REPUBLIKA.CO.ID, OLEH: BAGONG SUYANTO, Guru Besar dan Dosen Kemiskinan FISIP Universitas Airlangga
Berbagai program yang dikembangkan pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan di Indonesia tampaknya telah berjalan on the track. Meski tidak terlalu signifikan, jumlah penduduk miskin dilaporkan terus mengalami penurunan. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui angka kemiskinan, yang bulan Maret 2018 berhasil diturunkan menjadi satu digit sebesar 9,82 persen, pada bulan September 2018 menurun lagi menjadi 9,66 persen.
Di perdesaan, secara absolut jumlah penduduk miskin tercatat menurun lima kali lipat lebih banyak daripada penduduk perkotaan, yaitu sebanyak 770 ribu jiwa. Bandingkan dengan jumlah penduduk kota yang penurunan angka kemiskinannya hanya 140 ribu jiwa.
Bagi desa, penurunan lima kali lipat jumlah penduduk miskin yang terjadi tahun ini tentu prestasi tersendiri. Namun demikian, dari segi persentase jumlah penduduk miskin di perdesaan, sebetulnya masih jauh lebih banyak daripada di perkotaan. Persentase jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2018 tercatat sebesar 6,89 persen dan turun menjadi 6,69 persen pada Maret 2019.
Sementara itu, persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2018 tercatat sebesar 13,10 persen, lantas turun menjadi 12,85 persen pada Maret 2019. Jika di perkotaan jumlah penduduk miskin telah berhasil diturunkan hingga satu digit, untuk daerah perdesaan jumlah penduduk miskin tercatat masih dua digit. Ini berarti sasaran tembak untuk program penanggulangan ke depan mau tidak mau harus difokuskan ke wilayah perdesaan.
Nasib masyarakat desa
Berbeda dengan wilayah perkotaan, di mana peluang mencari pekerjaan dan sumber-sumber penghasilan masih sangat terbuka, di perdesaan berbagai peluang yang tersedia bagi masyarakat desa umumnya makin terbatas. Sudah bukan rahasia lagi bahwa di wilayah perdesaan angka kemiskinan sulit diturunkan karena dari segi kualitas SDM, kondisi infrastruktur fisik yang mendukung pengembangan usaha masyarakat, dan kepemilikan aset produksi umumnya lemah.
Meski dalam lima hingga sepuluh tahun terakhir investor dan dunia industri banyak melakukan infiltrasi dan invasi ke berbagai wilayah perdesaan, karena kualifikasi dan profil tenaga kerja di perdesaan yang tersedia sering kali upaya itu mismatch dengan kebutuhan sektor perekonomian firma. Karena itu, yang terjadi kemudian adalah proses marginalisasi.
Salah satu potret kemiskinan di ibukota (ilustrasi).
Alih-alih hal tersebut meningkatkan skala usaha dan memperluas pangsa pasar, justru yang terjadi banyak penduduk desa harus puas dengan pembagian margin keuntungan yang makin tipis. Di berbagai wilayah perdesaan, masyarakat lokal umumnya masih berkutat dengan aktivitas produksi yang sifatnya tradisional dan semata hanya sebagai penghasil bahan baku bagi dunia industri. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika penduduk desa menghasilkan gabah, sementara ketika mau makan mereka harus membeli gabah miliknya yang telah diselip menjadi beras oleh tengkulak atau elite desa dengan harga yang jauh lebih mahal?
Dalam banyak kasus, akibat ketidakberdayaannya, masyarakat desa sering kali harus menanggung kerugian yang tidak sedikit. Fluktuasi harga komoditas pertanian, perikanan, dan peternakan yang terjadi di pasar dan sikap pedagang yang menyubordinasi sering menyebabkan masyarakat desa harus menanggung risiko yang terjadi.
Kasus jatuhnya harga jual ayam potong yang terjadi beberapa waktu lalu adalah contoh nyata betapa tidak berdayanya posisi tawar masyarakat desa. Meski di pasaran harga ayam potong tetap tinggi, yakni sekitar Rp 20 ribu, harga ayam potong di kalangan peternak di desa ternyata anjlok hingga hanya sekitar Rp 5.000 per ekor.
Peternak saat akan memberi makan ayam petelur di Cilodong, Depok, Jawa Barat, Jumat (28/6).
Secara kuantitatif, nilai tukar petani di perdesaan dilaporkan memang naik, tetapi angka kenaikannya umumnya kecil, hanya sekitar 0,2, sementara harga produk kebutuhan sehari-hari yang dikonsumsi masyarakat desa dilaporkan naik dua hingga tiga kali lipat dari kenaikan NTP. Inilah yang menyebabkan kesejahteraan masyarakat desa umumnya malah menurun.
Dibandingkan berbagai produk atau komoditas yang dihasilkan dunia industri, kenaikan harga produk pertanian masih jauh tertinggal sehingga walaupun NTP naik, karena pengasilan yang diperoleh petani tetap tidak mampu mengejar kenaikan harga komoditas dunia industri, yang terjadi adalah ketimpangan antara sektor pertanian dan sektor industri yang makin lebar.