REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ratna Puspita*
Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia baru saja berlalu. Selama ini, 17 Agustusan identik dengan upacara, dan perlombaan mulai dari permainan tradisional seperti balap karung dan makan kerupuk hingga permainan modern seperti pertandingan futsal. Namun, kebiasaan itu tidak bisa hadir pada peringatan HUT ke-75 RI tahun ini.
Pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak awal tahun memaksa peringatan HUT RI tahun ini memiliki kebiasaan baru. Istana Negara tetap melakukan upcara, tetapi sebagian besar tamu menghadirinya secara virtual.
Upacara pengibaran bendera di kampung-kampung hanya bisa diikuti oleh jumlah peserta yang terbatas dengan physical distancing, menggunakan masker dan face shields. Berbagai perlombaan yang biasanya menjadi hiburan gratis bagi rakyat juga tidak bisa dilaksanakan.
Di DKI Jakarta, misalnya, Satpol PP akan membubarkan masyarakat yang 'nekat' menyelenggarakan perlombaan. Setidaknya ada dua wilayah di Jakarta Timur (Jaktim) yang menyelenggarakan perlombaan dan dibubarkan oleh Satpol PP.
Suka atau tidak suka, kondisi ini menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 telah merenggut kemerdekaan yang selama ini kita rasakan. Tidak hanya itu, ada ancaman lain pada peringatan HUT RI kali ini, yakni resesi akibat Covid-19.
Ada banyak indikator yang menentukan sebuah negara mengalami resesi. Namun, resesi biasanya ditandai dengan penurunan ekonomi yang signifikan dan berlangsung lebih dari beberapa kuartal. Selain itu, resesi dapat terjadi ketika pengangguran naik, penurunan pendapatan, perdagangan melambat, dan perubahan kebiasaan belanja.
Pandemi Covid-19 telah memperdalam penurunan ekonomi yang terjadi sejak awal tahun. Beberapa hari belakangan, media memberitakan bahwa Indonesia sudah dikepung oleh negara-negara yang mengalami resesi. Negara Asia Tenggara yang sudah mengalami resesi, yakni Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand.
Kondisi ini menjadi lampu merah bagi Indonesia. Wakil Presiden ke-11 Boediono mengatakan krisis yang terjadi saat ini bukan sekadar resesi dan bukan pula depresi, melainkan paralisis karena sistem ekonomi tiba-tiba saja beku.
Resesi tidak hanya menjadi persoalan ekonomi, melainkan juga hukum dan keamanan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam KTT ke-22 APT di Bangkok, Thailand, tahun lalu sempat menyebutkan keamanan nontradisional ini seperti ancaman resesi ekonomi menghantui negara di kawasan Asia Tenggara.
Terkait keamanan nontradisional, setelah perang usai, kebijakan non-perang menjadi sebuah normalitas di banyak negara, termasuk Indonesia. Seiring dengan itu pula, persoalan keamanan bergeser dari persoalan menjaga keamanan wilayah suatu negara menjadi keamanan yang tidak hanya terkait dengan keamanan wilayah suatu negara.
Keamanan ini disebut juga dengan keamanan nontradisional. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada Februari lalu mengatakan, ancaman keamanan nontradisional ini seperti bencana alam hingga perubahan iklim.
Menilik penjelasan Jokowi dan Prabowo, pandemi Covid-19 meningkatkan ancaman keamanan terkait bencana (karena Covid-19 adalah bencana non-alam) dan resesi. Dalam konteks resesi, individu sebagai anggota masyarakat dapat merasa tidak aman dan khawatir dengan keberlangsungan hidupnya, khususnya bagaimana mengisi perut.
Telah dijelaskan bahwa resesi terkait dengan pengangguran dan penurunan pendapatan. Urusan perut dapat membuat orang menjadi lebih emosional. MacCormack & Lindquist (2018) dalam jurnal yang diterbitkan American Psychological Association (APA) menggunakan istilah hangry untuk menjelaskan bahwa banyak orang emosional ketika kelaparan.
Orang yang marah bisa saja menjadi agresif atau memukul orang lain. Tentu saja, agresivitas massal yang berujung pada kerusuhan adalah hal terakhir yang kita inginkan. Tidak ada yang ingin menambah masalah negara ini dengan persoalan ini, tetapi bukan berarti harus diantisipasi.
Karena itu, dorongan memerdekakan negara dari ancaman resesi menjadi kian besar. Sejauh ini, pemerintah sudah berupaya memberikan stimulus bagi PNS, pekerja swasta, dan UMKM, agar belanja bisa meningkat.
Di sisi lain, seperti yang diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa pemulihan ekonomi RI bergantung pada penanganan Covid-19. Pemerintah tidak bisa terus-terusan memberikan subsidi dan stimulus. Sayangnya lagi, penanganan Covid-19 hingga saat ini belum menunjukkan sinyal bahwa angka positif Covid-19 bisa dikendalikan.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id