REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Kuntoro Boga Andri, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian
FAO memperingatkan melalui Global Report on Food Crisis yang dikeluarkan bulan April yang lalu bahwa dunia dalam ancam krisis pangan global. Rantai pasokan pangan dunia terancam karena kebijakan negara-negara dalam menekan penyebaran virus corona, seperti pemberlakuan karantina wilayah atau lockdown, pembatasan sosial, dan larangan perjalanan. Kebijakan masing-masing negara dalam mencegah penyebaran Covid-19 turut berimplikasi pada kebijakan pangan maupun kemampuan produksi mereka. Negara negara yang memiliki ketergantungan impor pangan dan pengelolaan pangan buruk akan terdampak berat dalam situasi saat ini.
Dalam kondisi seperti ini, negara-negara produsen pangan mulai melakukan restriksi produksi dan dagang. Produsen daging di Amerika Serikat, Brasil, dan Kanada menutup pabrik demi menekan laju penyebaran virus Covid-19. Sejumlah negara Eropa juga sudah melakukan pembatasan ekspor, contoh seperti Rusia yang membatasi ekspor gandum sepanjang April sampai Juni di angka 7 juta ton.
Hal yang perlu kita syukuri, ketahanan pangan Indonesia terus meningkat sehingga kita dalam posisi yang baik dalam menghadapi peperangan melawan Covid-19 ini. Laporan FAO dan diikuti beberapa lembaga dunia menjelaskan bahwa jutaan manusia di dunia dan banyak negara sangat tergantung ketahanan pangannya dari perdagangan internasional. Perlu diminimalisir dampak dari pandemi ini bagi negara-negara tersebut. Dari beberapa laporan yang dikeluarkan lembaga dunia ini, Indonesia bukan termasuk negara yang disoroti akan mengalami krisis pangan.
Tentu saja pandemi ini menjadi tantangan besar bagi sektor pertanian Indonesia dan harus diantisipasi dengan cermat. Tapi di setiap tantangan, selalu terdapat peluang. Presiden Joko Widodo pada saat Rapat Terbatas, Selasa (21/4) lalu, menyebutkan bahwa kita harus mengambil ini sebagai momentum untuk melakukan refomrasi besar-besaran dalam kebijakan sektor pangan di negara kita.
Arahan dari Presiden tersebut harus direspons cepat oleh pemangku kepentingan pertanian, baik di eksektutif, legislatif, sektor swasta hingga petani dan pelaku pasar pertanian lainnya. Peluang besar dari kondisi ini sebagai momentum pertanian nasional mengukuhkan diri sebagai pelaku utama di negerinya sendiri dengan kemandirian pangan.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo telah mendorong pelaku pembangunan pertanian untuk semakin erat bekerja sama. Kerja para insan pertanian pun tidak lagi bisa dengan cara biasa. Pemerintah, hadir untuk mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada petani serta menjalankan program yang dapat meningkatkan produktivitas pangan nasional.
Reformasi pangan pada periode ini ditandai dengan modernisasi pertanian melalui bantuan alat dan mesin pertanian serta mengoptimalkan pendampingan oleh penyuluh dalam kerangka program Kostratani. Sinergi dengan berbagai pelaku pasar dan industri pertanian pun diperuat untuk mengakselerasi peningkatan produksi pertanian.
Indonesia juga sudah berhasil menekan impor sejumlah komoditas strategis seperti beras, jagung dan sejumlah komoditas hortikultura. Neraca perdagangan sektor pertanian pun terus membaik dengan bertahannya ekspor komoditas pertanian di tengah pandemi ini.
Indikator lainnya adalah neraca ketersediaan dari data BPS dan Badan Ketahanan Pangan, untuk 11 komoditas strategis yang diprediksi dalam keadaan aman hingga tiga bulan ke depan. Neraca nasional hingga Juni diperkirakan surplus stok beras 6,4 juta ton, stok jagung sebanyak 1,01 juta ton, gula pasir sebanyak 1,07 juta ton, minyak goreng 5,7 juta ton, dan bawang merah 330.384 ton. Selain itu, bawang putih, cabai merah besar, cabai rawit, daging sapi, daging kerbau, telur ayam juga diperkirakan surplus.
Produksi beras sebagai pangan utama perlu dikendalikan optimal. Kondisi tanam yang masuk di awal musim hujan 2019/2020 dominan pada November 2019, menyebar di lahan sawah baku seluas 3.794.930 hektare, dan Desember 2019 menyebar seluas 3.099.146 hektare, plus tanam Januari sehingga puncak panen jatuh pada periode Maret-Mei 2020 perlu diantisipasi pascapanen dan pergudangannya.
Untuk mengantisipasi kemarau panjang di pertengahan tahun nanti, Presiden Jokowi saat memimpin rapat terbatas dari Istana Merdeka, Jakarta, pada Selasa, 5 Mei 2020 memberikan arahan agar mempercepat masa tanam untuk musim berikutnya karena berdasarkan prediksi dari BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), 30 persen wilayah-wilayah yang masuk zona musim ke depan akan mengalami kemarau yang lebih kering dari biasanya. Terkait hal tersebut, Presiden menekankan sejumlah hal terkait, ketersediaan air, ketersediaan sarana produksi pertanian dan pengelolaan stok bahan pangan, termasuk harga yang baik untuk menjamin keuntungan petani.
Kita paham, pengelolaan pangan nasional tidak hanya sebatas persoalan produksi. Masih banyak aspek yang perlu ditangani dari produksi, pasca panen dan pengolahan, pergudangan, logistik, hingga pemasaran di tingkat konsumen.
Maka tak heran jika Menteri Syahrul Yasin Limpo menekankan pentingnya sinergi dengan semua pemangku kepentingan yang ada. Ketika Presiden Joko Widodo mengutarakan sejumlah wilayah mengalami defisit pangan, pemerintah terus bekerja keras untuk memfasilitasi kelancaran distribusi pangan dari wilayah yang sedang surplus ke wilayah defisit. Pola distribusi pangan kita perlu beradaptasi dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai strategi pemerintah dalam mencegah penyebaran Covid-19. Maka dibutuhkan langkah-langkah tidak biasa untuk bisa memodifikasi rantai pemasaran kita sehingga bisa semakin efisien.
Untuk memastikan distribusi pangan lancar, Kementerian Pertanian bersama Kementerian Perdagangan dan Bulog terus memonitor kebutuhan dan ketersediaan pangan. Secara bersama pula, pemerintah akan mengembangkan strategi sistem logistik nasional dalam rangka menyederhanakan rantai distribusi pangan.
Sebagai bagian dari efisiensi rantai distribusi pangan, Kementan menggaet perusahaan layanan distribusi online maupun start up yang bergerak di rantai pemasaran. Jelas terlihat komitmen dari para pelaku layanan penjualan dan distribusi online ini dalam upaya menyerderhanakan rantai pemasaran produk pertanian, seperti Tokopedia, Gojek, Grab, Blibli, Tani Hub dan Kedai Sayur dan lainnya.
Juga perlu digarap dan dilanjutkan partisipasi swasta yang turut menjembatani petani sebagai produsen dengan konsumen. Misal, Lazada bersama dengan Rumah Sayur yang berkolaborasi membantu 2.500 petani binaan Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk menjual hasil panen melalui laman Çari Sayur.
Tentu negara membutuhkan partisipasi semua pihak dan terus mendukung serta memfasilitasi gerakan-gerakan masyarakat seperti ini. Bagaimanapun, masalah pangan nasional bukan hanya tanggung jawab dan kepentingan dari kementerian, petani, ataupun pelaku dunia usaha, namun seluruh warga negara.