REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ani Nursalikah*
Sebuah pengakuan Amerika Serikat (AS) baru-baru ini menjadi bukti perdamaian dan kemerdekaan Palestina masih belum menemukan ujung jalan. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan AS tidak lagi menganggap permukiman Israel di wilayah Palestina yang diduduki sebagai pelanggaran hukum internasional.
Pompeo mengatakan telah mempelajari dengan seksama semua sisi dari debat hukum pendirian permukiman sipil Israel di Tepi Barat. Mengutip penilaian mantan presiden AS Ronald Reagan tahun 1981, hal itu tak konsisten dengan hukum internasional.
Namun, pemerintahan AS saat ini mengubah cara pandangnya. "Menyebut pendirian permukiman sipil (Israel di Palestina) yang tak konsisten dengan hukum internasional belum berhasil. Itu belum memajukan tujuan perdamaian (Israel-Palestina)," ujar Pompeo.
Pompeo telah mengumumkan perubahan besar dalam kebijakan lama AS tentang permukiman Israel di Tepi Barat yang diduduki. Hal itu secara otomatis menolak pendapat hukum Departemen Luar Negeri AS 1978 yang menganggap permukiman itu tak konsisten dengan hukum internasional.
Hukum internasional memandang Tepi Barat dan dan Yerusalem Timur sebagai wilayah pendudukan. Hukum internasional mengatur penguasa pendudukan tidak dapat membangun permukiman sipil di wilayah yang diduduki.
Saat ini terdapat lebih dari 100 permukiman ilegal Israel di Tepi Barat. Permukiman itu dihuni sekitar 650 ribu warga Yahudi Israel. Masifnya pembangunan permukiman ilegal, termasuk di Yerusalem Timur dinilai menjadi penghambat terbesar untuk mewujudkan solusi dua negara antara Israel dan Palestina.
Sejak Donald Trump dilantik menjadi orang nomor satu di AS, dia rajin mengeluarkan kebijakan yang makin menekan Palestina. Trump semakin menegaskan sikapnya sebagai sekutu mesra Israel.
Pada Desember 2017, Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Keputusan itu tentu saja menuai kecaman dunia.
Keputusan Trump ini memang berlandaskan pada sebuah undang-undang yang sudah diloloskan oleh Kongres AS sejak 1995. Hukum itu mengatur pengakuan AS bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel sekaligus mengesahkan pendanaan pemindahan kantor Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Namun, presiden AS sebelum Trump selalu menangguhkan hukum tersebut untuk menghindari eskalasi konflik di Timur Tengah.
Pada 14 Mei 2018, Kedutaan Besar AS di Yerusalem secara resmi dibuka pada hari yang sama warga Palestina memperingati 70 tahun Nakba atau Bencana. Nakba merujuk pada pembersihan etnis kota-kota Palestina oleh paramiliter Zionis pada 1948. Pembukaan Kedubes AS tersebut juga bersamaan pada malam ketika negara Israel didirikan. Langkah Trump tersebut kemudian diikuti sejumlah negara Amerika Latin dan Eropa.
Maret tahun ini, Trump menandatangani dekrit yang mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan. Dataran Tinggi ini masuk wilayah Suriah dan dicaplok Israel pasca-Perang Enam Hari pada 1967.
Bukan hanya itu, Trump juga tidak segan memotong dana untuk badan pengungsi PBB untuk pengungsi Palestina UNRWA pada 17 Januari 2018. Pemerintah AS memotong lebih dari setengah pendanaan yang direncanakan (65 juta dolar AS dari paket bantuan senilai 125 juta dolar AS) ke UNRWA.
Padahal, badan tersebut melayani lebih dari lima juta pengungsi terdaftar. Tindakan AS ini makin membuat pengungsi Palestina menderita karena semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dewan HAM PBB sudah menegaskan posisi mereka yang menyatakan pemukiman Israel di wilayah Palestina melanggar hukum internasional. Dewan HAM PBB menentang deklarasi pemerintahan Trump yang mendukung pemukiman tersebut. Menurut Dewan HAM PBB, sikap AS tidak mampu mengubah hukum internasional
Sejalan dengan sikap Dewan HAM PBB, Indonesia dengan tegas menolak pernyataan AS. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengaku tidak bisa menerima keputusan AS karena bertentangan dengan seluruh resolusi Dewan Keamanan PBB.
Dia menyatakan dengan tegas Indonesia menolak. Retno mengatakan Indonesia yang kini duduk sebagai anggota tidak tetap DK PBB sedang menyiapkan langkah untuk menangani isu ini.
“Permukiman ilegal sudah dipreteli, status Yerusalem sudah dipreteli, masalah pengungsi juga. Pada akhirnya, apa yang tersisa untuk dinegosiasikan?” kata Retno.
Sikap AS otomatis menutup pintu perdamaian yang selama ini diusahakan dunia. Satu hal yang pasti, Indonesia akan berdiri paling depan bersatu untuk memberikan dukungan bagi rakyat Palestina.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id