Kamis 03 May 2018 05:07 WIB

Tahun Politik & 15 Bank Gagal Sistemik

Jangan sampai ada moral hazard yang dibarengi dengan konspirasi.

Fuad Bawazier
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Fuad Bawazier

Oleh: Dr Fuad Bawazier*

Memasuki tahun politik, pada akhir April 2018 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan adanya 15 bank ( berpotensi) gagal berdampak sistemik. Pengumuman di tahun politik 2018 ini tentu saja mengingatkan kepada kejadian skandal Bank Century pada tahun politik 2008,- setahun sebelum Pilpres 2009,- yang merugikan negara sekurang kurangnya Rp 6,7 Triliun dan persoalannya masih belum tuntas (mandek) di KPK sehingga penggunaan dananya sampai sekarang juga masih misterius. Yang jelas Pak Budiono selaku Gubernur BI saat itu yang paling ngotot memberikan uang talangan sebesar Rp 6,7Triliun untuk Bank Century, walaupun bukan ketua umum partai politik, kemudian ditunjuk sebagai cawapres dan menjadi Wapres 2009-2014.

Barangkali Pengumuman OJK ini memang kebetulan saja bahwa dalam situasi bisnis di Indonesia yang sedang terpuruk, banyak perusahaan selaku debitur yang bangkrut dan kesulitan memenuhi kewajiban pembayaran kreditnya kepada bank selaku kreditur sehingga menimbulkan Non Performing Loan (NPL) atau kredit macet. Belum lagi bila kredit itu diberikan kepada group atau gengnya sendiri, ataupun tidak memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku, sehingga Bank kreditur menderita kredit macet dan mengalami kesulitan likuiditas, yang berujung menjadi atau menuju bank yang gagal.

Indikasi adanya permasalahan dalam kredit perbankan terlihat dari turunnya laba bank dan naiknya NPL atau kredit macet. Persoalannya apakah OJK selaku pengawas perbankan sudah melakukan langkah langkah pencegahan dan penindakan yang tegas sesuai dengan peraturan yang berlaku terhadap bank bank yang sampai memasuki kondisi (berpotensi) gagal berdampak sistemik. Jangan sampai mengulangi kesalahan BI (selaku pengawas bank) pada saat krisis moneter BLBI 1997/1998 dan Bank Century 2008 yang justru menfasilitasi bank bank nakal yang terlibat. Itulah moral hazard yang dibarengi dengan konspirasi.

Publik tentu tidak menginginkan terjadinya BLBI jilid 3 sebab biasanya akan melibatkan kerugian dana yang besar. Meskipun dana talangan itu keluar dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) tetapi dana LPS itu awalnya diperoleh dari APBN dan kemudian dari premi bank bank umum dan BPR/BPRS. Jangan sampai dana LPS ini dikeruk oleh bank-bank gagal baik yang berdampak sistemik maupun tidak berdampak sistemik, ataupun yang di pura purakan berdampak sistemik atau alasan faktor psikologis seperti pada skandal Bank Century yang sebenarnya karena banknya tidak dikelola dengan baik. Lebih lebih bila ada konspirasi atau dukungan politisi. Apalagi bila diikuti dengan pelanggaran atau penyimpangan yang dibiarkan atau di diamkan oleh otoritas.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktek praktek pembobolan dana  model BLBI/ Bank Century biasanya terjadi pada tahun politik, melibatkan dana (kerugian) besar dan tidak diusut tuntas. Jadi bukan tidak mungkin mafia perbankan yang sudah ketagihan dan ahli dalam permainan pembobolan bank memanfaatkan datangnya tahun politik.

Karena itu sebaiknya 15 bank yang  ditengarai akan gagal berdampak sistemik segera di audit khusus maupun legalitasnya oleh BPK termasuk memeriksa apakah SEMUA peraturan perbankan dan peraturan perundang undangan lainnya yang berlaku bagi bank tersebut sudah diterapkan khususnya oleh OJK. Hasil audit investigasti BPK ini diteruskan kepada DPR agar dalam Raker pembahasannya dengan OJK, LPS, BI dan Menteri Keuangan bisa tuntas, sehingga tidak ada dana talangan yang di kucurkan sebelum ada kesepakatan bersama.

Jakarta, 1 Mei 2018

 

*Dr Fuad Bawazier, pengamat ekonomi, mantan menteri keuangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement