingginya harga dan hilangnya minyak goreng di pasaran beberapa waktu lalu dapat terungkap. 

Tidak itu saja,  semoga pula ikhtiar KPPU ini tidak mendapati aral melintang. Bukan apa-apa, sebelumnya KPPU juga pernah bertindak tegas terhadap produsen minyak gireng nakal.  Pada Mei 2010, KPPU pernah memvonis 20 perusahaan minyak goreng yang dinilai melakukan praktik kartel kesepakatan harga. Sayangnya vonis tersebut dibatalkan oleh pengadilan negeri Jakarta Pusat. Begitu pula dengan Mahkamah Agung yang menolak kasasi KPPU.  

Nah, mudah-mudahan langkah hukum yang dilakukan KPPU kali ini bisa berjalan lebih efektif dan bisa lebih menyehatkan kondisi pasar minyak goreng di Indonesia—yang memang terlihat sangat tidak sehat. Kajian KPPU pada awal tahun 2022 menggambarkan bahwa 56,3% pasar minyak goreng hanya dikuasai oleh 5 perusahaan seperti Sinarmas, Asian Agri, Musim Mas, Wilmar, dan Salim/Indofood. Struktur ini mengarah kepada pasar Oligopoli di mana terdapat ruang yang besar untuk mengatur harga juar produknya di pasaran. 

Itu sebabnya, struktur pasar komoditas ini harus diubah menjadi pasar yang lebih sehat. Stiglitz (2017) mengungkapkan bahwa kekuatan pasar sering kali dikaitkan dengan penciptaan hambatan untuk masuk dan juga ketidaksetaraan dalam penguasaan sumber daya. 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement