Jumat 05 Jan 2018 04:00 WIB

Kerakusan Radikal dan Bumi yang Panas

Dahnil Anzar Simanjuntak
Foto: dok. Pribadi
Dahnil Anzar Simanjuntak

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dahnil Anzar Simanjuntak *)

Bumi semakin panas. Panas dalam makna yang sesungguhnya karena fenomena perubahan iklim (climate change). Pun demikian dalam makna lain, panas karena dipenuhi dengan provokasi, kebencian, permainan politik yang kotor  dan ancaman peperangan. Kedua kondisi “bumi yang semakin panas” tersebut pun terasa sampai Indonesia.

Perubahan Iklim (climate change), atau dalam bahasa lain, kita sering menyebutnya sebagai pemanasan global (global warming) terjadi karena ada proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan yang disebabkan oleh berbagai faktor. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan, faktor utama perubahan iklim adalah meningkatnya kosentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia. Bencana alam mulai dari banjir, kekurangan persediaan air bersih, wabah penyakit, dan berbagai bentuk bencana alam yang terjadi adalah dampak dari perubahan iklim yang membuat bumi semakin panas.

Konflik Timur Tengah, terorisme, prilaku politik yang menghalalkan segala cara, provokasi SARA, klaim paling benar, stigmatisasi, Islamofobia di Barat, pidato-pidato kebencian, dan mengunci pintu dialog dan sebagainya, membuat “atmosfer” hubungan antar peradaban di bumi semakin panas.  Ditambah lagi, baru-baru ini, pengakuan sepihak Amerika Serikat melalui Presiden Donald Trump terhadap Yuresalem sebagai ibukota Israel. Menambah panas situasi dunia yang berpotensi konflik meluas dibanyak tempat.

Suasana panas dalam dua makna tersebut juga dirasakan di Indonesia, sebagai Negara yang memiliki keberagamaan yang sangat tinggi, baik secara nature maupun etnis dan agama. 

Egoisme politik dan ekonomi agaknya membuat warga negara dalam satu Negara atau bila dipersempit politisi dalam satu negara sulit bekerja sama untuk kepentingan bersama yang lebih besar. Pun demikian, politisi atau pemimpin satu negara dengan negara lain, sulit bekerja sama untuk kepentingan bumi karena ada egoisme politik dan ekonomi yang menguasai.

Bahkan, dalam bahasa yang lebih kasar ada “kerakusan radikal” yang dianut beberapa negara (baca: politisi) yang kemudian mengabaikan kepentingan bersama dalam jangka panjang. Tengok saja, bagaimana Amerika Serikat melalui Presiden Donald Trump menarik diri dari perjanjian Paris tentang perubahan iklim yang sebelumnya disepakati bersama, dengan alasan perjanjian perubahan iklim di Paris pada tahun 2015 tersebut, bisa memiskinkan Amerika Serikat. Merugikan secara ekonomi dan bisnis bagi Amerika Serikat.

Kerakusan radikal

Sikap kerakusan radikal seperti yang ditunjukkan oleh beberapa negara maju, yang sejati mengorbankan negara-negara berkembang yang memiliki sumber daya alam yang kaya. Namun, lemah secara politik karena sejatinya kekayaan alamnya dikuasai oleh negara-negara maju. Sehingga, perusakan alam di negara-negara berkembang, sesungguhnya dilakukan oleh negara-negara maju melalui perusahaan multi nasional.

Peningkatan emisi gas karbon di negara-negara maju, juga didorong oleh kerakusan radikal produksi massal perusahaan-perusahaan multi nasional yang berasal dari negara-negara maju tersebut. Negara berkembang sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi maksimal melalui produksi massal dan pengerukan sumber daya alam, yang sesungguhnya lebih banyak menguntungkan perusahaan-perusahaan multinasional, sehingga berdampak terhadap perusakan lingkungan. Ini yang pada akhirnya dirasakan dan diwariskan kepada generasi berikutnya.

Egoisme golongan pun dirasakan membuat bumi semakin panas. Dalam makna “panas” hubungan antar kelompok, antar-agama dalam satu negara, maupun antarnegara. Pidato-pidato kebencian, Islamofobia, dan sikap-sikap anti-toleransi banyak terjadi dihampir banyak negara di dunia. Seolah, bumi diambang konflik besar antarperadaban besar di dunia.

Kesadaran bersama untuk membangun dialog antarperadaban seakan kalah oleh narasi politik kekuasaan. Tengok saja sikap yang dilakukan oleh Donald Trump. Dan politisi seperti Donald, tersebar dan eksis dibanyak belahan bumi. Artinya, mereka merepresentasikan banyak warga bumi, karena mereka adalah produk hasil pemilihan yang demokratis.

Politik seringkali menjadi “kompor” yang memanaskan hubungan antar-kelompok di Indonesia. Sikap elit politik yang abai, akhlak politik yang tinggi, namun mengedepankan laku menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan atau dalam istilah saya kerakusan radikal, seringkali menjadi api yang membakar hubungan harmonis antaranggota masyarakat.

Masyarakat sudah dewasa dalam berpolitik. Sayangnya, elit justru tidak pernah menunjukkan kedewasaan. Mutung dan dendam ketika kalah, seringkali diperlihatkan dengan telanjang. Sehingga, ketika politik memanas, jarang sekali pendingin datang dari elit itu sendiri. Namun datang dari kelompok masyarakat yang melakukan “pendinginan” secara natural.

Oleh sebab itu, momentum tahun politik kali ini, yang perlu diperhatikan dan perbaiki, tentu adalah kualitas akhlak elit politik kita. Siap berkompetisi dengan sehat, dan tentu siap kalah maupun menang. Karena, kompetisi politik Pilkada, Pileg dan Pilpres adalah arena untuk berfastabiqul khoirot (berlomba-lomba dalam kebaikan). Sehingga. siapa pun yang memenangkan pertarungan, dipastikan adalah kebaikan untuk semua.

Bumi yang semakin hari semakin panas ini, agaknya harus segera didinginkan, supaya setidaknya dalam kondisi suhu yang “hangat”. Harus muncul kesadaran kolektif dari sebagian besar kelompok warga dunia untuk merawat bumi yang nyaman dan “hangat” untuk kita tinggali bersama. Karena sejatinya, bumi yang kita tempati adalah hutang bukan warisan. Artinya, hutang tersebut harus kita bayar kepada  anak cucu dalam kondisi yang lebih baik. 

Berangkat dari fakta bumi yang semakin panas tersebut, beberapa waktu yang lalu, Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah bersama Religion for Peace Asia and Pacific Youth Interfaith Network (RfP-APYIN) yang berkedudukan di Korea Selatan. Kebetulan kedua organisasi tersebut saya pimpin sejak tahun 2014, untuk menginisiasi agenda tahunan, dialog pemuda lintas agama dari Asia dan Pacific, membangun kesepahaman dan aksi bersama menghadapi fakta perubahan iklim (Climate Change)  dengan mengusung tema “ Raising Awareness on Climate Change; Gotong Royong for Our Earth”.

Melalui forum itu, kami berharap muncul kesadaran bersama untuk membangun aksi bersama meski berbeda-beda keyakinan, Different Faith, Common Action dikalangan anak muda Asia dan Pacific, khususnya tentu adalah Indonesia. Karena, kesadaran disatu kelompok tidak cukup, bila di kelompok lain justru terus memupuk sikap egoisme politik, ekonomi dan ideologi kelompok, atau kerakusan radikal. Kita harus gotong royong untuk memastikan Bumi nyaman sebagai rumah kita.

Gotong royong adalah watak Pancasila sejati. Atau dalam Islam, kita menyebutnya sebagai ta’awun (saling tolong menolong). Bumi yang semakin panas karena pengaruh perubahan iklim dan politik dunia yang penuh dengan provokasi antiperbedaan, agaknya harus segera diminimalisasi dengan mengubur egoisme politik, ekonomi maupun ideologi.

Saatnya seluruh dunia bergandeng tangan melalui prinsip gotong royong, saling berbagi, saling menghormati, saling tolong menolong, bekerja sama untuk satu bumi yang kita tinggali bersama. Bumi hanya satu, kerakusan yang dilakukan satu kelompok atau negara, pasti akan berdampak pada kelompok lain di belahan bumi yang lain. Kerakusan ekonomi yang merusak alam, dan berdampak pada kohesi sosial dan politik dunia harus segera disudahi melalui prinsip gotong royong antarwarga bumi. Tentu harus kita mulai dari Indonesia. 

Indonesia bisa mendorong nilai-nilai Pancasila melalui Gotong Royong sebagai prinsip bersama untuk menghadapi perubahan iklim. Melalui kesepakatan-kesepakatan bersama yang mampu saling menekan egoisme dan kerakusan radikal, yang bisa mengorbankan bumi yang kita mukim bersama. Gotong Royong bisa menjadi pesan perdamaain dan kerja sama dunia untuk menghadang berbagai potensi konflik yang muncul di dunia, tentu dengan prinsip ta’awun nan ikhlas dan saling berprasangka baik. Karena, watak saling menaklukkan dan mengalahkan, agaknya tidak akan menyelamatkan bumi dari kerusakan, justru mendorong percepatan kerusakan bumi.

Kerusakan alam di satu tempat pasti akan berdampak di tempat lain, hanya tinggal menunggu waktu. Oleh sebab itu, semoga upaya dialog pemuda lintas agama Asia dan Pacific yang diinisiasi oleh Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, bisa menjadi salah satu ikhtiar kecil dari banyak ikhtiar serupa yang dilakukan berbagai kelompok di dunia, untuk menjaga bumi, dan tentu merawat Indonesia. Waalahu’alam bishawab

*) Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement