REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- UU Cipta Kerja masih terus menjadi polemik. Kemarin ribuan karyawan, buruh, elemen kampus, dan kelompok lingkungan menggelar aksi unjuk rasa di berbagai daerah. Alhamdulillah, aksi unjuk rasa kemarin berlangsung lebih adem. Tanpa ada perusakan dan kerusuhan seperti yang terjadi sebelumnya di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia.
Melihat berbagai aksi unjuk rasa yang terus terjadi, pantas rasanya kita melihat lagi, mempertanyakan lagi, mengkritisi lagi: Untuk siapa sebenarnya UU Cipta Kerja ini disusun? Sebab, kalau benar untuk pekerja, mengapa justru pekerja yang paling banyak protes sepanjang proses penyusunan UU ini sampai pada pengesahannya. Mengapa pekerja justru merasa tidak diakomodasi suaranya?
Atau benarkah UU ini memang untuk mengakomodasi kelompok bisnis? Rasanya, iya. Kalau kita perhatikan betul pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh Menko Pereko nomian Airlangga Hartarto, Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Luhut B Panjaitan, serta sejumlah menteri ekonomi lainnya, termasuk Menkeu Sri Mulyani dan Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah.
Kalimat-kalimat seperti: "Iklim investasi", "birokrasi", "penanaman modal", "investor", memang lebih mesra dengan kelompok pebisnis ketimbang kelompok pekerja. Ini adalah kalimat yang sering kali disebutkan oleh para menteri dan para pebisnis ketika mereka membicarakan UU Cipta Kerja. Kalimat yang abstrak, jauh dari tanah.
Beda rasa bahasanya dengan kalimat yang kerap diucapkan kelompok pekerja, buruh, karyawan saat membahas beleid setebal 1.035 lembar ini. Mereka mereka ini lebih sering bersuara hal yang riil, dekat dengan kehidupan sehari-hari, terutama dekat dengan risiko kerja mereka: "Upah", "Hak cuti", "Libur", "Cuti melahirkan", "Cuti haid", "Pesangon", "PHK", dan lainnya.
Pemerintah mengatakan, UU Cipta Kerja diperlukan untuk memuluskan investasi pada masa mendatang. Kalau ini disam paikan tanpa ada pagebluk Covid-19, publik pasti relatif menerima dengan baik.
Namun, dalam kondisi seperti ini, publik pasti mengernyitkan dahi. Pagebluk Covid-19 masih terus meluas, malah belum ada tren penurunan di Indonesia, belum juga ditemukan obatnya, serta ketiadaan vaksin, itu investasi oleh siapa?