Sabtu 26 May 2018 12:15 WIB

Ramadhan dan Energi Feminin

Orang yang bertakwa sulit dikenali kapan dia ditimpa musibah kapan dapat karunia.

Ilustrasi Ramadhan
Foto: REUTERS/MOHAMED AL-SAYAGHI
Ilustrasi Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Nasaruddin Umar

The most super power is femininity. Yang teramat dahsyat sesungguhnya bukan energi maskulin, melainkan energi feminin. Dalam bulan suci Ramadhan, Tuhan lebih terasa sebagai The Feminine God daripada The Masculine God.

Menurut para sufi, jalur tercepat mendekatkan diri taqarrub kepada-Nya ialah jalur feminin. Syekh Muhyiddin ibn 'Arabi pernah mengatakan, kepada muridnya, "jika kalian ingin memotong jalan dan melipat waktu menuju Tuhan, terlebih dahulu kalian harus menjadi 'perempuan' (feminine)."

Menurutnya, unsur kelelakian merepresentasikan sifat al-jalal Tuhan, sedangkan unsur keperempuanan merepresentasikan sifat al-jamal Tuhan. Dalam bulan suci Ramadhan, yang juga disebut bulan cinta (syahr al-hubb), Tuhan lebih banyak memperkenalkan dirinya sebagai The Feminine God ketimbang sebagai The Masculine God.

Sebagai orang yang berpuasa, selayaknya tidak hanya menaruh kasih dan perhatian kepada sesama manusia, tetapi juga kepada makhluk-makhluk Tuhan yang lain. Idealnya orang yang berpuasa sudah dapat menciptakan kualitas ukhuwwah basyariyyah, ukhuwwah islamiyyah, dan ukhuwwah makhluqiyyah.

Kualitas muttaqin yang dijanjikan Tuhan bagi mereka yang menjalankan puasa secara ikhlas dan baik bukanlah janji sederhana. Kualitas muttaqin merupakan dambaan setiap orang. Selain akan dilihat sebagai rahmat oleh sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan, yang bersangkutan juga akan mengalami pengalaman spiritual yang mengasyikkan.

Seorang yang memiliki Taqwa akan merasakan kelapangan dada, meniru sifat Tuhan yang Mahalapang (al-Wasi'). Hujatan dan celaan atau pujian dan sanjungan apa pun yang dialamatkan orang kepadanya tidak lagi akan ditanggapi secara emosi berlebihan karena dadanya sedemikian lapang mampu menampung semuanya.

Berbeda dengan orang yang tidak memiliki unsur ketakwaan, selalu diwarnai suasana batin yang fluktuatif, jika dihujat dadanya terasa sumpek dan jika disanjung lehernya akan bertambah panjang. Orang yang bertakwa sulit dikenali kapan dia ditimpa musibah dan kapan dia dikaruniai rezeki. Dia memberikan respons yang biasa semua yang datang kepadanya. Jika ditimpa musibah, dia bersabar dan jika dianugerahi keberhasilan, dia bersyukur.

Orang-orang yang bertakwa akan menyadari Allah sebagai Tuhan makrokosmos dan mikrokosmos. Manusia sebagai makhluk mikrokosmos merupakan bagian yang teramat kecil di antara seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Meskipun dipercaya Tuhan sebagai khalifah di bumi,  manusia tidak sepantasnya mengklaim Allah, lebih menonjol sebagai Tuhan manusia daripada Tuhan makrokosmos.

Ini karena pemahaman yang demikian dapat memicu egosentrisme manusia untuk menaklukkan, menguasai, dan mengekploitasi alam raya sampai di luar ambang daya dukungnya, bukannya bersahabat dan berdamai sebagai sesama makhluk dan hamba Tuhan.

Tuhan tidak hanya memperhatikan kepentingan manusia, sebagaimana pemahaman yang keliru sebagian orang terhadap konsep penundukan alam raya (taskhir) kepada manusia. Seolah-olah konsep taskhir adalah "SIM" menaklukkan alam semesta. Padahal, konsep taskhir sebenarnya bertujuan merealisasikan eksistensi asal segala sesuatu itu sebagai "the feminine nature" yang mengacu kepada keseimbangan kosmis dan ekosistem.

Manusia sebagai khalifah selayaknya menjalankan fungsi kekhalifahannya senantiasa mengidentifikasikan diri dengan "The Feminine God". Sekiranya, maka sudah barang tentu tidak akan pernah terjadi disrupsi lingkungan alam dan lingkungan sosial. Sebaliknya, yang akan terjadi adalah kedamaian kosmopolit (rahmatan li al-'alamin) di tingkat makrokosmos dan negeri tenteram di bawah lindungan Tuhan (baldah thayyibah wa Rabun Ghafur) di tingkat mikrokosmos.

Hanya bagi mereka yang berpuasa yang dapat menjelaskan kaitan antara mikrokosmos, Tuhan, dan makrokosmos. Mereka akan merasakan bagaimana peranan puasa menjalankan misi dan kapasitasnya sebagai khalifah dan representatif Tuhan di bumi.

Orang-orang yang demikian inilah sesungguhnya yang menjalankan konsep ketauhidan yang paling ideal. Mereka menganggap dirinya sebagai makhluk mikrokosmos yang mempunyai konsep kesatuan dengan makhluk makrokosmos.

Di tingkat kemanusiaan, mereka dengan sendirinya berupaya menyingkirkan berbagai kesenjangan sosial yang ada dalam masyarakat dalam upaya mewujudkan keutuhan sesama makhluk mikrokosmos. Konsep integralistik secara internal dan secara eksternal ini merupakan perwujudan pribadi muttaqin sebagaimana diungkapkan dalam ayat-ayat puasa.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement