Jumat 07 Feb 2020 06:22 WIB

Korupsi di Pusaran Pilkada

Penyebab dari korupsi kepala daerah dipicu oleh transaksi suap yang masih tinggi.

Sebanyak 270 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada serentak pada 2020. (ilustrasi)
Foto: Republika/ Wihdan
Sebanyak 270 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada serentak pada 2020. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Neni Nur Hayati

Eskalasi korupsi kepala daerah meningkat signfikan dari waktu ke waktu. Data hasil rilis Komisi Pemberantasan Korupsi dari 2004 hingga November 2019 terhadap 139 kasus korupsi yang ditangani, 121 perkara melibatkan kepala daerah. Hal ini menandakan bahwa korupsi telah menjadi bahaya laten yang tidak bisa terbantahkan. Praktik korupsi yang massif terjadi, menunjukkan kegagalan pemimpin dalam menjalankan amanahnya dan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih.

Penyebab dari korupsi kepala daerah, ternyata dipicu oleh transaksi suap yang masih tinggi di daerah. Para kepala daerah disinyalir harus mengembalikan modal kepada cukong untuk mengganti pembiayaan yang digunakan pada saat pilkada. Lebih mirisnya lagi, beberapa calon kepala daerah di pilkada sebelumnya yang pernah tersandung kasus korupsi, kembali terpilih memenangkan kontestasi di wilayah yang sama. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa ternyata masyarakat masih terlalu permisif terhadap kepala daerah yang terlibat korupsi.

Masih hangat dalam ingatan kita, terkait dengan kasus suap yang melibatkan salah satu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia atas kasus dugaan penerimaan hadiah/janji terkait dengan proses pergantian antar waktu anggota DPR RI di bulan Januari 2020 lalu. Dari kronologis kasus yang terjadi, tidak bisa dipungkiri bahwa ternyata aktor utama dugaan suap juga adalah perilaku koruptif partai politik. Hal ini sudah seharusnya menjadi kehati-hatian bagi 270 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada serentak 2020.

Kasus suap tidak hanya terjadi satu atau dua kali. Setiap perhelatan elektoral, suap menyuap selalu mewarnai alam demokrasi kita. Namun, lagi-lagi hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai efek jera para pelaku. Potret yang cukup nyata terjadi di Pilkada serentak 2015, 2017 dan 2018, dimana adanya kasus gratifikasi atau suap terhadap penyelenggara pemilu untuk meloloskan salah satu pasangan calon kepala daerah. Belum lagi kasus mahar politik yang selalu marak terjadi di tahapan pencalonan partai politik.

Jika melihat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 16 Tahun 2019, tahapan pencalonan perseorangan akan dimulai pada 16 Februari 2020. Menyusul pendaftaran dari partai politik dan/atau gabungan partai politik di bulan Juni. Tahapan ini dinilai cukup rawan terjadinya gratifikasi atau suap yang dilakukan oleh kandidat pasangan calon, penyelenggara pemilu dan partai politik.

Dalam Pasal 187 B UU Pilkada jelas menyebutkan bahwa anggota partai politik atau anggota gabungan partai politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling tiga ratus juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah.

Sayangnya, pembuktian tersebut sangat sulit sekali dilakukan. Nyaris tidak ada satu pun kasus mahar yang lolos dalam proses penanganan pelanggaran di Badan Pengawas Pemilihan Umum karena tidak terpenuhinya syarat formil dan materil. Penegakan hukum yang lemah menjadi paradoks dari upaya melawan korupsi itu sendiri. Sehingga akhirnya, korupsi tidak lagi dilihat dari kejahatan yang luar biasa, melainkan sebagai hal yang wajar. 

Upaya Melawan Korupsi

Putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan batasan bagi mantan narapidana untuk mencalokan diri sebagai kepala daerah dengan menunggu lima tahun, menjadi angin segar untuk memfiltrasi dan mencegah terjadinya potensi korupsi di masa yang akan datang. Adapun upaya lain untuk melawan korupsi dapat dilakukan dengan empat hal.

Pertama, komitmen dan integritas menjadi poin penting yang perlu dijaga dengan baik oleh jajaran penyelenggara pemilu. Sebuah bangsa baru dikatakan beradab jika bangsa itu mampu menjaga nilai etika, moral dan integritasnya (Ma’arif, 2019). Dalam hal ini, KPU juga berkewajiban untuk mengumumkan siapa kepala daerah yang pernah tersangkut kasus korupsi, agar masyarakat mengetahuinya.

Kedua, apabila memang ternyata diindikasi terjadi adanya suap atau mahar dalam tahapan pencalonan dan Bawaslu kesulitan untuk pemenuhan syarat formil materil karena wewenangnya juga terbatas, maka KPK perlu hadir untuk mengungkap kasus yang terjadi. Usut tuntas perkara yang menjadi cikal bakal korupsi sampai ke akar – akarnya. Tindak dengan tegas sesuai aturan yang berlaku, siapapun itu tanpa pandang bulu. Jangan hanya unsur pemberi dan penerima saja yang ditindak, sementara dalangnya dilindungi, itu sama dengan tidak menyelesaikan persoalan. Dewan pengawas pun harus dapat kooperatif, bersinergi dan saling bergandengan. Konsisten pada satu tujuan bersama agar korupsi dapat terberantas hangus.

Ketiga, penguatan komitmen juga perlu dilakukan oleh partai politik. Maraknya kasus korupsi yang terjadi mengindikasikan komitmen pemberantasan korupsi yang digaungkan oleh partai politik hanya sebatas retorika. Sikap koruptif di internal partai menjadi salah satu persoalan yang harus dibenahi. Diakui atau tidak bahwa kehadiran partai politik dalam suatu negara demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Proses demokrasi tidak mungkin eksis tanpa partai politik dan sistem kepartaian (Supriyanto, 2010).

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011, partai politik harus memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat. Partai harus mampu memaksimalkan fungsinya baik itu terhadap negara maupun fungsi partai politik terhadap rakyat melalui pendidikan politik dan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik.

Memasuki tahapan pilkada serentak 2020, partai politik wajib berkomitmen untuk tidak menetapkan dan menerima mahar calon kepala daerah yang akan maju di pencalonan. Silakan cari kader partai yang mumpuni dan berintegritas berasal dari domisili setempat untuk dicalonkan secara demokratis dan terbuka. Hal ini menjadi penting agar dapat menekan angka korupsi bukan membuka celah korupsi.

Keempat, masyarakat harus lebih berhati-hati dalam menggunakan hak pilihnya di pilkada 2020. Praktik politik uang pada masa kampanye sampai dengan masa tenang akan senantiasa dilakukan calon kepala daerah untuk mendulang suara. Jangan gadaikan masa depan daerah hanya untuk kesenangan sesaat.

*Direktur Eksekutif Democracy and  Electoral Empoerment Partnership (DEEP), Aktivis Nasyiatul Aisyiyah

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement