Sabtu 27 Jan 2018 05:00 WIB

Edy Rahmayadi dan Celaan Suporter

Kejadian ini merupakan kali pertama terjadi pada masa kepemimpin Edy.

Ketum PSSI Edy Rahmayadi bersama pelatih timnas U-16 Fakhri Husaini dan pemain U-16 melakukan pemanasan sebelum acara pelepasan timnas Indonesia U-16 di Stadion Atang Sutresna, Kompleks Kopassus, Jakarta, Rabu (13/9).
Foto: Republika/Prayogi
Ketum PSSI Edy Rahmayadi bersama pelatih timnas U-16 Fakhri Husaini dan pemain U-16 melakukan pemanasan sebelum acara pelepasan timnas Indonesia U-16 di Stadion Atang Sutresna, Kompleks Kopassus, Jakarta, Rabu (13/9).

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Wartawan Republika, Bambang Noroyono (Twitter: tumakninnah)

"Suporter timnas kecewa kepada Edy Rahmayadi yang telah 'loncat' ke jalur politik praktis."

 

Ada adegan mengejutkan saat timnas Indonesia menjamu Islandia, Ahad (14/1). Laga di stadion utama Gelora Bung Karno (GBK) ketika itu ditonton langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Saat master of ceremony (MC) mengumumkan kehadiran RI-1, sekitar 30-an ribu penonton bertepuk tangan sebagai sambutan selamat datang.

MC tak lupa memperkenalkan satu per satu para pendamping presiden saat itu. Salah satunya Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi. Namun, para penonton tak memberikan tepuk tanda selamat datang kepada Edy. Alih-alih gembira, para penonton seperti tak menerima kehadiran mantan Pangkostrad tersebut. Mereka berseru "huuu...huuu...' sebagai tanda tak suka.

Ungkapan kurang simpati para suporter timnas ketika itu berlanjut dengan nyanyian dan yel-yel, 'Reformasi PSSI', 'Mundur... mundur', teriak penonton kepada Edy. Saya yang ada di tribun media tak memperhatikan respons Edy pada saat itu. Namun yang pasti, dalam catatan saya, kejadian ini merupakan kali pertama terjadi pada masa kepemimpin Edy.

Tak cuma pada satu momen saja teriakan mundur itu dialamatkan kepada Edy. Saat MC meminta Jokowi menandatangani prasasti tanda perampungan stadion GBK, MC meminta Edy mendampingi presiden. Lagi-lagi, para penonton yang mendengar MC mengucapkan kata Edy, kembali meneriakkan ungkapan kekecewaan yang sama.

'Huuu... huuu... mundur... mundur...' di atas tribun media, masih ada panggung penonton yang lebih keras mengeluarkan kata-kata makian untuk purnawirawan bintang tiga tersebut. Tapi sekali lagi, saya tak melihat reaksi dan air wajah Edy saat itu. Tapi, tak mungkin dia tak mendengar seruan 30-an ribu suporter tersebut. Saya pun penasaran apa yang membuat para suporter ketika itu bernada nyaring mendesak Edy mundur.

Usai pertandingan, saya menemui salah satu suporter. Lelaki berusia 30-an tahun itu bernama Anung. Ia berasal dari Jakarta. Anung ikut meneriakkan 'huuu' dan 'mundur' untuk Edy. Kata dia, sikap itu merupakan reaksi kekecewaan para pecinta sepak bola terhadap kepemimpinan Edy di PSSI saat ini.

Pada masa awal, Anung sebenarnya menaruh harapan besar kepada Edy. Ia pun bangga ketika angin reformasi yang dihembuskan pemerintahan Jokowi itu diambilalih oleh Panglima Kostrad yang notabene menjadi 'kepanjangan tangan' Jokowi. Sayangnya, harapan itu justru kembali menjadi ilusi. Penyebab utamanya karena prestasi timnas yang tak kunjung membaik.

 

Dan, rasa kekecewaan itu makin membesar setelah menyaksikan keputusan Edy yang memilih 'loncat' ke jalur politik untuk maju dalam Pilkada di Sumatra Utara. Padahal, Edy masih menyisakan tugas besar untuk membawa perbaikan buat sepak bola nasional, khususnya PSSI yang menjadi induk organisasi olahraga paling digemari di negeri ini.

Bagi saya, Anung hanyalah potret kecil betapa suporter yang begitu dikecewakan oleh Edy. Ada indikasi kalau keputusan Edy memimpin PSSI itu hanyalah jalan untuk mengerk popularitas demi mengejar jabatan politik. Entahlah, apakah sesungguhnya memang seperti itu, tentunya semua itu hanya sang jenderal yang bisa menjawabnya.

Namun yang pasti, penggila sepak bola negeri ini sudah kadung dibuat kecewa oleh Edy. Bahkan, di jagad sosial media, kekecewaan itu kian membabi buta. Peristiwa kematian suporter akibat rusuh dengan kelompok suporter 'berseragam' menjadi salah satu catatan merah betapa Edy terkesan belum bersungguh-sungguh untuk membenahi tata kelola sepak bola di negeri ini.

Padahal, sudah sepatutnya Edy bisa menempatkan skala prioritas untuk masa depannya. Kalau memang bersungguh-sungguh ingin membenahi sepak bola maka tunjukkanlah dengan konsistensi dan konsentrasi penuh dalam mengelola PSSI. Memang tak ada larangan seorang pemimpin PSSI untuk melakukan rangkap jabatan. Namun, di saat sepak bola tengah membutuhkan figur yang bersedia meluangkan seluruh aktifitasnya buat perbaikan, maka 'meloncat' ke jalur politik praktis tentunya bukan pilihan yang cukup bijak.

Perlu diingat, andai saja Edy terpilih sebagai gubernur, bukankah ia memiliki tanggung jawab 24 jam penuh kepada konsituennya? Kemarin saja, saat jabatan Pangkostrad masih melekat, begitu banyak aktivitas sepak bola dan PSSI yang harus mengikuti jadwalnya yang super padat. Ah, saya sungguh tak terbayang apa jadinya jika jabatan politik yang harus memimpin konstituen di seberang pulau itu melekat kepada dirinya. Mampukah ia membagi pikiran dan waktunya buat sepak bola dan PSSI di masa mendatang?

Jadi, sepertinya sudah cukup pantas untuk memahami ulah suporter sepak bola Indonesia yang telah mencela Edy di saat dia bersanding dengan orang nomor satu di negeri ini. Mengapa? Karena untuk membenahi olahraga yang tengah miskin prestasi ini diperlukan sosok yang berani istiqomah dan bersedia meluangkan waktu serta tenaganya selama 24 jam tiada henti. Dan Edy? Ah, biarlah!

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement