Rabu 30 Sep 2020 16:04 WIB

Harap-Harap Cemas Menanti Kepastian Resesi

Menabung dan berhemat menjadi kunci bertahan selama resesi dan pandemi.

resesi ekonomi
Foto: Tim infografis Republika
resesi ekonomi

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Friska Yolandha*

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 13 September 2020 mengumumkan pembatasan sosial skala besar (PSBB) setelah kasus harian Covid-19 di wilayah itu tembus seribu. Keputusan ini menggegerkan masyarakat karena itu artinya pembatasan kegiatan akan kembali seperti pada Maret dan tentunya berdampak ke perputaran bisnis di DKI Jakarta.

Keputusan ini sungguh berdampak pada upaya pemerintah untuk mencegah negara ini masuk ke jurang resesi. Pasalnya, kontribusi DKI Jakarta terhadap perekonomian nasional cukup signifikan, yaitu sampai 18 persen. Kalau ekonomi di DKI terbatas, tentu perekonomian nasional juga akan terhambat.

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyebutkan, dengan keputusan PSBB, ekonomi Indonesia sudah pasti mengalami resesi. Pernyataan ini juga dipertegas dengan revisi pertumbuhan ekonomi kuartal III oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani di kisaran minus 2,9 persen sampai 1,1 persen.

Indonesia menyusul beberapa negara lainnya yang sudah lebih dulu masuk ke masa resesi. Di wilayah Asia, ada Singapura, Malaysia, Filipina, Korea Selatan, dan Jepang. Di zona yang lebih luas, Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat juga telah resmi resesi. Bank Dunia bahkan merevisi pertumbuhan ekonomi negara kita menjadi negatif dua persen hingga 1,6 persen.

Kepastian resesi menjadi sentimen negatif bagi pergerakan saham nasional. Padahal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) baru saja mulai merangkak naik setelah terjun bebas sejak Maret. Isu PSBB dan resesi membuatnya kembali terpeleset ke zona merah.

Titik terendah IHSG terjadi pada 24 Maret 2020, yaitu 3.937,63. Secara perlahan, IHSG bergerak fluktuatif dan mencapai titik tertingginya pada 27 Agustus, yaitu 5.371,47. Per Selasa (29/9), IHSG ditutup di level 4.879,10.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyatakan perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan negatif sebenarnya telah diperkirakan sejak Maret 2020, terutama saat ditemukannya kasus Covid-19 pertama di Indonesia. Berbagai upaya dilakukan, termasuk mengucurkan bantuan-bantuan untuk mendorong daya beli masyarakat.

Namun demikian, tidak akan maju ekonomi tanpa pengendalian Covid-19. Dalam sepekan terakhir, jumlah kasus terkonfirmasi sudah mencapai empat ribuan per hari. Di saat negara lain tengah berjuang menahan gelombang kedua Covid-19, kita masih berjuang menurunkan kurva pertama. Akankah kita memaksakan ekonomi maju tapi kasus Covid-19 meledak?

Lalu, kalau sudah resesi, mau bagaimana? Menabung dan berhemat adalah kuncinya. Sejak pembatasan sosial, kita sudah dipaksa untuk tidak banyak bergerak dan membuang uang. Keluar rumah seperlunya, artinya uang bensin lebih sedikit. Kadang, kerja dari rumah juga bikin lupa mandi, jadi lebih hemat sabun dan air. Karena bekerja di rumah, jajan juga berkurang karena tak lagi rapat sambil nongkrong di kafe.

Bertahan menjadi kata yang harus kita tanamkan mulai saat ini. Bertahan dari resesi, bertahan dari pandemi, bertahan tetap waras meski sudah jenuh dengan semua keterbatasan.

Dan, jangan lupa tetap bersyukur. Bersyukur masih bisa berkumpul dengan keluarga,  bersyukur diberi kesehatan dan tetap hidup, bersyukur masih bisa menertawakan panci yang cuma bisa diisi beras seliter untuk satu rumah.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement