Oleh : Nashih Nasrullah, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Sejak awal saya tidak menaruh simpati terhadap aktivitas Eko Kuntadhi dan gerombolannya di media sosial, yang oleh sebagian kalangan dilabeli dengan buzzer. Dalih melakukan konter atas apa yang mereka sebut dengan para kadrun, alias kadal gurun, tapi pada pada kenyataannya, disadari atau tidak, diakui atau dimungkiri, justru ada unsur mengolok-olok ajaran Islam itu sendiri.
Dalam negara demokrasi, perbedaan afiliasi politik sangat boleh, bahkan dilindungi undang-undang, tetapi yang tidak diperkenankan adalah menyerang secara personal kecenderungan ideologi, atau keagamaan seseorang dan menghujatnya. Ini berlaku juga sebaliknya.
Identifikasi lawan politik dengan jenggot panjang, celana cingkrang, atau identitas keagamaan lainnya, lalu mencibirnya, sejatinya adalah menyerang ajaran Islam yang memang menjadi bahan diskusi para ulama sepanjang sejarah, bahkan perbedaan pendapat itu muncul dari para generasi salaf yang mumpuni.
Sebagian ulama yang mengamini tentang anjuran memanjangkan jenggot (ihfa’ al-lihyah) dan larangan isbal, berpegang teguh pada prinsip kehati-hatian agar tidak kehilangan salah satu sunnah Rasulullah Muhammad SAW, menurut salah satu versi pembacaan sunnah baik kajian transmisi sanad ataupun pembacaan teks.
Baca juga : Hina Ceramah Ning Imaz, Bisakah Eko Kuntadhi Dipidanakan? Ini Jawaban Praktisi Hukum
Kita misalnya, boleh tidak setuju dan layak menolak dengan ‘jihad’ ala para jihadis teroris, tetapi bagaimanapun kita tidak boleh mencemooh syariat jihad yang memang digariskan dalam Islam, sekalipun pemahaman dan praktik jihad yang dimaksudkan bisa berbeda.
Dalam kasus terakhir yang menyeret pengasuh putri Pesantren Lirboyo, Ning Imaz, tentang tafsir ayat ke-41 surat Ali Imran. Ada pelajaran mendasar dari sesat pikir pegiat media sosial Eko Kuntadhi atas cuitannya di media sosial, sebuah postingan yang memicu reaksi keras dari berbagai pihak. Reaksi tersebut bukan tanpa dasar, bukan pula hanya berangkat dari sasaran olok-olok Eko Kuntadhi yaitu seorang Ning, melainkan juga bagaimanapun Eko, telah mencibir salah satu ajaran Islam yang diabadikan Alquran dalam berbagai ayatnya, yaitu bidadari-bidadari surga yang dijanjikan Allah SWT.
Ning Imaz, berangkat dari pembacaan seorang pakar tafsir Abad Pertengahan asal Damasukus, Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berjudul Tafsir Alquran Al-Adhim. "Jadi sebetulnya orientasi kenikmatan tertinggi bagi laki-laki adalah perempuan. Makanya hadiahnya di surga nanti adalah bidadari. Tapi kalau perempuan tidak. Perempuan di surga nanti, kenikmatan tertingginya bukan laki-laki. Makanya tidak ada bidadara, tidak ada. Perhiasan, perempuan itu menyukai perhiasan. Hal-hal yang indah, karena dia sendiri perhiasan dan dia juga menyukai perhiasan...."
Surat Ali Imran ayat 14 memang tidak berbicara langsung tentang janji bidadari, tetapi mengutarakan tentang kecenderungan alamiah seorang pria terhadap lawan jenisnya. Kecenderungan inilah yang lantas kemudian dijadikan sebagai salah satu nikmat dan ganjaran yang diperuntukkan untuk orang-orang yang bertakwah di surga kelak oleh Allah SWT.
Baca juga : Azyumardi Azra Semula akan Jadi Pembicara di Konferensi Internasional di Malaysia
Ini misalnya, tampak terlihat jelas dari surat Ad-Dukhan ayat 51-56 dan surat Thaha 17-20. Istilah bidadari surga tersebut terkadang dalam Alquran disebut dengan al-hur al-‘in. Pakar bahasa Ibnu Mandhur, memaknai kata al-hur dengan perempuan-perempuan yang mempunyai kecantikan fisik yang sempurna, seperti mata dan alisnya.
Dua pakar tafsir dari kalangan sahabat Abdullah bin Masud dan Ibnu Abbas memaknai ciri fisik lain dari bidadari surga, sebagaimana tertuang dalam surat al-Baqarah ayat 25, yaitu muthahharah, mereka terjaga dari hadas kecil dan tidak pernah mengalami siklus bulanan, layaknya peremuan di dunia. Sebagian ulama menambahkan penafsiran bahwa mereka, para bidadari itu suci terbebas dari akhlak-akhlak yang tercela.
Ajaran tentang janji bidadari kelak di surga, bahkan ditegaskan secara gamblang oleh Rasulullah SAW dalam banyak sabdanya yang sahih, dengan pemaknaan yang juga kuat. Riwayat Imam Ahmad dari Abu Hurairah RA, misalnya. Tiap Muslim yang bertakwa kelak akan mendapatkan dua istri dari bidadari, masing-masing mempunyai 70 perhiasan yang tersingkap indah. Riwayat lain juga menyebutkan tentang deskripsi perempuan-perempuan surga yang kecantikannya tak sebanding dengan wanita-wanita di dunia.
Oleh para generasi salaf pun, janji bidadari itu dijadikan sebagai salah satu motivasi untuk senantiasa berbuat baik. Suatu saat Atha’ As-Salmi pernah meminta nasihat dari Malik bin Dinar, tokoh ulama abad kedua Hijriyah. Malik bin Dinar yang merupakan murid dari sahabat Nabi SAW, Anas bin Malik itu pun berpesan, “Wahai Atha’, di surga kelak akan ada para bidadari yang kecantikannya memukau para penghuni surga, seandainya Allah SWT tidak menetapkan kematian bagi penghuni surga mereka akan mati karena kecantikannya.” Sejak saat itu pun Atha’ terngiang-ngiang dengan pesan Malik bin Dinar selama 40 tahun. Imam Al-Qurthubi dalam kitab At-Tadzkirah, lantas menyarankan siapapun yang ingin kenikmatan sedemikian rupa, hendaknya tekun beribadah dan beramal saleh selama di dunia.
Baca juga : Ketum PP Muhammadiyah Sebut Prof Azyumardi Azra Tergolong Syahid, Ini Penjelasannya
Kita boleh saja geram dengan jihadis yang menggunakan janji bidadari ini sebagai doktrin teologis mereka. Tetapi kita tak sepatutnya mencibir janji bidadari untuk para penghuni surga yang jelas-jelas difirmankan Allah SWT dalam Alquran, dirawikan Rasulullah SAW dalam sabdanya, dan diamini generasi salaf, yang mentransmisikan agama ini dengan adab dan tanggung jawab ilmiah. Jangan sampai, Eko Kuntadhi dan gerombolannya, berdalih konter ‘para radikalis’ tetapi malah menghujat ajaran Islam yang fundamental dan radikal dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW. Istilahnya, nahy al-munkar bi al-munkar, mencegah kemungkaran dengan melakukan kemungkaran yang selevel atau bahkan lebih buruk. Saya sebagai Muslim dan warga Indonesia, tak pernah merasa terwakili dengan aksi para pegiat media sosial macam ini, alih-alih mendatangkan manfaat, yang datang malah mudharat.