REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Heryadi Silvianto *)
Gubernur Anies Baswedan di awal kepemimpinannya mencabut beragam kebijakan yang pernah dilakukan oleh Gubernur terdahulu. Tercatat di antaranya membuka pagar pembatas rumput di Monumen Nasional (Monas), membolehkan Pedagang Kaki Lima (PKL) beroperasi di Tanah Abang, membuat shelter di kampung akuarium yang pernah di gusur Basuki Tjahya Purnama (Ahok), mewujudkan DP '0' Rupiah di tanah negara dan yang teranyar melegalisasi becak untuk beroperasi di daerah-daerah tertentu. Entah apalagi yang akan dilakukan mantan Menteri Pendidikan Jokowi ini.
Di sisi lain, Gubernur Anies Baswedan secara diametral meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk meninjau ulang perizinan pulau-pulau Reklamasi. Bertahan dan kukuh, layaknya pilar-pilar beton yang kadung jadi di Pulau Reklamasi. Dalihnya pencabutan tersebut karena selama ini sudah terjadi mal-administrasi yang dilakukan Pemerintah daerah khusus Ibukota (DKI).
Sejurus dengan itu, Anies meminta kepada pemilik 1.293 mobil mewah yang masih menunggak pajak untuk segera melunasi. Jumlah tunggakannya pun mencapai Rp 44,9 miliar. Tidak ada toleransi atau zero tolerance. Persepsi publik pun melonjak naik, Anies Pro masyarakat miskin, galak sama orang kaya. Demikian kah adanya? Setidaknya cerita di atas memberikan pesan besar bahwa kebijakan Anies saat jadi Gubernur lebih banyak menggunakan strategi contrasting (berlawanan) dan compete (berkompetisi) face to face dibandingkan pemegang kewenangan sebelumnya.
Bagaimana cara berpikirnya? Untuk mengukur kesuksesan sebuah kebijakan lazimnya dengan membandingkan (compare/contrasting), juga menilai motif yang melatarbelakangi. Sebagian pihak menganggap kebijakan Anies selama ini sangat populis dan tidak mencerminkan modernitas sebuah ibu kota. Benarkah demikian? Satu asumsinya "Kota ini juga milik mereka yang masih miskin. Kalau yang kaya dapat kesempatan untuk berkegiatan di sini, berilah kesempatan juga untuk mereka yang miskin,"
Menelusuri 100 hari, mencermati strategi kebijakan
Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahudin Uno pada Rabu (24/1/2018) menginjak hari ke 100 masa kepemimpinan. Anies Baswedan alih-alih melanjutkan apa yang pernah dibuat oleh Gubernur sebelumnya, dirinya justru mencoba menempatkan sebuah kebijakan dengan mempertimbangkan manusia sebagai (pelaku) subjek yang dominan. Setidaknya ini tergambar dengan cara Anies melibatkan sebanyak mungkin orang dalam mengimplementasikan kebijakannya tersebut.
Alih-alih mengeluarkan larangan dan pembatasan, justru Anies mendorong pelibatan lebih banyak orang masuk ke fasilitas publik. Dirinya memandang manusia sebagai entitas yang bisa diajak dialog dan diatur tanpa perlu digawangi dengan beragam regulasi. Tentu saja ini berbeda atau contrasting dengan Ahok, mantan Bupati Belitung Timur ini seringkali memandang bahwa manusia adalah subjek masalah dan ketidakteraturan.
Atas sebab itu tercermin dalam kebijakannya memandang orang, contohnya penggusuran kampung Akuarium, Bukit duri dan lain sebagainya. Meski hal itu menghasilkan penataan, namun sebagian public memandang lebih cenderung menyingkirkan keterberdayaan (red-kemanusiaan).
Anies sebagai Phd lulusan Amerika Utara lazimnya menganut mahzab liberalis dan kapitalis, namun apa yang dirinya lakukan jadi semacam antitesa. Cucu pendiri Partai Arab Indonesia ini di awal jabatan 100 hari banyak mengeksekusi kebijakan layaknya para pemimpin di Amerika Selatan yang berpaham sosialis dan pemihakan kaum marginal. Strategi contrasting Anies lakukan secara efektif dalam memandang objek masalah. Semisal dalam urusan PKL Tanah Abang alih-alih merelokasi dan mengusir mereka, dirinya malah memfasilitasi untuk berjualan. Plus memanjakan konsumen dengan Bus Tanah Abang Eksplorer.
Pun demikian dengan kebijakan membolehkan roda dua masuk jalur protokol Sudirman – Thamrin diputuskan oleh Anies jauh sebelum keputusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Peraturan gubernur (Pergub) era kepemimpinan Ahok. Meski pada akhirnya putusan MA seakan menjadi angin kedua yang menyejukan baginya. Padahal, Gubernur Basuki Tjahja Purnama sangat lantang terkait kebijakan tersebut. Bisa dibayangkan jika beliau masih menjadi Gubernur, dugaan penulis MA bisa jadi akan kena 'bully' melindungi "Mafia Motor". Sebagaimana dulu di DPRD DKI sempat heboh dengan "Mafia Anggaran", meski dari keriuhan itu semua tidak ada satupun yang terjerat.
Strategi implementasi kebijakan yang lain, Anies melakukan pendekatan kompetisi (compete). Cara kerja dari konsep ini mirip dengan sistem di pasar persaingan terbuka. Dimana setiap pedagang menawarkan barang serupa, dengan harga yang kompetitif. Yang menjadi pembeda dari pasar ini adalah loyalitas pelanggan dan berusaha menjadi yang terbaik. Galibnya muncul diskon dan sejenisnya. Di pasar dengan karakteristik persaingan sempurna, biasanya kompetisi menghadirkan keunggulan komparatif (comparative advantages). Prinsipnya lebih baik, Lebih dibandingkan pesaingnya.
Coba tengok saja, Anies memperkenalkan Kartu Jakarta Sehat (KJS) Plus, sejatinya konsep lanjutan dari KJS milik Ahok. Sebenarnya juga konsep jaminan kesehatan nasional (national health care) BPJS. Pun demikian dengan KJP Plus, merupakan pengembangan dari KJP milik Ahok. Sejujurnya juga ini merupakan program turunan Pemerintah pusat wajib belajar sembilan tahun dan amanat Undang-undang dasar (UUD) 1945 terkait alokasi dana pendidikan sebesar 20 persen. Sahihnya, Anies dan Ahok tidak memulai sesuatu yang baru serta sudah berlaku dibanyak tempat. Bedanya, Anies meningkatkan coverage manfaatnya lebih luas.
Konstruksi berpikir
Persinggungan Anies dengan cara berpikir populis, penulis cermati bukan sesuatu yang datang tiba-tiba dan muncul begitu saja sebagaimana tergambar dalam rangkaian kebijakannya. Ada rekam jejaknya, setidaknya torehan tersebut bisa dimulai dari modal sosial utama Anies selama ini dalam memasuki kancah politik Indonesia dengan gerakan "Indonesia Mengajar". Gerakan yang menginisiasi para mahasiswa terbaik untuk mau mengajar di perbatasan dan pulau terpencil, dengan gaji metropolis. Bedanya kini, transformasi tersebut dilakukan di level Gubernur.
Jika dicermati dari sisi lain, Anies bukanlah orang yang tumbuh dari kekurangan dan ketidakberdayaan. Keluarganya tidak miskin-miskin amat, pun hidupnya jauh dari kesulitan. Tapi mengapa Anies nampak begitu rijit mengurusi kaum miskin dan mampu merekamnya dengan cukup baik, padahal potret kemiskinan bukanlah jalan hidupnya selama ini. Mungkin Anies bukanlah Che Guevara seorang pelajar medis muda yang menjelajahi seluruh Amerika Selatan dan menyoroti kemiskinan, kelaparan dan penyakit yang ia saksikan.
Hingga pada akhirnya jasa-jasanya telah menjadi simbol pemberontakan kontra-kebudayaan dan lambang global dalam budaya populer. Anies bukan juga mahatma Gandhi, seorang pengacara memutuskan untuk menjadi seorang aktivis politik agar dapat mengubah hukum-hukum yang diskriminatif. Che dan Gandhi adalah seseorang yang tumbuh dari Rahim kemapanan, namun mereka mau masuk menyelami kemiskinan, ketertindasan, dan memperjungkan jalan untuk sebuah keadilan.
Dari dua epik tersebut, Kita tidak berharap bahwa kebijakan Anies Sandi yang pro poor hanya temporer dan pragmatis, atau sinisnya sedang mengumpulkan simpul-simpul pencitraan sehingga menjadi modal atau stock yang cukup dijadikan fragmen kampanye di tahapan karier politiknya. Bukan juga sikap yang keras pada pemilik modal dan orang berpunya hanya semata-mata untuk menjadikan mereka objek pembeda dari kebijakan yang ada.
Sikap yang tercermin dalam kebijakan pada akhirnya haruslah bentuk ketegasan penegakan aturan dan keberpihakan kepada yang tidak berdaya. Jika Anies dan Sandi mampu mengelola energi baik ini, bukan tidak mungkin kita bisa menemukan sistem yang lebih baik dari apa yang ada sekarang.
Mengapa ini semua diperlukan? Karena kita akhir–akhir ini seringkali ‘kecele’ dengan beragam gerakan yang berupa “gimmick” atau “polesan gincu “; pakaian, apa yang digunakan, statement manis namun tak berpijak dibumi, dan kemudian berlalu hanya sebagai bahan berita tanpa memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan, perbaikan hidup masyarakat tak berdaya dan keadilan penegakan hukum.
*) Peneliti di Institute for Social, Law and Humanity Studies (ISLAH)