Senin 15 Apr 2019 05:19 WIB

Khilafah, Khalifah, dan Kepemimpinan Nasional

inti dari khilfah adalah menghendaki kemaslahatan bagi manusia di dunia dan akhirat

Massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengikuti puncak acara Muktamar Khilafah 2013 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Ahad (2/6).
Foto: dokrep
Massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengikuti puncak acara Muktamar Khilafah 2013 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Ahad (2/6).

Mendekati Pemilu 17 April 2019 isu khilafah kembali muncul di permukaan. Perdebatan pun terjadi antara masing-masing kubu partai yang bersaing. Tidak sampai di situ terjadi perdebatan di kalangan akademisi terkait istilah ini.

Khilafah sering kali dihubungkan dengan kekuasaan politik dalam Islam. Dalam hal ini para ulama klasik telah menggunakan istilah khilafah, imamah, dan belakangan menggunakan istilah daulah untuk negara.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menjelaskan hakikat kekuasaan adalah kepentingan sosial bagi manusia. Ada beberapa tipe kekuasaan menurutnya. Pertama adalah al-milk at-thabi’i (kekuasaan yang alamiah), yaitu tanggung jawab yang komprehensif (kepada masyarakat)  berdasarkan kepentingan dan syahwat (hal 150). Kategori kekuasaan ini tidak baik dalam suatu kepemimpinan dan akan berdampak negatif kepada masyarakatnya.

Kedua adalah siyasih (kekuasaan politis) yaitu tanggung jawab yang komprehensif (masyarakat) berdasarkan cara pandang akal dalam mendatangkan kemaslahatan dan menjauhkan dari kerusakan di dunia (hal 151). Pada jenis kedua ini kekuasaan hanya mengandalkan rasionalitas pemimpin dalam mengelola negara dengan menafikkan peran agama, yang memungkinkan disebut sebagai pemerintahan sekuler.

Ketiga adalah khilafah yaitu tanggung jawab yang komprehensif (masyarakat) berdasarkan syariat untuk kemaslahatan akhirat dan dunia, yang pada akhirnya kembali ke kemaslahatan akhirat (hal. 152). Menurut Ibnu Khaldun, pada hakikatnya khilafah adalah tentang pemimpin yang mampu menegakkan syariat dalam menjaga agama dan kepentingan politik dunia di dalamnya. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa kekuasaan yang kategori pertama dan kedua adalah mazmum (tercela).

Menurut penulis merujuk pada konsep khilafah yang diajukan oleh Ibnu Khaldun jelas bahwa penekanannya adalah bagaimana kekuasaan/pemerintahan dalam suatu negara itu dapat memberikan kemaslahatan yang tidak hanya di dunia, tetapi akhirat.

Sehingga konsep khilafah harusnya tidak perlu ditakutkan oleh sebagian orang atau kelompok. Karena inti dari khilfah adalah menghendaki adanya kemaslahatan bagi masyarakat di dunia dan akhirat.

Sesungguhnya apa yang ditawarkan Prof Din Syamsuddin dengan khilafah kulturan visional (madaniyah) yaitu tata dunia baru untuk menggantikan sistem dunia (world system) yang sekuler dan membuat kerusakan dunia yang bersifat komulatif, sejalan dengan apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Khaldun.

Karena itu konsep khilafah yang dipahami saat ini perlu dikembalikan kepada ide awalnya yaitu konsep khalifah. Khalifah dalam artian seorang pemimpin harus dapat diikuti karena kualitas dirinya.

Sedang khalifah dalam arti wakil atau penerus ia tidak boleh bertindak atas nama dirinya, tetapi apa yang dilakukan itu atas nama yang diwakilkannya. Dalam hal ini adalah warga negaranya. Jika khalifah itu sebagai wakil Tuhan, maka ia sebagai pemimpin atau imam harus bertindak atas nama aturan-aturan Tuhan.

Konsep negara Pancasila yang disepakati oleh para founding father NKRI sudah tepat karena dirumuskan untuk memberikan kemaslahatan agama dan dunia bagi warga negararanya. Sila pertama Pancasila merupakan inti dari penjagaan agama bagi tiap-tiap individu yang harus dijamin oleh pemerintah.

Bagi Muslim sila pertama ini merupakan manifestasi dari konsep tauhid yang harus diyakini dalam lisan dan perbuatannya. Sedangkan sila lainnya berkaitan dengan aspek urusan hubungan manusia di dunia yang itu pun harus dijaga agar dapat memberikan kemaslahatannya hidup di dunia.

Sebagai khalifah dalam konteks saat ini, pemimpin Indonesia ke depannya harus mampu untuk mengintegrasikan peran agama dengan urusan dunia bagi warga negaranya dengan memberikan kemaslahatan. Agama  bukanlah penghalang pembangunan negara sebagaimana yang dikonsepsikan oleh sebagian pemikir/tokoh Barat.

Agama adalah inti dari pembagunan negara. Lalu, agama bukanlah jargon yang hanya muncul dalam pesta demokrasi lima tahunan. Dia adalah way of life yang harus diterapkan dalam bernegara. Wallahu’alam bil sawwab.

TENTANG PENULIS

NURIZAL ISMAIL. Direktur Pusat Studi Kitab Klasik Islami STEI Tazkia & Peneliti ISEFID

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement