REPUBLIKA.CO.ID
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Sejak tiga bulan terakhir tahun 2017, di panggung politik nasional Indonesia ungkapan Tahun Politik 2018 disebut berulang-ulang, tidak kurang dari Presiden Jokowi. Semua media masa secara aktif dan masif turun gunung dalam menyorakkan tahun politik ini. Semua parpol sibuknya setengah mati dalam mempersiapkan pilkada serentak yang jatuh pada 27 Juni 2018.
Ada sejumlah 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang sedang bersiap untuk menyongsong hari politik itu atau istilah menterengnya pesta demokrasi, sebuah peristiwa yang memang melekat dengan sistem politik kenegaraan yang dianut oleh bangsa dan negara kita. Pertanyaannya tetap saja: apakah akan ada perbaikan secara fundamental pada sistem demokrasi Indonesia setelah bangsa ini merdeka sejak 17 Agustus 1945?
Dari sejarah kita diberi tahu bahwa demokrasi Indonesia pernah dibunuh mulai pertengahan 1959 sampai dengan tahun 1998, mengalami masa jeda sebentar antara tahun 1966-1967. Dengan tumbangnya sistem Orba (Orde Baru) pada akhir 1998, Indonesia memasuki era reformasi, gerbang kedua gelombang demokrasi yang dikomandoi oleh Presiden BJ Habibie, bapak demokrasi setelah Bung Hatta.
Karena terlalu lama mati suri, maka apa yang berlaku sejak 1998 adalah demokrasi dengan kompi-kompi politisi yang miskin pengalaman dan miskin wawasan keindonesiaan. Mereka tidak paham tentang tujuan Indonesia merdeka. Literasi politik kebangsaan mereka kering dan sepi. Semestinya mereka mau membaca ulang sajak “Krawang-Bekasi” Chairil Anwar (26 Juli 1922-28 April 1949) tentang mimpi kemerdekaan yang meluluhkan perasaan.
Untuk menyegarkan ingatan kolektif kita, penggalan bait sajak itu diturunkan berikut ini:
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Penyair Chairil mati muda dalam usia 27 tahun, tetapi goresan penanya dalam bait di atas terasa menancap dalam sampai ke hulu hati. Ulangi lagi yang satu ini: “Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan, atau tidak untuk apa-apa.” Memang sudah ada kemerdekaan, kemenangan, dan harapan, tetapi sebagian rakyat yang terpinggirkan belum merasakan itu semua.
Di era reformasi telah muncul beberapa pakar teori politik dengan gelar PhD atau doktor yang tertarik terjun ke gelanggang permainan, tetapi pada umumnya pengetahuan mereka tentang sosiologi masyarakat Indonesia tidak memadai. Buahnya, setelah sebagian politisi baru itu berada pada posisi kekuasaan, mereka tidak mampu secara bersama melakukan konsolidasi demokrasi.
Akibatnya, proses demokratisasi menjadi kacau, penuh pertentangan pragmatisme yang sunyi dari iklim kenegarawanan, suatu syarat yang amat diperlukan oleh bangunan demokrasi yang kuat dan sehat. Meski demikian, pihak luar masih memuji demokrasi Indonesia dengan mengatakan bahwa Islam yang ditafsirkan di negeri ini selaras dan sejalan dengan demokrasi. Kita merasa tersanjung dengan pujian ini, tetapi alpa bahwa jalan yang harus ditempuh ternyata masih sangat jauh.
Apa yang dikatakan di atas adalah semacam kilas balik dari perjalanan politik bangsa selama 19 tahun terakhir. Tahun 2018 adalah tonggak dua dasawarsa era reformasi yang akan sangat disibukkan oleh persaingan politik antarpartai dan antarelite. Kita akan menyaksikan apakah etika politik akan jadi acuan atau tidak di tahun politik yang pasti ingar bingar ini. Sebuah ketegangan moral antara idealisme dan pragmatisme sedang dihadapkan pada ujian sejarah yang kritikal.
Jika lolos dalam ujian ini maka ada harapan bahwa mimpi-mimpi besar dan indah tentang tujuan kemerdekaan bangsa akan menjadi kenyataan yang hidup, di mana keadilan dan kesejahteraan bersama akan semakin merata. Tetapi, jika gagal lagi maka penderitaan sebagian rakyat akan terus berlangsung dengan segala sisi buruk dan bengisnya, entah untuk berapa lama lagi.
Karena partai politik dalam teori modern adalah salah satu tiang demokrasi, maka temponya sudah sangat tinggi bagi para petingginya untuk berbenah diri secara jujur dan radikal agar tiang ini tidak semakin rapuh dimakan rayap zaman yang dapat melemparkan bangsa ini ke sudut gelap sejarah yang hina dina. Akal sehat kita harus waspada dengan segala kemungkinan buruk ini.