Ahad 10 Dec 2017 01:00 WIB

Pinisi Warisan Dunia

Pekerja bersiap menarik kapal pinisi saat akan diturunkan ke laut di kawasan pembuatan kapal pinisi Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (Ilustrasi)
Foto: Antara/Abriawan Abhe
Pekerja bersiap menarik kapal pinisi saat akan diturunkan ke laut di kawasan pembuatan kapal pinisi Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: sri Muryono *)

Keputusan Badan PBB untuk Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan menetapkan pinisi sebagai warisan budaya dunia tampaknya bukan menjadi jaminan bahwa masa depan industri perahu tradisional tersebut cerah. Karena, kenyataannya saat ini saja untuk membuat pinisi dibutuhkan upaya keras mengingat mulai langkanya bahan baku kayu.

Pengakuan atas pinisi sebagai warisan dunia ditetapkan oleh Unesco, satu badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani pendidikan, keilmuan dan kebudayaan dalam sidang ke-12 Komite Warisan Budaya tak Benda (Intangible Cultural Heritage/ICH) di Pulau Jeju, Korea Selatan, pada Kamis (7/12).

Delegasi Indonesia menghadiri sidang itu, termasuk unsur kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kabupaten Bulukumba. Kabar itu segera menyebar di masyarakat melalui situs-situs berita daring maupun media sosial.

Meski demikian, sebagian orang masih penasaran dan belum tahu seluk-beluk mengenai pinisi. Karena itu, mesin-mesin pencari data di internet pun menajdi andalan.

Salah satunya menyebutkan Pinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan tepatnya dari Desa Bira Kecamatan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba. Pinisi sebenarnya merupakan nama layar.

Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau. Dua tiang layar utama tersebut berdasarkan dua kalimat syahadat dan tujuh buah layar merupakan jumlah dari surah Al Fatihah.

Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar dengan dua tiang dan tujuh helai layar dan juga mempunyai makna bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia mampu mengarungi tujuh samudera besar di dunia. Kapal kayu pinisi telah digunakan di Indonesia sejak beberapa abad yang lalu, diperkirakan kapal sudah ada sebelum tahun 1.500-an.

Menurut naskah Lontarak I Babad La Lagaligo pada abad ke 14, Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, putera mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang putri bernama We Cudai.

Konon, nama pinisi ini diambil dari nama seseorang yang bernama Pinisi. Suatu ketika dia berlayar melewati pesisir pantai Bira. Dia melihat rentetan kapal sekitar laut sana, dia kemudian menegur salah seorang nahkoda kapal tersebut bahwanya layar yang digunakannya masih perlu diperbaiki.

Sejak saat itu orang Bira berfikir dan mendesain layar sedemikian rupa dan akhirnya berbentuk layar pinisi yang seperti sekarang. Atas teguran orang tersebut maka orang-orang Bira memberi layar itu dengan nama pinisi.

Meskipun terbuat dari kayu, pinisi mampu mengarungi samudra hingga berbagai belahan dunia. Kehandalan Pinisi untuk mengarungi ganasnya ombak menjadi sarana ampuh bagi nelayan dan warga dari Sulawesi Selatan untuk merantau ke berbagai daerah dan negara lain. Atas kemahiran membuat kapal tradisional itulah Unesco menyetujui usulan agar Pinisi menjadi warisan budaya takbenda dunia.

Ada seni dan keahlian atau keilmuan di dalam pembuatan pinisi. Kalau tanpa seni dan keilmuan tingkat tinggi tentu pinisi tidak akan mampu mengaruhi ganasnya samudra dan mengantarkan warga Sulawesi Selatan ke berbagai pulau di Indonesia maupun di negara lain.

Bangga

Kini pinisi, seni pembuatan perahu di Sulawesi Selatan telah resmi sebagai Warisan Budaya Takbenda dunia. Penetapan itu juga menambah daftar warisan budaya nasional yang kemudian diakui sebagai warisan budaya dunia oleh Unesco.

Di Sulawesi Selatan, sebelum pinisi diajukan atau diusulkan menjadi warisan dunia pada 2015, telah ada pengakuan bahwa Naskah La Galigo pada 2012 juga sebagai warisan dunia. Kegembiraan dan rasa bangga disampaikan Kepala Dinas Sulawesi Selatan Irman Yasin Limpo yang menilai penetapan itu sebagai wujud pengakuan atas budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang diperhitungkan dunia.

Ke depan harus ada sosialisasi di kalangan generasi muda bahwa pinisi berasal dari Sulawesi Selatan. Wakil Bupati Bulukumba Tomy Satria Yulianto yang berada di Pulau Jeju untuk mengikuti sidang Unesco menyampaikan selamat kepada masyarakat Bulukumba, Sulawesi Selatan dan Indonesia atas penetapan ini.

Bukan hanya pemerintah, tapi masyarakat Bulukumba dan Indonesia wajib menjaga warisan tersebut, agar kelak karya nenek moyang kita bisa dinikmati hingga generasi mendatang.

Hal senada disampaikan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid juga mengaku bangga dengan pengakuan dunia atas warisan budaya pembuatan kapal pinisi di Sulawesi Selatan. Sebagai bangsa Indonesia tentunya rasa syukur dan bangga ditetapkan kapal pinisi oleh Unesco sebagai warisan budaya tak benda.

Penetapan tersebut merupakan bentuk pengakuan dunia internasional terhadap arti penting pengetahuan akan teknik perkapalan tradisional yang dimiliki nenek moyang bangsa Indonesia yang diturunkan dari generasi ke generasi dan yang masih berkembang sampai hari ini

Hilmar mewakili pemerintah mengucapkan rasa terima kasih atas kepedulian masyarakat sehingga kapal pinisi diusulkan daftar Unesco kemudian usulan itu disetujui. Diharapkan pengakuan dunia ini dapat menumbuhkan motivasi generasi muda atas kebudayaan Indonesia.

Dunia saja mengakui, tentunya Bangsa Indonesia harus lebih mengakui. Anak-anak muda di zaman "now" harus memahaminya sebagai sejarah yang membanggakan dan terus mengembang budaya itu agar tetap eksis di zaman "next".

Langka

Namun di tengah kegembiraan dan kebanggaan atas penetapan pinisi sebagai warisan budaya tak benda dunia, juga terbersit kekhawatiran karena mulai adanya kendala bagi warga maupun industri pembuat Pinisi yang mulai mengalami kesulitan pasokan bahan baku utama berupa kayu.

Seorang pengusaha kapal Pinisi di Bulukumba mengeluhkan belum adanya kebijakan pemerintah di Bulukumba maupun Pemprov Sulsel yang memudahkan investor memesan pembuatan perahu ke perajin kapal di Tanaberu. Hal itu akan mematikan pengusaha lokal dan berakibat pengusaha pinisi tidak berkembang.

Karena itu, perlu ada gerakan atau komitmen yang sungguh-sungguh melalui kebijakan yang mendorong berkembangnya usaha atau industri pinisi. Pemberian kemudian perizinan bagi usaha pembuatan pinisi dan mengerahkan investor agar menggunakan pinisi.

Tanpa adanya komitmen seperti itu, usaha atau industri pembuatan pinisi tidak akan berkembang dan tergilas zaman. Saat ini pun tanpa adanya masalah tersebut, kekhawatiran masa depan pinisi mulai menggelayut di kalangan mereka.

Rusak hutan di berbagai daerah telah menjadi ancaman masa depan pembuatan pinisi. Pemilik usaha dan industri pinisi mulau menyuarakan kekhawatiran mulai sulitnya mendapatkan pasokan bahan baku kayu kepada Pemerintah Kabupaten Bulukumba.

Harapan mereka adalah adanya kebijakan dari pemerintah di semua tingkatan agar memberi perhatian kepada masa depan pembuatan pinisi. Misalnya, membantu informasi dan kebijakan serta kemudahan perizinan bagi mereka mendapatkan kayu dari daerah lain. Namun tidak mudah pula mendapatkan pasokan kayu dari daerah lain mengingat rusaknya hutan dan hutan.

Salah satu harapan memperolehan bahan baku adalah berasal dari Sulawesi Tenggara. Hal itu karena Bulukumba sudah mulai langka bahan baku kayu untuk pembuatan perahu pinisi.

Selama ini pengusaha pinisi di daerah itu membeli kayu dari Sinjai, Gowa dan Bone berupa kayu bitti dan pude. Sedang untuk kayu besi didatangkan dari Kendari, Sulawesi Tenggara. Karena itu, disamping ucapan terima kasih dan kebanggaan yang tiada tara atas penetapan pinisi sebagai warisan budaya dunia, yang terpenting dari itu semua adalah perlindungan dan pembinaan kepada pembuat pinisi.

Sedangkan pelestarian juga harus benar-benar ditunjukan pemerintah dan masyarakat yang meliputi pelestarian minat membuat pinisi dan pelestarian hutan sebagai penghasil kayu untuk pembuatan pinisi. Tanpa adanya langkah-langkah nyata untuk mengatasi munculnya masalah bahan baku, masa depan pinisi akan tergilas zaman dan hanya tinggal kenangan atau cerita.

*) Perwarta Antara

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement