Oleh : Muhammad Hafil, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus penolakan pendirian gereja di Kota Cilegon menyita perhatian publik belum lama ini. Pekan lalu, ratusan orang mengatasnamakan Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon menolak pendirian gereja di Cilegon. Mereka menuntut anggota DPRD Cilegon dan Wali Kota untuk menegakkan peraturan daerah terkait pendirian rumah ibadah selain masjid.
Ratusan orang yang terdiri dari berbagai ormas Islam, LSM, dan yayasan tersebut tampak memenuhi halaman tengah kantor DPRD Cilegon. Mereka membawa kain putih dan membubuhkan tanda tangan untuk menolak pendirian rumah ibadah.
Menurut FKUB Kota Cilegon, ada tiga sebab penolakan gereja itu. Pertama, berdasarkan sejarah di abad 19 di masa penjajahan Belanda yang melarang adzan, menangkapi para ulama dan membunuhnya. Sehingga, menjadi asumsi pada masyarakat saat itu bahwa yang melakukan kejahatan adalah non-Muslim.
Baca juga : Sebuah Laporan Ungkap Rasisme Struktural Jerman terhadap Muslim
Kedua, soal penggusuran desa di Cilegon saat membangun pabrik Krakatau Steel pada tahun 70-an. Pada sat itu, ada perjanjian di kalangan ulama, tokoh masyarakat, dan pihak berwenang memunculkan klausul tak ada rumah ibadah selain Islam di Cilegon.
Ketiga, adanya Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/ SK/1975, Tertanggal 20 Maret 1975, Tentang Penutupan Gereja/Tempat Jemaah Bagi Agama Kristen dalam daerah Kabupaten Serang (sekarang Cilegon).
Atas dasar itulah, pekan lalu, sejumlah kelompok masyarakat mendesak Pemkot Cilegon mendukung sikap mereka. Dan, tuntutan mereka pun disetujui oleh wali kota Cilegon.
Nah sekarang, bagaimana kita melihat dari sisi hukum positifnya. Secara hukum, di situ ada SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/ SK/1975, Tertanggal 20 Maret 1975, Tentang Penutupan Gereja/Tempat Jemaah Bagi Agama Kristen. Saat ini, Kota Cilegon sudah berdiri sendiri dan terpisah dari daerah induknya yakni Kabupaten Serang.
Sehingga, SK Bupati Serang tahun 1975 itu sebenarnya tidak cukup kuat bagi masyarakat untuk menjadikan dasar menolak pembangunan gereja. Karena, Cilegon sekarang sudah memiliki peraturan hukum sendiri.
Baca juga : Islam Agama Damai, Umatnya Jangan Dihina!
Kemudian, SK itu juga tidak bisa melawan peraturan yang lebih tinggi yakni Undang-Undang. Aturan umumnya, yakni UUD Pasal 29 ayat 2, yang menjamin setiap warga negara bebas memeluk agama daan beribadat berdasarkan agama dan kepercayaaannya.
Kemudian, ada peraturan di bawahnya tentang pendirian rumah ibadah. Yakni, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Peraturan bersama ini dikenal juga dengan SKB 2 Menteri tentang rumah ibadah.
Dalam peraturan ini, pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. Selain itu, ada juga persyaratan khusus yang harus dipenuhi terkait pendirian rumah ibadah, yaitu: daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat; dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
Berdasarkan peraturan itu, umat manapun di Indonesia berhak mengajukan permohonan mendirikan rumah ibadah. Dengan catatan, syarat-syarat itu terpenuhi.
Namun dalam kasus pendirian gereja di Cilegon ini, ternyata ditemukan fakta bahwa syarat untuk pendirian gereja belum dipenuhi. Hal ini disebutkan oleh Kepala Kemenag Kota Cilegon Lukman Hakim yang menegaskan pemerintah tiak menolak pembangunan Gereja HKBP Maranatha Cilegon. Namun, menurut Lukman, izin pembangunan gereja yang ditolak warga itu belum memenuhi persyaratan.
Baca juga : Ini Enam Poin Catatan Permintaan Maaf Eko Kuntadhi ke Ning Imaz
"Kemenag tidak menolak bahwa pengajuan yang diajukan panitia itu belum memenuhi sesuai dengan ketentuan PPM 08-09 Tahun 2006, itu aja," kata Lukman akhir pekan lalu.
Lukman mengaku pihaknya hanya menjalankan regulasi yang berlaku. Dia menegaskan tidak ada upaya penolakan pembangunan gereja selama izin yang diajukan sesuai dengan regulasi yang ada.
Pernyataan Kemenag Cilegon ini didukung oleh pernyataan Wali Kota Cilegon Helldy Agustian yang mengatakan pihaknya belum pernah menerima dokumen permohonan pendirian gereja. Karena itu, pemerintah tidak bisa memprosesnya.
Jadi, terang di sini bahwa akar masalah belum bisanya gereja dibangun di Kota Cilegon karena syaratnya belum terpenuhi. Jika saja syarat-syarat hukum yang disebutkan tadi seperti UUD Pasal 29 ayat 2 dan SKB 2 Menteri dipenuhi, maka pemerintah daerah berkewajiban memenuhi permohonan pembangunan rumah ibadah, termasuk gereja.
Itu jika bicara soal hukumnya. Faktanya, di lapangan ada ditemui permasalahan pembangunan rumah ibadah. Terutama, di wilayah-wilayah minoritas.
Baca juga : Dibandingkan Ferdy Sambo dan Will Smith, Suami Ning Imaz Pilih Maafkan Eko Kuntadhi
Tidak hanya gereja yang sulit dibangun di wilayah minoritas. Tetapi, ini juga bisa terjadi jika masjid dibangun di wilayah warga Muslimnya sebagai minoritas.
Karena itu, untuk mendukung upaya toleransi dan saling menghormati antar pemeluk agama, diperlukan upaya saling silaturahmi dan duduk bersama. Para pesertanya adalah FKUB, pemerintah, dan para pemeluk agama di suatu daerah. Dengan begitu, nuansa saling menghormati antar pemeluk agama akan tercipta. Sehingga, bukan tidak mungkin upaya pendirian rumah ibadah, selama memenuhi syarat bisa terwujud.