REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdul Mu'ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah
Sesuai Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 494/2020, pemerintah tidak memberangkat kan jamaah haji tahun 1441 H, baik untuk jamaah haji reguler maupun haji khusus. Di antara alasan yang di kemukakan adalah belum adanya pengumuman Pemerintah Arab Saudi tentang penyelenggaraan haji dan waktu yang tidak memungkinkan bagi pemerintah untuk dapat menyelenggarakan haji dengan sebaik-baiknya.
Dalam sejarah haji, bukan hanya kali ini Pemerintah Indonesia tidak memberangkatkan jamaah haji. Menteri Agama Fathur rahman Kafrawi tidak memberangkatkan jamaah haji tahun 1946, 1947, dan 1948 karena alasan keamanan dan politik akibat agresi Belanda.
Syariat haji
Dalam Tarikh Tasyri disebutkan, ibadah haji disyariatkan tahun ke-6 setelah hijrah. Nabi Muhammad beribadah haji tahun ke- 10 hijrah. Seumur hidup, Nabi hanya sekali melaksanakan ibadah haji dan tiga kali umrah (Sayyid Sabiq, 1996: 34).
Berdasarkan surah Ali Imran [3]: 97, ibadah haji diwajibkan bagi mereka yang mampu (istitha'ah). Bila persyaratan tak terpenuhi, tak ada kewajiban berhaji. Dari pendapat ulama fikih, ada lima syarat istitha'ah yang harus dipenuhi untuk pelaksanaan haji.
Pertama, istitha'ah fi almal, yakni me miliki kemampuan harta untuk biaya perja lan an haji, tak menanggung utang, dan memenuhi maisyah (kecukupan harta) bagi keluarga yang ditinggalkan. Kedua, istitha'ah fi al-jism, yaitu kesehatan jiwa dan raga, mental dan spiritual.
Haji merupakan ibadah yang menuntut stamina prima dan ketahanan mental karena sebagian besar rukun dan wajib haji adalah ibadah fisik. Ketiga, istitha'ah fi al-ilm, yakni memiliki ilmu agama, khususnya yang terkait dengan manasik haji, keterampilan sosial-budaya, dan kecakapan hidup yang memungkinkannya melaksanakan ibadah haji dengan baik dan benar.
Keempat, istitha'ah fi alhal berupa ke adaan yang aman, bebas dari gangguan kriminalitas, kekerasan, dan wabah yang berbahaya selama perjalanan dan pelaksanaan.
Kelima, istitha'ah fi al-nidlam, yaitu pe nye lenggaraan yang menjamin pemenuhan pelayanan transportasi, akomodasi, konsumsi, kesehatan, dan perlindungan jamaah haji. Memperhatikan kondisi saat ini, tampaknya tiga persyaratan pertama terpenuhi.
Persyaratan keempat dan kelima belum atau bahkan sangat sulit dipenuhi. Walaupun sudah membuka kembali Masjidil Haram dan tempat pelaksanaan haji, Saudi masih memberlakukan physical distancing karena pandemi Covid-19 belum sepenuhnya teratasi.
Kalaupun akan menyelenggarakan ibadah haji, Saudi kemungkinan besar mengurangi kuota masing-masing negara dengan alasan kesehatan dan keselamatan. Physical distancing juga diberlakukan di pemondokan, transportasi umum, dan imigrasi. Dari sisi pemerintah, memang tidak mudah untuk menyelenggarakan ibadah haji tahun 1441 H.
Undang-undang Nomor 8/2019 tentang haji menyebutkan, pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan ibadah haji (Pasal 21/1) yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan pelaporan (Pasal 1/3). Sampai saat ini, pemerintah belum me laksanakan seluruh tahapan perencanaan: (a) penetapan dan penetapan kuota; (b) penetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH); (c) penyediaan akomodasi, trans portasi, dan kesehatan; (d) pelayanan dokumen ibadah haji dan visa; serta (e) penetapan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH).
Di tengah pandemi Covid-19, tidak me mungkinkan penyelenggara haji bekerja maksimal. Pembatalan pemberangkatan haji 1441 H tidak bertentangan dengan syariat karena tidak seluruh persyaratan istitha'ah dapat dipenuhi.
Pemerintah pun tak langgar konstitusi dan undang-undang. Menurut Pasal 2 UU 8/2019 terdapat 10 asas penyelenggaraan haji dan umrah, yaitu syariat, amanah, ke adilan, kemaslahatan, kemanfaatan, keselamatan, keamanan, profesional, transparansi, dan akuntabilitas. Memberangkatkan jamaah haji di tengah pandemi Covid-19, jelas berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan, ancaman keselamatan jiwa manusia, dan berbagai permasalahan sosial lainnya.