REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arisakti Prihatwono (Rico)*
Apakah Anda pernah bau? Iya. Pertanyaan ini jelas sekali. Apakah Anda pernah bau keringat, bau ketiak atau jenis bau lain dan teman Anda menutup hidung karena itu? Jika jawabannya iya maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah Anda malu ataukah merasa tersinggung atau justru tertawa terbahak-bahak?
Bagi beberapa dari kelompok manusia, dianggap bau adalah sebuah penghinaan harga diri luar biasa. Apalagi jika yang menutup hidung adalah manusia beda kelas dan kelasnya jauh di atas mereka. Penghinaan kelas dan harga diri. Kurang lebih seperti itu.
Hal inilah yang diangkat dengan apik oleh Bong Joon-ho dalam film Parasite. Film Asia yang menyeruak masuk ke kancah dunia dan mampu menyabet penghargaaan Oscar di tahun 2020. Hitung saja ada Academy Award for Best Picture, Best Directore, Best Original ScreenPlay, Best International Feature Film. Sebuah ganjaran yang sepadan.
Kembali ke film Parasite, Kim Ki-taek (Song Kang-ho) dan keluarganya yang patuh hidup berjejalan di dalam apartemen bawah tanah yang kumuh dan penuh serangga masuk ke ruang terang benderang kehidupan. Bekerja di bawah majikan Lee Sun-kyun (Mr Park) seorang CEO perusahaan IT dan Jo Yeo-jeong (Istri Mr Park) sebagai suami-istri kaya raya yang polos. Terlalu sering telinga Kim Ki-taek terganggu dengan hinaan bau dari Mr Park majikannya. Tak hanya itu, hinaan ini bahkan membuat Kim Ki-taek tega membunuh Mr Park ketika emosi dan pikiran sudah tak dapat dikendalikan karena urusan bau itu.
Sesungguhnya urusan bau ini adalah urusan orang terpinggirkan. Rata-rata orang yang bau tidaklah beruntung. Nyinyir tentang bau bagi orang terpinggirkan dan biasanya mereka adalah rendah diri akan menimbulkan ekses panjang.
Tak hanya dendam, tetapi urusan nyawa bisa melayang. Urusan orang terpinggirkan ini jelas pembicaraan kelas. Antara “si mampu” dan “si tak mampu” atau antara “si kaya” dan “si miskin” atau “si cerdas” dan “si bodoh”. Apalagi jika jurang perbedaan kelasnya menganga jauh lebar, minder menjadi begitu merajai hati “si tak beruntung itu”.
Namun pertanyaan selanjutnya adalah apakah “si tak beruntung” itu perlu ditolong atau tetap menjadi objek dihina dina? Apakah ada infrastruktur sosial yang mampu mengangkat mereka, sehingga setidaknya mereka menjadi percaya diri dan ketika dihina mereka hanya tertawa karena dianggap gurauan teman belaka.
Lalu bagaimana kita mesti bersikap dengan “orang bau” yang ada di sekitar kita? Apakah akan terus kita bully dan tertawakan? Ataukah kita angkat mereka dan akhirnya mereka bisa wangi? Yakinkah kita mampu dan berani mengangkat mereka?
Sudah pasti mereka “bau” dan bau itu nyata. Tak hanya bau badan namun juga “bau” secara pemikiran dan kelas sosial. Istilah anak sekarang “gak level”.
Jika kita semua berani dan ingin semua manusia wangi. Apakah kita berani mengadu pemikiran dan perlakuan ini dengan pemikiran Hak Asasi Manusia yang penuh dengan idiom "semua adalah manusia". Lalu bagaimana dengan korban kesalahan manajemen Jiwasraya? Korban banjir dan bencana alam? Nasib ribuan orang Indonesia korban radikalisasi yang tak bisa pulang? Nasib keluarga KPPS yang meninggal saat Pilpres? Semua korban ketidakadilan itu di bumi pertiwi dan dunia. Orang-orang "bau" itu akan dikemanakan? Apakah boleh dibuang dan tetap menjadi orang “bau”?
*) Dewan Syuro Pejuang Subuh Indonesia & Advokat di Law Firm Prihatwono