REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Adam Setiawan, Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia
Aksi unjuk rasa yang berlangsung di beberapa daerah Indonesia telah menunjukkan bahwa keran demokrasi kita sedang berjalan sebagaimana mestinya meskipun diwarnai peristiwa yang tidak mengenakan di lapangan. Pada intinya, mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat menyuarakan tuntutan agar pemerintah bersama DPR membatalkan beberapa RUU yang dinilai kontroversial karena cenderung merugikan rakyat.
Namun, beberapa tuntutan dari mahasiswa yang mencerminkan kehendak rakyat tersebut tak semuanya direspons oleh pemerintah bersama DPR. Seperti revisi UU KPK, Presiden berkukuh melanjutkan proses revisi UU KPK hingga pengesahan.
Padahal, jika mengingat janji politik Presiden selama masa kampanye yang salah satunya menginginkan adanya penguatan KPK dengan menambah anggaran dan personel telah menunjukkan Presiden mempunyai komitmen dan semangat antikorupsi yang kuat.
Seorang mahasiswa membentangkan poster saat berunjuk rasa menolak UU KPK hasil revisi dan RUU KUHP, di Gedung DPRD Jateng, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/9/2019).
Hal demikian rasanya kontraproduktif dengan realitas yang ada tatkala Presiden mengeluarkan surat presiden untuk dilakukannya pembahasan revisi UU KPK bersama DPR. Secara tidak langsung, Presiden mengamini proses revisi UU KPK.
Wajar saja kalau rakyat mulai skeptis terhadap komitmen Presiden dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi. Revisi UU KPK yang menurut versi DPR adalah penguatan terhadap KPK, tetapi hal tersebut hanyalah paradoks.
Tentu, jika ditinjau dari muatan substansi revisi UU KPK yang di antaranya, yakni pertama, KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Kedua, KPK masuk dalam lingkup eksekutif.
Ketiga, penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas. Pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan.
Mahasiswa membawa poster saat unjuk rasa menolak RKUHP dan Revisi UU KPK di depan Gedung DPRD Malang, Jawa Timur, Senin (30/9/2019).
Keempat, bahkan ironisnya dalam revisi UU KPK, KPK tidak lagi mempunyai harapan untuk diperkuat dan memiliki perwakilan daerah sebagaimana disebutkan dalam UU 30/2002 bahwa KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi. Dapat dibayangkan jika substansi dari revisi UU KPK tetap dipertahankan, apakah mungkin ikhtiar pemberantasan korupsi akan sama efektif seperti sebelumnya?
Suatu hal yang tidak dapat dimungkiri jika korupsi akan semakin masif terstruktur dan sistematis akibat tidak adanya kemauan politik dari pemerintah dan DPR dalam membangun sistem yang kuat untuk memberantas korupsi. Ada dua solusi yang dapat dilakukan dalam meng-counter hasil revisi UU KPK ini. Pertama, mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua, Presiden didesak mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (perppu).
Kendati memang perppu merupakan barang yang mahal untuk dikeluarkan, bahkan kelak akan mengganggu hubungan eksekutif dan legislatif menjadi tidak harmonis mengingat pembahasan dan persetujuan undang-undang dilakukan pemerintah bersama DPR. Karena lucu saja jika awalnya pemerintah setuju berlakunya undang-undang, keesokannya dengan pertimbangan lain pemerintah (Presiden) menolaknya dengan mengeluarkan perppu.
Pakar hukum, Bagir Manan menyebutkan, perppu harus dipandang sebagai the necessary evil, sebagai sesuatu yang semestinya dijauhi, tetapi terpaksa dilakukan sebagai upaya membentuk hukum yang tidak semestinya dalam mengatasi kebutuhan yang memaksa. Berdasarkan Pasal 21 Ayat (1) UUD 1945 dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Dalam praktik “hal ihwal kegentingan yang memaksa” dimaknai secara luas.
Tolak Revisi UU KPK. Peserta aksi dari Jaringan Anti Korupsi (JAK) Yogyakarta menggelar unjuk rasa di Tugu Yogyakarta, Selasa (17/9/2019).
Tidak hanya terpaku pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau ancaman, tetapi termasuk juga kebutuhan yang dipandang mendesak. Yang dapat menentukan kegentingan memaksa adalah Presiden. Maka itu, dengan masifnya penolakan publik terhadap revisi UU KPK saat ini, menurut penulis, Presiden dapat menilai keadaan demikian merupakan kegentingan memaksa.
Peristiwa serupa pernah ada pada zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Perppu tersebut diterbitkan ketika SBY mengubah sikapnya terhadap RUU Pilkada tidak langsung yang baru saja disetujuinya dengan menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang mengembalikan pilkada langsung. Dengan demikian, penerbitan perppu merupakan solusi yang tepat dan cepat dalam menjawab keresahan publik atas berlakunya revisi UU KPK yang cenderung melemahkan KPK.
Di samping itu, dengan penerbitan perppu yang merupakan hak eksklusif Presiden, tentunya akan berpengaruh pula pada reputasi Presiden yang sungguh-sungguh mempunyai komitmen mendukung pemberantasan korupsi hingga akar-akarnya. Namun, bukan berarti dengan diterbitkannya perppu polemik tentang revisi UU KPK akan tuntas begitu saja. Sebab, perppu berlaku hanya sementara (temporary).
Perppu harus mendapat persetujuan DPR untuk dapat menjadi undang-undang dalam persidangan berikutnya.
Kemungkinan besar, perppu akan ditolak oleh elite parpol yang berkuasa di DPR. Dan bisa saja, upaya merevisi UU KPK akan dilakukan kembali mengingat rekam jejak pelemahan yang dilakukan elite parpol yang ada di DPR terhadap KPK seakan tiada hentinya. Upaya selanjutnya jika perppu yang diterbitkan ditolak oleh DPR, langkah terakhir yang bisa ditempuh adalah judicial review di Mahkamah Konstitusi.