REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Nur Aini*
Pemain film sekaligus penyanyi, Maudy Ayunda mengunggah perihal kegalauannya dalam memilih universitas untuk menempuh jenjang pendidikan magister atau S2 dalam akun Instagram. Pangkal kegalauannya adalah dia diterima di dua universitas yakni Universitas Harvard yang merupakan kampus peringkat pertama terbaik di dunia dan Universitas Stanford, universitas terbaik di urutan ketiga dunia. Rasa bangga dan kagum (serta sedikit iri) saya rasakan membaca kabar salah seorang perempuan Indonesia mampu diterima di sekaligus dua universitas bergengsi dunia. Itu jelas bukan sekadar keberuntungan, butuh kerja keras dan cerdas untuk bisa dinyatakan lolos seleksi penerimaan mahasiswa di sana.
Sesaat setelah Maudy Ayunda berbagi kabar itu, meme soal kegalauan merebak di jejaring media sosial. Maudy Ayunda galau memilih kampus untuk pendidikan S2, bagaimana dengan kegalauan perempuan Indonesia lainnya? Jika kegalauan memilih dua universitas bergengsi dunia hanya dirasakan segelintir perempuan atau mungkin hanya Maudy Ayunda, kegalauan tidak bisa mengenyam pendidikan bisa jadi dirasakan ribuan perempuan Indonesia lainnya. Mereka adalah perempuan yang kesempatan mendapat pendidikannya dipasung oleh kekerasan dan pelecehan, perkawinan anak, pemiskinan, dan diskriminasi.
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan terus terjadi. Dari catatan tahunan (Catahu) Komnas Perempuan yang diterbitkan pada 6 Maret 2019, pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2018 meningkat 14 persen dari tahun sebelumnya menjadi 406.178 kasus dari 348.466 kasus. Kasus tersebut didominasi oleh kekerasan di ranah privat atau personal yang artinya pelaku memiliki hubungan darah, kekerabatan, perkawinan, maupun relasi intim lain atau pacaran dengan korban. Jumlah kasus itu bisa jadi lebih besar karena kekerasan yang terjadi di ranah personal ini kerap dianggap sebagai aib, memalukan, dan privasi sehingga justru disembunyikan dan korban/keluarga enggan melaporkan. Korban yang mengalami kekerasan di wilayah personal pun sering harus menghadapi penghakiman publik dianggap perempuan/anak tidak baik-baik, nakal, berpakaian tidak sopan, kurang pendidikan agama, dan daftar panjang stereotipe negatif lainnya.
Saat perempuan dan anak perempuan diperkosa atau bentuk kekerasan lainnya, hal yang paling sering terjadi adalah dia terpaksa keluar dari sekolah atau berhenti meneruskan pendidikan. Jika korban kekerasan hamil, selain keluar dari sekolah, dia juga harus menghadapi kenyataan pahit lain, dipaksa menikah. Bukti nyata deretan panjang kasus kekerasan terhadap perempuan itu jelas menggambarkan mendesaknya keberadaan payung hukum yang melindungi korban dan pentingnya upaya pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual. Wahai DPR yang terhormat, segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Semakin kerja DPR lamban, dengan melihat banyaknya aduan kasus ke Komnas Perempuan, sepertinya tidak berlebihan jika harus merasa khawatir, perempuan korban kekerasan akan semakin berjatuhan.
Pemaksaan pernikahan pada korban pemerkosaan, terutama jika ia adalah anak perempuan akan memunculkan masalah lain. Siswa yang hamil masih kerap dikeluarkan oleh sekolah. Selain terputusnya kesempatan pendidikan, ia harus menghadapi risiko kehamilan pada usia muda dan tanggung jawab yang belum tentu kuat ditanggungnya hingga kerap melahirkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Pemaksaan perkawinan tidak hanya terjadi pada perempuan dan anak korban kekerasan seksual. Perkawinan anak masih menjadi persoalan di negeri ini, entah karena dipaksa, terpaksa, atau rela akibat mengikuti kampanye menikah muda yang seolah-olah menjadi jaminan bahagia sampai ke surga. Hal yang terjadi kemudian lebih sering: putus sekolah tak apa asal bahagia. Padahal, perkawinan anak menegasikan hak anak untuk mendapatkan pendidikan.
Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi bagi perempuan memang selalu menjadi mimpi. Perempuan dari keluarga miskin yang bisa lulus SMA punya cita-cita cepat dapat kerja, bisa menabung, dan melanjutkan ke perguruan tinggi. Tapi yang terjadi, gaji tidak cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Perempuan tidak digaji tinggi karena ada anggapan mereka hanya menambah penghasilan keluarga, selama ini tunjangan masuk ke rekening suami. Gaji sektor industri padat karya, di mana perempuan banyak bekerja, gajinya lebih kecil dibandingkan sektor industri yang didominasi pekerja pria. Pemiskinan pada perempuan semakin menyurutkan kesempatannya untuk meraih pendidikan tinggi. Kuota beasiswa tidak akan cukup menampung perempuan yang bercita-cita tinggi yang gajinya tak mencukupi membiayai kuliah sendiri.
Pendidikan bagi perempuan bisa jadi kesempatan langka saat bertemu diskriminasi. "Buat apa sih sekolah tinggi-tinggi, kalau nanti jadi ibu rumah tangga saja?" Pertanyaan itu dengan berbagai perubahan kalimat tapi dengan makna sama, selalu menempatkan perempuan dalam ketidakbutuhan atas pendidikan. Tidak ada yang salah dengan menjadi ibu rumah tangga berpendidikan tinggi, yang salah yang tidak mau sekolah. Anggapan tentang menjadi "ibu rumah tangga" tidak butuh pendidikan, membuat anak laki-laki lebih diprioritaskan untuk mengenyam pendidikan. Pembedaan ini termasuk dalam diskriminasi gender, yang membedakan peran sosial seseorang berdasarkan jenis kelamin. Selain diskriminasi gender, hambatan bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan bersinggungan dengan berbagai masalah lain seperti tingkat ekonomi, wilayah tempat tinggal, adat, sistem pendidikan, dan lainnya. Interseksi berbagai persoalan itu menuntut adanya lebih banyak kebijakan yang berpihak pada perempuan.
Oleh karena itu, menyambut Hari Perempuan Sedunia yang diperingati pada 8 Maret setiap tahunnya harus menjadi momentum untuk kita semua bergerak membuka dan meningkatkan pendidikan bagi perempuan. Hal itu agar lahir lebih banyak perempuan Indonesia seperti Maudy Ayunda yang galau milih kuliah di universitas terbaik dunia.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id