Oleh : Ani Nursalikah, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Awan duka menyelimuti warga Palestina di Jalur Gaza. Serangan udara dari Israel membombardir pada Jumat (5/8/2022).Kali ini, jumlah nyawa yang terenggut sebanyak 47 jiwa. Sedangkan 360 orang luka-luka hingga Ahad lalu.
Agresi itu menampilkan kekejaman Israel terhadap negara yang dijajahnya. Bagaimana tidak, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, justru banyak korban yang berjatuhan adalah wanita, lansia, dan anak-anak balita.
Serangan pesawat nirawak Israel dari 6-8 Agustus 2022 membuat 17 anak-anak Palestina gugur. Usia anak-anak ini mulai dari empat hingga 18 tahun.
Masyarakat di Jalur Gaza sebetulnya masih dibayang-bayangi perang pada Mei 2021 yang menewaskan 260 warga Palestina dan menghancurkan ribuan rumah, bangunan, dan bisnis.
Kepada Aljazirah, militer Israel mengatakan 200 roket yang diluncurkan kelompok Jihad Islam salah sasaran dan membunuh warga sipil. Operasi Israel berkode Operation Breaking Dawn itu menewaskan dua komandan senior kelompok militan Jihad Islam Palestina, komandan Tayseer al-Jaabari dan tiga asistennya, beberapa hari setelah menahan seorang pemimpin Jihad Islam di Tepi Barat.
Kelompok tersebut pada Ahad (7/8/2022) mengonfirmasi bahwa kedua pemimpin mereka tewas di tengah meningkatnya konflik lintas perbatasan dengan Israel. Tentara Israel kemudian melakukan puluhan serangan terhadap bangunan tempat tinggal, situs militer, dan properti sipil dengan alasan semua targetnya merupakan milik kelompok Jihad Islam.
Namun, serangan Israel yang menargetkan pemimpin Jihad Islam tidak sebanding dengan gugurnya korban jiwa warga Israel. Akhirnya, pada Ahad malam, Israel dan gerilyawan Jihad Islam menyetujui gencatan senjata yang ditengahi Mesir. Gencatan senjata secara resmi dimulai pada pukul 23.30 waktu setempat. Belum dipastikan kapan tenggat waktu gencata senjata ini.
Aqsa Working Group mengatakan, para pemimpin dunia dan seluruh komunitas internasional dituntut untuk merespons kezaliman Israel dengan nyata. Tidak sekadar gimmick diplomatik apalagi standar ganda, memberikan kecaman tapi terus menjalin hubungan mesra dengan zionis Israel.
Aqsa Working Group menyampaikan kepada pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia, menyerukan untuk terus memperkuat bantuan dan dukungan kepada rakyat Palestina dan menghindari sejauh-jauhnya hubungan dengan zionis Israel. Termasuk menolak keikutsertaan Timnas U-19 Israel pada Piala Dunia U-20 di Indonesia tahun depan.
Mengingat kebiadaban Israel, sudah sepantasnya dunia mengecam. Indonesia, Arab Saudi, Turki, Otoritas Palestina, Qatar, Pakistan, PBB hingga Parlemen Arab kompak mengecam tindakan keji Israel. Terkait gugurnya anak-anak Palestina, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet mengecam pembunuhan tak masuk akal itu. Ia pun menuntut mereka yang bertanggung jawab.
Sayangnya, aksi pembungkaman agar serangan Israel tidak terdengar di dunia terjadi di media sosial. Aktivis Palestina mengklaim raksasa media sosial terlibat dalam sensor digital.
Padahal, platform media sosial berperan penting dalam membentuk pandangan publik mengenai konflik Israel dan Palestina. Salah satu yang jadi sorotan adalah penyensoran oleh Instagram terkait gambar anak perempuan berusia lima tahun bernama Alaa Abdullah Riyad Qaddoum yang terbunuh selama serangan Israel di Gaza pada akhir pekan.
Penyensoran juga diduga terjadi di Twitter. Human Rights Watch pernah mengecam raksasa media sosial Meta karena Facebook dan Instagram memadamkan konten yang diposting oleh warga Palestina saat membahas pelanggaran HAM di Israel dan Palestina.
Ironisnya, Meta menyetujui pidato kebencian anti-Rusia muncul di platformnya. Inilah bukti standar ganda yang terjadi pada Palestina. Sebuah kebijakan yang timpang.
Seperti yang disampaikan Kementerian Luar Negeri Indonesia, sudah saatnya PBB mengambil langkah nyata demi menghentikan tindakan kekerasan dan agresi tersebut guna menghindari semakin banyaknya korban serta memburuknya situasi.