REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M. Fuad Nasar, Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama
Kesepakatan bernegara paling krusial dan fundamental bagi bangsa Indonesia di awal kemerdekaan ialah kesepakatan mengenai dasar negara. Pancasila oleh para pendiri negara (founding fathers) dipandang sebagai landasan falsafah yang bisa mempersatukan kebhinekaan bangsa dalam tataran konseptual dan ideal. Rumusan Pancasila yang otentik tercantum di dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945.
Pancasila adalah ideologi modern. Ia merangkum nilai-nilai universal dan merefleksikan jatidiri Indonesia sebagai bangsa yang agamis. Pancasila merupakan ideologi untuk memandu perjalanan bangsa dan negara melangkah ke depan dan bukan ideologi yang membawa mundur ke belakang.
Dalam pandangan tokoh intelektual militer dan mantan gubernur Lemhannas Letnan Jenderal TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo dalam bukunya Pancasila, Islam dan ABRI (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila itu merupakan hal yang relatif baru dalam perjalanan sejarah bangsa kita yang panjang. Bahwa ia mempunyai akar-akarnya dalam seluruh sejarah bangsa kita sebelumnya adalah benar. Tetapi tidaklah benar bahwa Pancasila sebagai konsep sudah ada dalam ketatanegaraan Sriwijaya atau Majapahit.
Penempatan lima prinsip dasar negara di dalam mukaddimah konstitusi mempunyai makna bahwa nilai-nilai substantif Pancasila harus tercermin dalam setiap keputusan negara dan melandasi segala kebijakan pemerintah. Pancasila berfungsi sebagai kompas penunjuk arah dan alat koreksi pembangunan agar tidak melenceng dari tujuan bernegara dan cita-cita perjuangan kemerdekaan.
Dalam perjalanan sejarah bangsa yang penuh warna, Pancasila pernah mengalami distorsi makna dan penafsiran menurut kepentingan penguasa. Di masa lalu pernah terjadi “politisasi Pancasila”, di mana Pancasila dijadikan alat politik penguasa untuk mengekang demokrasi dan kedaulatan rakyat . Pengalaman kelam masa lampau menjadi pelajaran berharga untuk generasi sekarang dan generasi mendatang. Bung Karno mengatakan, ”Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”
Soekarno Pencetus Pancasila
Sejarah lahirnya Pancasila tidak dapat dipisahkan dari peran Soekarno sebagai arsitek ideologi negara dan pencetus Pancasila. Bagaimanapun orang berbeda pendapat dan berlawanan dengan politik Soekarno pada waktu berkuasa, namun semua mengakui jasa Bung Karno sebagai Perintis Kemerdekaan, Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia, serta Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, di samping Bung Hatta. Soekarno di masa revolusi kemerdekaan mempunyai peran besar dalam pembentukan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tak dapat dilupakan sampai kapan pun.
Soekarno adalah yang pertama kali mengenalkan istilah Pancasila dalam pidato 1 Juni 1945. Sejarah Pancasila berproses melalui tiga fase. Pertama, dimulai dari 1 Juni 1945. Kedua, pada 22 Juni 1945, dan Ketiga, mencapai bentuk final pada 18 Agustus 1945. Dalam semua rangkaian proses sejarah pembentukan dasar negara, Soekarno memiliki peran sentral sebagai Ketua Panitia Sembilan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang melahirkan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan Mohammad Hatta sebagai wakil ketua yang mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 (A.M. Fatwa, Pancasila Karya Bersama Milik Bangsa, Jakarta: The Fatwa Center, 2010).
Substansi Pancasila merujuk kepada isi pidato Soekarno di depan rapat besar BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 di Gedung Tyuuoo Sangi-In, sekarang Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri Jalan Pejambon, Jakarta. Soekarno menyampaikan pidatonya tanpa teks untuk memenuhi permintaan Ketua BPUPKI Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat: apa philosofische grondslag daripada Negara Indonesia Merdeka yang akan kita bentuk ini?”
