REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Nawawi, Sekretaris Jenderal Syabab [Pemuda] Hidayatullah
Belakangan ini, isu radikalisme kembali mencuat. Terbaru adalah apa yang dilakukan sebuah lembaga kajian yang menyebut masjid-masjid di Depok sebagai sarang radikalisme, tidak terkecuali masjid di Universitas Indonesia (UI).
Tentu saja, ini bukan hal yang datang tanpa sistematika. Dewasa ini juga begitu antusiasnya sosialisasi antiradikalisme diselenggarakan secara besar-besaran di berbagai arena publik, seperti di kampus serta melalui pembentukan opini melalui media massa.
Mudah ditebak, isu radikalisme itu menyasar umat Islam dan ajaran Islam. Karena itu, penting mendudukkan istilah radikalisme secara tepat, jangan sampai melalui sebuah istilah kesewenang-wenangan berbasis kebencian kepada mayoritas penduduk NKRI ini dilegalkan.
Menarik yang diuraikan Syamsuddin Arif dalam bukunya ‘’Islam dan Diabolisme Intelektual’’. Publik, termasuk pemerintah mesti menilik kembali definisi dan manipulasi sejumlah istilah dewasa ini, radikalisme di dalamnya dan ujungnya, yakni terorisme.
"Tatkala menyaksikan drama teroris di televisi dan menyimak liputannya di berbagai media, timbul berbagai pertanyaan dalam benak kita. Apakah itu terorisme? Siapakah teroris itu? Kenapa dan kapan seseorang bisa disebut teroris? Apakah kriterianya? Siapa yang berhak mengecap atau menentukan siapa yang bukan teroris? Maka sudah sepatutnya kita teliti benar-benar definisi dan manifestasi terorisme serta cara penanggulangannya secara rasional, adil, manusiawi (halaman 161).
Sama halnya dengan radikalisme, kita bisa ajukan pertanyaan yang sama sehingga istilah radikalisme tidak menjadi tunggangan para penunggang gelap NKRI yang orientasi hidupnya berburu keuntungan duniawi dengan mengorbankan mayoritas kehidupan bangsa Indonesia.
Selama isu radikalisme ini diembuskan, belum pernah ada sebuah dialog terbuka dan ilmiah yang membahas masalah ini secara fair. Media massa arus utama cenderung menjadikan rujukan mereka yang mengkaji atau melakukan riset radikalisme secara sepihak.
Sementara yang dituduh radikal sendiri tidak pernah diperlakukan secara adil. Bahkan sampai detik ini, yang berhak menyatakan ini radikal atau bukan juga selalu dari pihak-pihak yang selalu gagal memahami Islam dan umat Islam.
Pada saat yang sama, mereka yang menentang isu radikalisme yang ditujukan kepada ajaran Islam dan umat Islam acapkali dianggap sebagai lawan politik.
Padahal, dalam teori demokrasi, checks and balances adalah hal wajar. Bagaimana konsistensi berpikirnya tentang kebebasan berpendapat dan demokrasi, jika radikalisme tidak didudukkan secara bersama-sama sebagai \"makhluk yang didefiniskan dengan jelas."
Tidak salah jika kemudian sebagian dari umat Islam yang memahami duduk perkara radikalisme ini, berpandangan secara berbeda bahkan bertentangan dengan pegiat isu radikalisme.
Mustofa Nahrawardaya, misalnya, dalam seminar bertajuk "Peran Media Dakwah dalam Membendung Paham Radikalisme’’ di sebuah kampus di Bekasi mengatakan, isu Islam radikal sengaja diciptakan untuk menghambat perkembangan dan kemajuan media Islam.
Padahal, media Islam yang ada saat ini hadir untuk memberikan kebenaran dan pencerahan berita tentang Islam, yang belakangan kerapkali disudutkan oleh media arus utama, beberapa di antaranya juga sempat diblokir.
Konsistensi berpikir
Sekarang, mari kita lihat perlakuan media dalam pemberitaan antara apa yang distigma dilakukan oleh umat Islam dan yang dilakukan oleh bukan umat Islam. Kasus terbaru, kekacauan yang terjadi di Papua.
Media arus utama tidak menyebutnya sebagai tindakan terorisme sebagai akibat radikalisme meski mereka menembaki pos Brimob dan menyerang markas Polsek Tembagapura. Terhadap kelompok bersenjata yang pelakunya bukan umat islam, media menyebutnya kelompok kriminal bersenjata.
Ada apa, mengapa tidak disebut saja dengan aksi terorisme, toh yang diserang aparat negara, dalam hal ini polisi? Di sini publik melihat ada inkonsistensi pada media dan tentu saja pengendali berita di negeri ini dalam memberikan istilah pada kasus yang sama.
Jika pelakunya umat Islam, itu terorisme. Jika itu, non-Islam, bukan teroris. Logika semacam apa ini?
Kembali ke soal radikalisme. Katakanlah seorang khatib membawakan materi khotbah tentang jihad. Lantas seorang yang tidak paham Islam dan dengan ketidaktahuannya terhadap Islam fokus menyimak, lantas menyimpulkan itu sebagai tema radikal.
Tentu saja ini masalah, sebab kesimpulan itu muncul atas ketidakpahaman terhadap ajaran Islam secara utuh. Perintah jihad dalam Islam bukan perintah tanpa pertimbangan rasio. Kata-kata jihad juga bukan seruan untuk membunuh tanpa sebab.
Sekarang selalu tidak fair, inkonsisten. Jika orang Palestina membunuh tentara Yahudi disebut teroris. Sementara Yahudi yang membantai rakyat Palestina tidak pernah disebut teroris, termasuk yang dilakukan tentara Myanmar terhadap Muslim Rohingya di Rakhine.
Mereka tidak disebut radikalis dan teroris, meskipun tindakan mereka benar-benar sudah tidak manusiawi. Pertanyaan lebih lanjut, sampai kapan bangsa ini terperangkap agenda asing yang diselundupkan ke dalam negeri untuk berdebat soal radikalisme dan terorisme?
Kini, sebagai sesama putra bangsa, mari kembali kepada jalan berpikir yang benar, yang menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan persatuan. Bertindaklah dengan rasionalitas yang ada pada diri kita masing-masing.
Sebab, pada hakikatnya, rasio manusia tidak mungkin bisa bekerja menjelaskan kesalahan sebagai kebenaran. Kalau pun itu dilakukan, ia telah membunuh hati nuraninya sendiri.