REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Nalar Al Khair, Peneliti Sigmaphi.
Masyarakat Indonesia dikejutkan dengan pengumuman kenaikan bahan bakar minyak (BBM) pada Sabtu, 3 September 2022. Kebijakan ini dikeluarkan akibat BBM bersubsidi justru dinikmati oleh kalangan mampu yang kemudian dianggap tidak tepat sasaran. Menteri keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa 80% Pertalite dan 95% Solar dinikmati oleh masyarakat mampu. Sehingga pemerintah berupaya untuk mendorong konsumsi Pertalite dan solar bisa tepat sasaran.
Ketika kondisi tidak tepat sasaran tersebut menjadi alasan naiknya harga BBM, bagaimana dengan subsidi pupuk yang disalurkan pemerintah? Laporan Bank Dunia 2018 mengungkapkan bahwa sekitar 30% bantuan subsidi pupuk tidak tepat sasaran. Jika menggunakan cara berpikir mengurangi subsidi BBM karena tidak tepat sasaran, maka pemerintah juga harus mengurangi beban APBN untuk subsidi pupuk tersebut. Akan tetapi cara berpikirnya tidak demikian. Bukan mengurangi subsidi, melainkan pelaksanaannya yang harus diperbaiki agar lebih tepat sasaran.
Jika kita bandingkan harga BBM Pertamina dengan perusahaan swasta konvensional yang juga menjual BBM, tampak bahwa selisih harga yang dijual Pertamina hanya sedikit. Misal per liternya untuk Pertalite saat ini dijual Rp 10.000 dan Revvo 89 dari perusahaan Vivo di Rp 10.900. Kemudian Pertamax 92 di harga Rp 14.500/liter, Revvo 92 Rp 15.400, dan Shell Super Rp 15.420. Hal ini menunjukkan bahwa Pertamina memang berupaya memaksimalkan keuntungan. Padahal, meskipun kita sudah menjadi importir BBM tetapi kita juga memiliki hasil BBM dari bumi kita sehingga bisa dilakukan subsidi silang antara biaya pembuatan BBM dari impor dengan BBM dari bumi Indonesia.
Jangan lupa bahwa Pertamina itu merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), jadi jangan ambil untung yang terlalu besar. Atau ternyata Pertamina tidak lebih efisien dari perusahaan swasta lain yang juga menjual BBM?. Jangan lupa bahwa Pertamina didirikan dari uang pemeritah. Sumber uang pemerintah salah satunya pajak yang dipungut dari masyarakat Indonesia. secara tidak langsung Pertamina juga dimiliki oleh rakyat. Jadi jangan menekan rakyat di tengah kondisi ekonomi yang masih sulit.
Ingat Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mengutip laman Liputan6.com 26 Agustus 2022, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan harga keekonomian Pertalite Rp 17.200/liter dan Solar Rp 17.600/liter. Angka ini perlu dikaji ulang. Vivo sebelumnya mampu menjual BBM ron 89 di harga Rp 8.900/liter. Akan tetapi kemudian dipaksa oleh pemerintah untuk menaikkan harganya menjadi Rp 10.900/liter. Hal ini menunjukkan bahwa Pertalite juga dapat dijual dengan harga yang tidak jauh berbeda dari harga tersebut. Kita tahu jumlah pom bensin Pertamina tahun 2022 sekitar 6.729, sedangkan Vivo hanya 14. Secara skala ekonomi saja sudah jauh berbeda, yang dengan demikian harusnya Pertamina dapat menjual dengan harga BBM yang lebih murah. Sehingga angka keekonomian tersebut perlu dikaji ulang.
Pertamina harus mengungkapkan alasan kenapa mereka tidak mampu menjual Pertalite dengan harga yang lebih murah dari harga saat ini di Rp 10.000/liter. Jika memang tidak efisien dalam produksinya maka harus diungkapkan. Pertamina juga perlu mempublikasi struktur biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 liter Pertalite ke masyarakat. Agar masyarakat mendapatkan informasi yang lengkap terkait kondisi naiknya harga BBM saat ini dan mengapa harga tersebut tidak jauh berbeda dengan perusahaan swasta konvension