REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami, jurnalis Republika
Saat pertama kali tiba di Jakarta selepas berkuliah pada 2008 silam, saya menumpang di kamar kos kawan-kawan di Kebon Sirih Dalam, tak jauh dari Jalan Jaksa. Dari situ, pagi-pagi betul harus berangkat menuju Pejaten untuk mengikuti tes jadi wartawan di Republika.
Yang paling murah, berjalan kaki sebentar menuju perempatan MH Thamrin untuk kemudian naik busway ke (calon) kantor, memasrahkan diri jadi sasaran amuk para senior. Jalur itu sekali waktu mengantarkan saya sarapan di warung McDonald's Sarinah. Iya, yang sedang ramai dibicarakan belakangan. Saya ingat, kala itu yang saya santap semacam telur orak-arik karena belum ada menu lain pada pagi hari macam begitu.
Mungkin karena mulai berkuliah di Jogja pada 2001, saya tak pernah nyaman makan di waralaba tersebut. Kami para siswa dan mahasiswa di pergantian abad, adalah sasaran propaganda masif abang-abang dan kakak-kakak angkatan yang masih pengar selepas menumbangkan rezim. Tak sedikit pula yang condong ke kiri.
Yang keren adalah membaca Pramoedya, Tan Malaka, Marx, Engel, Camus, Ernesto Guevara, Nietzche, Fanon, Ben Anderson, Chomsky, Dotsyoyefsky. Tentu saja, sampai sekarang juga kami tak paham sebagian besar isinya, tapi apa boleh buat, demikianlah tuntutan zaman.
Tidak ada satu negara sosialis tidak mempunyai satu distribusi legal, tidak mempunyai department store.
Yang keren adalah pergi ke kampus dengan bersandal jepit. Yang keren adalah ikut unjuk rasa apa juga. Sebaliknya, jangan coba-coba kedapatan makan di waralaba global, pakai sandang merek ternama, atau mendengarkan musik picisan. Saat itu musimnya antikemapanan.
Yang mau saya bilang, McDonald's pada masa lalu tak semata warung waralaba. Ia juga simbol kedigdayaan gaya hidup Amerika Serikat. Bersama film dan serial TV Hollywood, musik populer, olahraga bola basket, sandang bermerek; jadi ujung tombak infiltrasi kebudayaan pada masa Perang Dingin.
Komunisme tak hanya hancur bersama rubuhnya tembok besar di Berlin. Komunisme tak semata kehilangan daya di ladang-ladang perang di Afghanistan. Kejatuhan komunisme juga terpatri pada satu pagi yang dingin pada 31 Januari 1990 di Lapangan Pushkin, Moskow.
Saat itu, Associated Press melaporkan, 30 ribu warga mengantre sekilometer lebih menuju bangunan dengan dua lengkung emas di atasnya. Menanti dengan sabar untuk membelanjakan rubel-rubel yang mereka tabung untuk sepotong hamburger dan kentang goreng.
Pagi itu, untuk pertama kalinya McDonald's beroperasi di Uni Soviet setelah bertahun-tahun mencoba. Ia buah dari upaya penyelamatan Uni Soviet melalui program Glasnot dan Prestroika Presiden Mikhail Gorbachev.
"McDonald's adalah simbol perbudakan kapitalis. Amerika dan Barat mencoba menghancurkan jiwa kita dan menggantikannya dengan konsumerisme kasar," seorang perempuan berteriak pada kerumunan yang mengabaikannya seperti diriwayatkan AP kemudian. Orang-orang tak peduli, tak sabar mencicipi sekutip kemewahan dari luar Tirai Besi.
Setahun lewat dua pekan kemudian, McDonald's mendirikan warung perdananya di Indonesia. Lokasi yang dipilih tak kalah kurang ajar dengan yang di Rusia.
Sarinah, pusat perbelanjaan bertingkat-tingkat yang masih diingat mantan presiden AS Barack Obama dari masa kecilnya di Jakarta itu dimaksudkan Presiden Soekarno sebagai monumen ide kemandirian ekonominya. Bung Karno mulai mewacanakan ide tersebut pada awal 1960-an. Bangunan yang kemudian dinamai serupa salah seorang pengasuhnya itu diselesaikan pada pertengahan 1966, selepas kejatuhan Orde Lama.
“Tidak ada satu negara sosialis tidak mempunyai satu distribusi legal, tidak mempunyai department store," kata Bung Karno di depan parlemen pada 15 Januari 1966 berargumen soal perlunya pendirian pusat perbelanjaan tersebut. Bung Karno membayangkan, Sarinah akan jadi pusat penjualan produk-produk lokal.
"Yang boleh impor hanya 40 persen. Tidak boleh lebih. 60 persen mesti barang kita sendiri. Jual lah di situ kerupuk udang bikinan sendiri. Jual lah di situ potlot (pena) kita sendiri,” kata Bung Karno berapi-api seperti biasanya. Bung Karno juga menginginkan Sarinah jadi semacam stabilisator harga. Barang-barang serupa di luar tak boleh lebih mahal dari harga jualnya di Sarinah.
Orde Baru yang datang kemudian membuka lebar-lebar pintu untuk investor asing dan konglomerasi dalam negeri, dua faktor yang memungkinkan dibukanya McDonald's di Sarinah.
Dua tahun setelah McDonald's berdiri di Moskow, Uni Soviet bubar, tak ada lagi. Rusia, yang demikian terpuruk perekonomiannya terpaksa beralih ke pasar bebas. Amerika Serikat dengan demokrasi liberal dan sistem ekonomi neoliberalnya akhirnya berdiri sendirian sebagai negara adidaya tunggal di dunia.
Sementara sosialisme yang dibayangkan Bung Karno juga tak pernah mewujud sepenuhnya. Orde Baru yang datang kemudian membuka lebar-lebar pintu untuk investor asing dan konglomerasi dalam negeri, dua faktor yang memungkinkan dibukanya McDonald's di Sarinah.
Sejarah, katakanlah, tinggal lah sejarah. Seperti yang tergambar dari ratusan orang yang melanggar jaga jarak dan melepas kepergian akhir pekan lalu, McDonald's serta waralaba dan kemewahan kelas menengah lainnya sudah melebur demikian padu dengan hidup orang Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Bagaimanapun, penutupan warung McDonald's di Sarinah belakangan seiring juga dengan kondisi-kondisi lain di dunia. Pandemi Covid-19 secara tak terduga meluluhlantakkan imaji Amerika Serikat yang adikuasa. Sejuta lebih pasien positif Covid-19, lebih dari 80 ribu yang meninggal, jutaan pengangguran baru, antrean ratusan kendaraan mengiba bantuan kebutuhan pokok; memantik keraguan yang kian hari kian meluas soal keampuhan sistem tata negara dan perekonomian yang diklaim paling unggul di dunia.
The New York Times mengakui, dunia tak lagi melihat kepemimpinan Amerika pada masa-masa pandemi ini. Saat negara-negara bertekad patungan mendanai penelitian penanganan pandemi, Amerika Serikat hanya diam tak ikut serta. Negeri Paman Sam sejak beberapa tahun belakangan secara relatif bukan lagi dirinya pada dekade-dekade akhir abad lalu. Pandemi membuat hal itu kian terang benderang.
Menteri BUMN Erick Thohir bersama para pejabat terkait tentu punya pertimbangan sendiri soal penutupan gerai McDonald's di Sarinah. Namun di lain hal, entah sadar atau tidak, yang ia lakukan juga monumental secara simbolis. Ia adalah sebuah tanda masa dari tata dunia baru yang besar kemungkinan akan segera tiba.