Ahad 25 Apr 2021 04:01 WIB

Curi Start, Tolak Aja Pemudiknya

Perlunya kebijakan sinkron antara pemerintah pusat dan daerah dalam larangan mudik.

Calon penumpang menunggu di loket penjualan tiket bus AKAP di terminal bayangan Pondok Pinang, Jakarta, Jumat (23/4/2021). Pemerintah mengimbau masyarakat untuk menunda mudik atau pulang kampung pada Lebaran mendatang sebagai salah satu langkah membatasi penyebaran wabah COVID-19.
Foto: Antara/Reno Esnir
Calon penumpang menunggu di loket penjualan tiket bus AKAP di terminal bayangan Pondok Pinang, Jakarta, Jumat (23/4/2021). Pemerintah mengimbau masyarakat untuk menunda mudik atau pulang kampung pada Lebaran mendatang sebagai salah satu langkah membatasi penyebaran wabah COVID-19.

Oleh : Agus Yulianto, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Puncak arus mudik lebaran Idul Fitri 1422 H, diperkirakan mulai terjadi pada pekan kedua Mei (sekitar 6-7 Mei 2021). Bertepatan pada tanggal itulah, pemerintah menerapkan larangan mudik. Sejumlah upaya dari mulai penyekatan jalur mudik hingga pemberian sanksi, bagi yang melanggar, telah disiapkan pemerintah. Melalui langkah tegas ini, pemerintah tak ingin angka kasus Covid-19, melonjak.

Pemerintahpun mengeluarkan addendum terkait mudik ini, dengan mengeluarkan Surat Edaran yang mengatur pengetatan persyaratan Pelaku Perjalanan Dalam Negeri (PPDN) selama H-14 peniadaan mudik (22 April - 5 Mei 2021) dan H+7 peniadaan mudik (18 Mei - 24 Mei 2021).

Namun, guna menekan lonjakan kasus dari klaster mudik ini, harus juga ada satu kesatuan kata baik dari pemerintah pusat mau dareah. Tolak Pemudik!.

Apapun alasan yang dilontarkan para pemudik 'nakal', maka sikap tegas aparat dilapangan dengan mengatakan 'tidak' adalah suatu yang harus dilakukan.

Di sisi lain, pemerintah darah--tempat pemudik itu pulang kampung--juga harus berani bilang tidak mau menerima kedatangan pemudik. Kalau pun terpaksa 'bobol' pemudik itu sampai di kampung halamannya, maka sanksi berupa isolasi mandisi selama 14 harus dijalankan. Namun, bagi yang terlihat nekat melawan aturan itu, pemerintah bisa mengambil tindakan yang lebih tegas lagi, denda dan atau kurungan.

Di sinilah, perlunya kebijakan yang sinkron antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Atau antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota, atau juga antara pemerintah pusat dengan pemerintah kabupaten/kota, untuk tegas melarang mudik.

Setidaknya, itu harus diawali dari ibu kota negara DKI Jakarta--yang menjadi sumber penghidupan bagi para pencari kerja dari berbagai daerah--untuk tidak membolehkan adanya mobilisasi massa. Dan itu berlaku bagi semua moda transporasi baik darat, laut, maupun udara. Kendaraan roda dua, empat atau lebih baik pribadi maupun angkutan penumpang umum. Angkutan kapal laut maupun pesawat udara.

Untuk itu, pemerintah harus memasifkan sosialisasi larang mudik kapada seluruh masyarakat. Mumpung masih ada waktu 14 hari ke depan sebelum puncak mudik, maka akan lebih bijak masalah tersebut disampaikan kepada warga masyarakat.

Sehingga, masyarakat akan berpikir dua kali untuk mudik. Kalau itu sinkron, insya Allah masyarakat bisa dipaksa disiplin.

Jangan sampai, di masa-masa jelang puncak mudik ini, pemudik justru mencuri star untuk mudik lebih awal. Itulah yang terjadi pada puncak mudik pada lebaran tahun lalu. Kala itu, pemerintah telah mengeluarkan larangan 'setengah hati' mudik dan akibatnya, terjadi lonjakan covid-19 klaster mudik.

Ini karena, sebagian masyarakat, tidak bisa diajak kompromi. Ada masyarakat yang wataknya begitu melekat pada kebiasaan masa lalu 'wajib mudik', sehingga perlu memaksa mereka agar disiplin.

"Jangan anggap enteng, karena mutasi virus semakin ganas dimungkinkan," mengutip pakar kesehatan masyarakat Universitas Indonesia (UI) Hasbullah Thabrany.

Halau Pemudik

Langkah proaktif salah satunya sudah ditunjukan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Kabupaten Tasikmalaya. Mereka mulai melakukan penyekatan di sejumlah ruas jalan. Bahkan, para pemudik 'curi start' yang datang lebih awal, langsung diputarbalik oleh petugas di pos penyekatan.

Untuk kebijakan mudik, daerah ini mengikuti sebagaimana aturan pusat. Yang tadinya larangan hanya pada 6-17, tapi diperluas mulai 22 April sampai 24 Mei.

Bahkan, tujuh pos telah disiapkan, salah satunya terletak di Tapal Kuda, Kecamatan Salawu, yang berbatasan dengan Kabupaten Garut. Pos kedua berada di Alun-Alun Singaparna. Pos ketiga berada di wilayah Cikunir, Kecamatan Singaparna, yang berbatasan dengan Kota Tasikmalaya.

Di wilayah utara Tasikmalaya terdapat dua pos penyekatan, pertama di wilayah Gentong, Kecamatan Kadipaten dan satunya berada di Kecamatan Rajapolah. Sedangkan di wilayah selatan Tasikmalaya, pos penyekatan berada di Kecamatan Cikalong yang berbatasan dengan Pangandaran dan di Kecamatan Cipatujah yang berbatasan dengan Garut.

Pemkab Tasikmalaya tegas meminta semua pihak untuk benar-benar mematuhi kebijakan itu. Apalagi, larangan mudik itu dibuat bukan bertujuan menghalangi masyarakat berliaturahmi dengan keluarganya. Melainkan, larangan mudik dibuat dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 yang lebih luas.

Epidemiolog FKKMK UGM, dr Riris Andono Ahmad menyebut, peningkatan kasus covid-19 akan tetap terjadi meskipun ada mudik maupun tidak ada mudik. Peluang penyebaran virus sangat besar saat tidak ada pembatasan mobilitas dalam populasi, sementara transmisi semakin meluas.

Karenanya, kebijakan larangan mudik Lebaran bisa dibarengi dengan pembatasan mobilitas masyarakat. Sebab, mobilitas masyarakat cenderung tinggi saat lebaran, misal memanfaatkan momen lebaran untuk ajang silaturahim atau halal bi halal.

Selain itu, selama libur Lebaran banyak yang melakukan wisata dan aktivitas lain yang menimbulkan kerumunan. Maka itu, kebijakan itu (larangan mudik, red) bukan berarti tidak ada efeknya, tapi tidak berdampak jika tidak dibarengi larangan mobilitas.

Untuk itu, pemerintah tegas dan konsisten dalam menegakkan peraturan. Masyarakat juga harus sadar mengurangi mobilitas agar penyebaran tidak meluas. Jika abai, dikhawatirkan terjadi transmisi covid-19 dalam populasi secara cepat.

Dan itu dicontohkan oleh Pemkot Bandung yang  memastikan akan mengikuti kebijakan pemerintah pusat tentang larangan mudik pada Hari Raya Idul Fitri 1422 hijriah sejak tanggal 6 hingga 17 Mei. Dimana sejumlah fasilitas publik seperti Terminal Cicaheum dan Leuwipanjang, bandara dan kereta api akan ditutup kegiatan operasional.

Lantas bagaimana dengan kebijakan yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta dalam menyikapi antisipasi lonjakan kasus Covid-19 klaster mudik lebaran? Semoga dengan sikap tegas satgas sebagai 'benteng awal' larangan mudik ke Jawa atau Sumatra bagi para pemudik, menjadikan langkah yang lebih baik dalam mengatasi Covid-19.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement