REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani*
Video Presiden RI ketiga, BJ Habibie mendadak viral. Video yang berdurasi 53 detik ramai diperbincangkan karena memuat kalimat Habibie yang mengatakan, “penjara itu untuk kriminal, bukan untuk yang beda pandangan.”
Video itu adalah pernyataan Habibie saat hadir dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC), yang dipandu jurnalis kawakan Karni Ilyas tahun 2019. Dalam acara itu, sejumlah tokoh ikut jadi narasumber, antara lain Dai Kondang AA Gym, Din Syamsuddin, Mahfud MD dan Moeldoko.
Potongan video itu menggambarkan Habibie sedang menceritakan pengalamannya di awal-awal menjadi presiden pada 1998. Habibie mengatakan sehari setelah mengumumkan kabinet, ia memutuskan untuk membebaskan semua tahanan politik.
Jaksa Agung saat itu kaget dan menanyakan keputusan tersebut. “Saya bilang, penjara hanya untuk (pelaku) kriminal. Bukan untuk yang berpandangan lain,” kata Habibie. Ia pun memerintahkan Jaksa Agung membebaskan tapol, segera! Sejumlah tokoh lantas ikutan membagikan potongan video Habibie itu.
Tak hanya pernyataan Habibie, Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie juga memberikan pernyataan yang hampir serupa. Ia menilai penjara saat ini sudah kelebihan kapasitas hingga 208 persen. Bahkan di kota-kota besar kelebihan kapasitas itu mencapai 300 persen.
‘’Sekarang, penjara dimana-mana sdh penuh, kelebihan penghuni (over kapasitas) sdh 208%. Bahkan di kota2 besar sdh 300%," katanya mengutip akun resmi Twitternya, setelah meminta izin, Jumat (16/10).
Namun, sayangnya, penghuni penjara itu bukanlah penjahat melainkan orang-orang yang berbeda pendapat. Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara UI itu, menyarankan agar aparat menggunakan penjara sesuai peruntukannya. Kalaupun ada pihak yang berbeda pendapat, lanjut dia, cukup diajak dialog.
"Maka, peruntukkanlah penjara bagi para penjahat saja, bukan utk orang yg brbeda pendapat. Mereka yg beda pendapat cukup diajak dialog dg hikmah utk pencerahan," katanya.
Jika menilik ke belakang, pernyataan Jimly terlontar setelah sejumlah demonstran dan aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ditangkap dan ditetapkan menjadi tersangka. Mereka diklaim melakukan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Mereka juga dituduh telah melakukan ujaran kebencian, menyerang pemerintah, serta dianggap telah menghasut terjadinya aksi penolakan terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Yang perlu digarisbawahi, peristiwa penangkapan pada orang-orang yang berbeda pendapat dan mengkritik tajam pemerintah bukan kali ini saja terjadi. Catatan penangkapan demonstran dan aktivis semakin panjang setiap tahunnya. Misalnya saja, di 2019 ketika demo besar-besaran Reformasi Dikorupsi, demonstran dan aktivis pun ditangkap, bahkan kasus penembakan yang menewaskan demonstran mangkrak hingga sekarang.
Tak ada demonstrasi pun, para aktivis yang kritis lewat media lain, bukan dengan demonstrasi ke jalanan tetap tak luput dari cidukan aparat. Ada Ananda Badudu yang ditangkap aparat pada 27 September 2019 karena menginisasi penggalangan dana publik untuk mendukung gerakan mahasiswa yang menentang RKUHP dan UU KPK. Peneliti kebijakan publik, Ravio Patra yang ditangkap aparat karena dianggap menyebar hasutan berbuat kekerasan melalui pesan WhatsApp.
Lalu aksi dengan cara damai juga sudah dilakukan. Contoh nyata aksi damai Kamisan di depan istana yang berlangsung bertahun-tahun juga tak kunjung mendapatkan respons dari pemerintah. Berbagai kajian, seminar, diskusi dan rekomendasi sudah seringkali dilakukan tetapi tetap jadi tumpukan kertas yang mungkin tak pernah akan dibaca.
Jika cara damai sudah dilakukan, cara akademik juga ditempuh lewat berbagai kajian, demonstrasi besar-besaran di tanah air juga serempak digelorakan, lalu harus dengan cara apalagi aspirasi dan keresahan masyarakat akan benar-benar didengarkan?
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id