REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syahruddin El-Fikri
Sebenarnya saya tidak ingin ikut-ikutan membahas soal istilah kafir ini. Toh, saya bukan siapa-siapa. Lagi pula, sudah banyak ormas dan tokoh agama yang berkomentar masalah ini, mulai dari Nahdlatul Ulama (NU), tokoh Muhammadiyah yang juga ketua dewan pertimbangan MUI, Prof Din Syamsuddin, juga mantan menteri agama Prof Quraish Shihab, serta lainnya. Tentu penjelasan mereka sangat mendalam (in-depth analysis).
Namun, tak ada salahnya saya mengomentari istilah yang sekarang jadi viral ini. Barangkali apa yang saya kemukakan ada manfaatnya. Dan jika tidak ada manfaatnya, ya nggak apa-apa, silakan diabaikan saja. Kata seorang sahabat, melakukan sebuah tindakan lalu salah, itu lebih baik daripada tidak melakukan tindakan dan benar. Lebih parah lagi, tidak melakukan tindakan sama sekali dan salah. Karena itu, saya akan mencoba mengomentari istilah kafir ini, dengan sedangkal-dangkalnya pemahaman saya.
Sahabat!
Kita sudah sering kali mendengar dan bahkan menyebutkan bahwa orang yang tidak beragama Islam itu sebagai ‘kafir’. Itu yang diajarkan sejak kecil pada kita. Dan makna ini turun-temurun diwariskan dari generasi ke generasi, hingga pada akhirnya kita pun menerimanya taken for granted, dan tanpa memeriksanya lagi. Seolah, istilah itu sudah tepat, sehingga terkesan tidak mau ambil pusing dengan hal yang sesungguhnya.
Andai saja kita mau membuka kita suci kita, yakni Alquran, kita pasti akan menemukan maknanya. Meskipun hanya melalui terjemahannya saja. Sebab, istilah ‘kafir’ itu sama sekali tidak berkaitan dengan perbedaan agama.
Baik, sebelum masuk pada pembahasan inti, ada baiknya kita bahas dulu tashrif dari kata ‘kafir’ ini. Dalam bahasa Arab, kata ‘kafir’ berasal dari akar kata isim fail tsulasi mujarrod dari wazan (kata) ‘kafara-yakfuru-kufran’, yang artinya menutup. Dan orang yang menutup (isim fail), disebut dengan ‘kaafir’ (kaf, alif, fa, dan ra). Ini makna secara bahasa. Kata ‘kafara’ ini kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris dengan kata ‘cover’ yang artinya penutup.
Ada pun kata ‘kafir’ secara istilah, bisa kita perhatikan penyebutannya dalam Alquran. Ada banyak sekali Alquran menyebutkan kata ‘kafir’ ini. Baik dengan kata kaafir, kaafirun, kufr, yakfuruun, maupun lainnya. Berikut beberapa contohnya seperti yang ditulis Herry Mardian dalam artikelnya: Makna ‘Kafir’ dan ‘Syuhada’ : ‘Kafir’ Tidak Dengan Sendirinya Berarti Orang Yang Tidak Beragama Islam.
Misalnya dalam surah al-Baqarah [2] ayat 6-7.
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman [6].”
“Allah telah mengunci mati hati (qalb-qalb, quluubihim) dan pendengaran mereka, dan pengelihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat [7].”
Makna kafir dalam kalimat di atas, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, disebutkan; Innal ladziina kafaruu, sesungguhnya orang-orang kafir —yakni orang-orang yang menutup perkara yang hak dan menjegalnya— telah dipastikan hal tersebut oleh Allah akan dialami mereka. Yakni sama saja, kamu beri mereka peringatan atau tidak, mereka tetap tidak akan mau beriman kepada Alquran yang engkau datangkan kepada mereka.
Baca Juga: NU Rekomendasikan Hindari Istilah Kafir untuk Non-Muslim
Makna ayat ini semisal dengan ayat lain-nya, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat (azab) Tuhanmu tidaklah mereka akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih. (QS. Yunus: 96-97).
Kemudian dalam ayat ke-7 surah Al-Baqarah disebutkan, Khatamallahu, menurut As-Saddi maknanya ialah "Allah mengunci mati." Menurut Qatadah, ayat ini bermakna "setan telah menguasai mereka, mengingat mereka taat kepada keinginan setan, maka Allah mengunci mati kalbu dan pendengaran mereka, dan pada penglihatan mereka terdapat penutup. Mereka tidak dapat melihat jalan hidayah, tidak dapat mendengarnya, tidak dapat memahaminya, dan tidak dapat memikirkannya". Jadi, makna dari kata ‘kafir’ pada ayat tersebut adalah menutup diri dalam menerima kebenaran.
Secara lebih perinci bisa kita simak dalam surah Al-Kahfi [18] ayat 100-101.
“Dan Kami tampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir (Al-Kafiriin) dengan jelas.” “yaitu orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari ‘zikri’ (‘memerhatikan’) terhadap tanda-tanda kebesaran-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar.”
Dari dua ayat Surah al-Kahfi ini, kita dapatkan definisi dari kata ‘kafir’. Bahwa yang dimaksud dengan orang-orang kafir adalah mereka yang matanya tertutup dari ‘zikri’ terhadap tanda-tanda kebesaran Allah, dan telinganya tidak sanggup mendengar kebenaran sejati (al-Haqq).
Jika demikian, apakah orang yang kebetulan telah lanjut usia lalu mengalami ketulian atau buta, bisa dikatakan kafir? Atau, jika kebetulan seseorang ditakdirkan dalam keadaan tuli atau buta sejak lahir, apakah bisa dikatakan dirinya sebagai orang kafir? Sementara keinginan untuk lahir menjadi buta atau tuli bukanlah keinginannya sendiri. Jawabannya tentu saja tidak bisa demikian. Sebab, setiap orang diberi kesempatan untuk mendapatkan hidayah.
Lalu, apa maksud dari ayat 100-101 surah Al-Kahfi tersebut? Kita bisa lihat pada surah al-Hajj [22] ayat ke-46. “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah qalb-qalb mereka (quluubun) yang ada di dalam dada.”
Baca Juga: Polemik Istilah Kafir Dibahas Media di Malaysia
Nah, berdasarkan keterangan ayat ini, maka dapat kita tarik definisi bahwa yang disebut ‘kafir’ bukanlah orang yang berbeda agama, melainkan mereka yang mata (hati), telinga (hati) yang di dalam dadanya tidak berfungsi dalam melihat al-Haqq (kebenaran sejati). Ia melihat alam semesta, tetapi tidak bisa melihat kebesaran Allah pada alam semesta. Ia mendengar suara, tetapi ia tidak mendengar suara kebenaran sejati. Yang dimaksud dengan mata dan telinga disini adalah apa yang ada di dalam dada/jiwa (shudur, nafs), bukan liver atau jantung.