Oleh: Maiyasyak Johan *
Pemilihan Presiden Indonesia 2019 mungkin masih jauh, jika dilihat dari waktu Pemilihannya, namun terasa begitu dekat dilihat dari waktu Pendaftaran Pencalonannya. Karena itu tidak mengherankan jika hiruk pikuk Pilkada serentak di 177 wilayah tidak begitu menarik perhatian Jakarta, kecuali beberapa Pilkada yang dipandang secara Politik merupakan kantong suara yang significan bagi kepentingan Pilpres, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Urutan berikutnya adalah Sumatera Utara dan Kalimantan Barat serta Sulawesi Selatan. Namun yang belakangan ini pertimbangannya lain – tak hanya suara.
Dalam menyambut Pemilihan Presiden 2019, kelihatannya dari opini yang berkembang, Partai Politik dengan semua beban dan harapan Politiknya masih melihat dan menjadikan peta politik 2014 sebagai acuan yang dipandang sebagai sebuah kemungkinan yang akan berulang, yakni: Jokowi vs Prabowo.
Sementara, Partai-Partai Politik termasuk Ormas-ormas yang menjagokan Jokowi, mulai dari PDI-P, Golkar, NASDEM, PKB termasuk PPP dan lainnya sibuk menakar kekuatan dan peluang untuk menjual kadernya menjadi Pendamping Jokowi sebagai Calon Wakil Presiden.
Begitu sibuknya mereka menakar kekuatan dan Peluang untuk menjadikan kadernya agar dilirik oleh Jokowi guna dijadikan Cawapres – hingga mereka lupa tentang adanya kekuatan tangan lain yang juga bekerja, tak tampak wujudnya, namun nyata akibatnya, yakni melahirkan kegaduhan politik yang berjalan dengan pasti menuju penyingkiran dan menutup jalan bagi jagoan-jagoan yang diusung Parpol untuk Cawapres Jokowi, yang pada gilirannya membebaskan Jokowi atau sekurang-kurangnya memperbesar kekuatan tawar Jokowi utk menentukan siapa yang akan ditunjuknya untuk menjadi Cawapresnya.
******
Jika kita simak dengan teliti, ada dua kendala utama yang dihadapi oleh Partai Politik Pendukung Jokowi. Pertama mereka tak bisa berjalan dengan tegak, karena hampir semua terkena wabah kram di perutnya (mungkin kekenyangan atau salah makan) sehingga terpaksa jalan menunduk atau membongkok layaknya seperti orang yang menghormat kepada tuannya.
Tak tanggung-tanggung, penyakit itu bukan saja dialami oleh tokoh yang dijagokan oleh Partai Politik kecil seperti PPP atau PKB. Bahkan tokoh yang berasal dari Partai Pendukung utama pun seperti PDI-P, Golkar dan Nasdem pun mulai terjangkit wabah 'kram perut' itu, sekalipun masih dalam bentuk gejala namun hasil diagnosis terakhir ditemukan virus itu juga ada ditubuh mereka – yang memerlukan perawatan serius.
Tapi sekalipun itu masih gejala, tapi cukup kuat untuk memaksa mereka pun harus berjalan menunduk. Celakanya, Virus penyakit ini tak bisa disembuhkan kecuali dengan operasi dan membuang bagian tubuh yg dijangkiti virus tersebut.
Di atas kondisi kesehatan yang demikian, tentu sangat berat bagi Jokowi menerima cawapres yang dimajukan oleh Partai-Partai Politik Pendukungnya, sebab Jokowi membutuhkan Wakil yang bebas penyakit, sehat, kuat dan mampu menjalankan tugas di atas segala cuaca. Orang yang potensial terkena virus kram perut tentu tak cocok, sebab penyakit itu akan mengganggu kinerja Jokowi baik untuk memenangkan kembali Pemilihan Presiden 2019 atau untuk memenej Pemerintahan jika berhasil memenangkan Pilpres 2019.
Kalkulasi Politik Jokowi di atas tidak salah, ia butuh orang sehat dan kuat yang tidak mengidap penyakit yang tahan segala cuaca. Terutama dilihat dari realitas Politik yang ada, bahwa diluar kubu partai politik Pendukungnya terdapat kekuatan partai politik yang lebih bebas dari 'virus kram perut' tersebut.
*****
Partai-partai Politik di luar kubu Jokowi adalah, partai yang ada dalam koalisi Pendukung Prabowo Subianto di tahun 2014, yaitu: Gerindra, PKS dan PAN. Di luar itu adalah Demokrat dan PBB dengan Yusril Ihza Mahendra. Dari lima Partai Politik di luar kubu Jokowi, maka Gerindra, PKS dan PBB yang secara terang, tegas dan lugas mengatakan tidak akan bergabung dengan kubu Jokowi, melainkan akan maju mengusung calon presiden dan wakil presiden sendiri.
Sementara Demokrat, sekalipun bukan bagian dari kubu Jokowi, juga tidak dalam kubu Prabowo, melainkan mencoba memainkan politik bebas dan aktif sembari mengusung anak SBY yaitu AHY sebagai Cawapres. Dialog sudah dibuka dengan kubu Jokowi, namun belum ada sinyal diterima selain ada indikasi terjangkit virus kram perut juga – yang tersebar dari ruang pengadilan tipikor. Belum ada kabar, apakah indikasinya positif atau negatif. Sehingga karena itu daya tawarnya pun tidak begitu tinggi.
Di balik itu terdengar juga sas-sus serta spekulasi politik tentang kemungkinan Demokrat membangun poros atau kubu ketiga bersama-sama dengan Muhaimin Iskandar/PKB. Namun alternatif ini dipandang tidak kuat. Sedangkan utk bergabung ke kubu Prabowo atau Kubu Megawati, selain ada kendala psikologis juga tawaran pasti tak seperti yang diharapkan, paling cuma kursi kabinet, Cawapres tentu masih jauh.
PAN sendiri kelihatannya sekalipun merupakan bagian dari koalisi Prabowo sebahagian kakinya ada juga di kubu Jokowi, karena itu mungkin mereka belum menentukan sikap – yang ada masih kecenderungan – bukan pilihan politik yang pasti. Dalam keadaan seperti itu, celakanya, Ketua Umum Pan sdr. Zulkifli Hasan dilaporkan terindikasi 'virus kram' perut juga yg potensial bisa terdampak jalan membungkuk juga.
Di balik itu, Ketua Dewan Kehormatannya terlibat polemik keras dengan LBP yang merupakan salah satu tangan kanan Jokowi – yang melibatkan elemen-elemen kekuatan intelektual pendukung masing-masing pihak yang tidak diketahui akan sampai kemana.
******
Kini ada Partai Politik lain yang dikomandani Yusril Ihza Mahendra, yaitu PBB yang juga berada diluar orbit kubu Jokowi - tetapi secara histories dan psikologis prospektif untuk bekerjasama secara politik dengan Prabowo Subianto dan Gerindra guna menyelamatkan Indonesia – agaknya ini mungkin yang ditunggu-tunggu umat Islam dan bangsa Indonesia.
Secara historis dan psikologis, jika GERINDRA, PKS, PAN dan PBB bisa membangun poros atau kubu politik dan memajukan calon presiden serta wakil presiden yang tepat, hampir semua pendapat meyakini koalisi ini akan memenangkan Pilpres 2019. Selain itu yang paling penting, juga bisa mencegah bubarnya indonesia tahun 2030 serta terbangunnya harapan terwujudnya cita-cita kemerdekaan yang merupakan semua mimpi kaum pribumi yang merupakan anak kandung negeri ini.
Koalisi empat Partai ini sangat menarik jika terwujud, di satu sisi, tiga partai yang pertama adalah Partai yang dapat memenuhi persyaratan treshold yang ditentukan UU untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden, di sisi lain, kehadiran PBB dapat menambah suara secara significan di atas psikologis politik dari spirit 212.
Pertanyaannya adalah: bisakah Prabowo Subianto, Sohibul Iman, Zulkifli Hasan dan Yusril Ihza Mahendra berdamai dengan ambisi politik pribadi mereka demi masa depan Bangsa dan umat Islam Indonesia?
Sebenarnya jika dicermati dari berbagai masalah yang dihadapi oleh bangsa dan negara ini, bukan saja Prabowo Subianto (Gerindra), Sohibul Iman (PKS) dan Zulkifli Hasan (PAN) yang membutuhkan Yusril Ihza Mahendra, tetapi kaum pribumi dan umat Islam Indonesia juga membutuhkannya. Selain keempatnya seperti mengulang sejarah koalisi antara sosialis dengan masyumi di waktu yang lampau.
Mengapa disebut membutuhkan atau dibutuhkan kehadiran Yusril Ihza Mahendra di kubu Prabowo? Jawabannya setidaknya ada beberapa. Pertama: harus ada yang bisa dan memiliki kemampuan menjawab peringatan yang dikemukakan Prabowo Subianto secara konstitusional, yaitu kemungkinan Indonesia bubar.
Kedua, mengulang sejarah, jika dulu yang menyelamatkan perpecahan dan membangun persatuan Indonesia adalah Muhammad Natsir (Masyumi) dengan Mosi Integralnya, maka kini, Yusril Ihza Mahendra dan PBB dengan dukungan koalisi Gerindra, PKS dan PAN juga mampu menjawab serta mengatasi keadaan secara konstitusional agar Indonesia tidak bubar bahkan kembali bangkit serta berjaya.
Di atas perspektif itu, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tanggungjawab sejarah masa depan bangsa ada ditangan Prabowo Subianto (Gerindra), Sohibul iman (PKS), Zulkifli Hasan (PAN) dan Yusril Ihza Mahendra (PBB) untuk berbuat dan bekerja mencegah terjadinya decline serta bangkit dan menyelamatkannya.
Rakyat dan umat Islam indonesia menunggu kerendahan hati dan tangan dingin mereka. Mari kita songsong dan dukung kebangkitan Indonesia ke III dibawah kepemimpinan mereka. Merdeka !!!.
Jakarta, 5 Rajab 1439 bertepatan dengan hari jum’at tanggal 23 maret 2018.
*Maiyasyak Johan Mantan Wakil Ketua Komisi III DPR RI