Soekarno sebagai anggota BPUPKI dengan kecakapannya sebagai orator dan agitator yang hampir tak ada bandingnya di masa itu, mengajukan usulan lima prinsip dasar negara Indonesia, yaitu: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri-kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan sosial dan Ketuhanan. Pidato Soekarno disambut oleh hampir seluruh peserta rapat dengan tepuk tangan riuh.
Soekarno menyebutnya lima prinsip, azas atau dasar. Simbolik angka, Rukun Islam lima jumlahnya, jari kita lima setangan, kita mempunyai panca indera. Bukan Panca Dharma, tapi menurutnya, atas saran seorang ahli bahasa dianggap lebih tepat istilah “Pancasila”. Saat itu, Soekarno menawarkan, barangkali ada yang tidak suka akan bilangan lima itu, sehingga boleh diperas tinggal tiga saja, Tri Sila, ialah socio-nationalisme, socio-democratie, dan ke-Tuhanan. Jikalau yang tiga menjadi satu, menjadi perkataan “gotong royong”. Pancasila menjadi Tri Sila, Tri Sila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah mana yang tuan-tuan pilih, Tri Sila, Eka Sila ataukah Pancasila, demikian Soekarno.
Prinsip dasar yang dipaparkan Soekarno merupakan gagasan awal Pancasila dan bukan rumusan Pancasila yang resmi dan mengikat. Pancasila yang diterima secara resmi sebagai dasar negara terdiri dari lima sila yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Mohamad Roem dalam buku Ketuhanan Y.M.E dan Lahirnya Pancasila, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) mengatakan pidato Soekarno sewaktu diucapkan belum diberi nama. Pada tahun 1947 diterbitkan sebagai buku kecil diberi judul Lahirnya Pancasila.
Sekilas kita tinjau arti penting pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 dalam perspektif perjalanan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Sebelum Soekarno mendapat giliran menyampaikan pokok-pokok pikiran tentang dasar negara, rapat besar BPUPKI telah menyimak beberapa pidato tentang rancangan dasar negara, antara lain dari Mr. Muhammad Yamin pada 29 Mei 1945 dan Mr. Soepomo pada 31 Mei 1945. Muhammad Yamin mengemukakan lima asas yang kemudian dimuat dalam Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, ialah peri kebangsaan, peri ketuhanan, kesejahteraan rakyat, peri kemanusiaan, dan peri kerakyatan.
Selain itu, juga ada pidato tokoh Islam yang juga Ketua PB Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo pada 31 Mei 1945. Ki Bagus mengemukakan agar negara Indonesia baru yang akan datang itu berdasarkan agama Islam, di atas petunjuk-petunjuk Alquran dan Hadits, agar menjadi negara yang tegak dan teguh serta kuat dan kokoh. Ki Bagus Hadikusumo mengingatkan sudah enam abad Islam menjadi agama kebangsaan Indonesia dan tiga abad sebelum Belanda menjajah di sini, hukum Islam sudah berlaku di Indonesia. Dalam pidato Soekarno sepuluh kali menyebut nama Ki Bagus Hadikusumo.
Menurut Mohammad Hatta, uraian Soekarno tentang lima sila yang bersifat kompromistis, dapat meneduhkan pertentangan yang mulai tajam antara pendapat yang mempertahankan Negara Islam dan mereka yang menghendaki dasar negara sekuler, bebas dari corak agama. Sebelum sidang pertama ini berakhir, dibentuk suatu panitia kecil untuk:
Pertama, merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945.
Kedua, menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan Indonesia Merdeka.
Dalam panitia kecil, dipilih 9 orang untuk menyelenggarakan tugas itu dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 yang kemudian diberi nama “Piagam Jakarta”. (Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, Jakarta: Yayasan Idayu, 1981).
Panitia Kecil atau Panitia Sembilan BPUPKI yang diketuai Soekarno menyempurnakan rumusan Pancasila 1 Juni 1945. Prinsip kelima, yaitu “Ketuhanan” yang dalam pidato Soekarno diletakkan paling akhir diubah menjadi urutan pertama dengan tambahan kata, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” serta penyempurnaan pada keempat sila lainnya.