REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Resonansi saya kali ini masih terkait dekrit Raja Salman bin Abdul Aziz yang memperbolehkan perempuan Saudi menyetir mobil. Bagi masyarakat lain, perempuan mengemudi tentu sudah biasa. Bukan persoalan. Namun, di Saudi bisa beda. Perempuan boleh mengemudi dianggap peristiwa penting, lantaran bisa merembet ke aturan-aturan lain yang selama ini dianggap membatasi kebebasan dan hak kaum Hawa. Dekrit itu dipastikan akan memperlonggar larangan-larangan lain yang terkait dengan kehidupan perempuan.
Keputusan yang memperbolehkan perempuan mengemudi juga sekaligus menjadi potret perjuangan panjang kaum modernis Saudi versus kalangan ulama setempat. Perjuangan panjang yang sudah dimulai sejak pendiri kerajaan Raja Abdul Aziz Al Saud ingin memodernisasi negaranya.
Memang harus diakui eksistensi Saudi sejak terbentuk sebagai negara hingga sekarang merupakan hasil kolaborasi dan kerja sama umara-ulama. Tepatnya antara Raja Abdul Aziz dan keturunannya yang kini berkuasa di Saudi dan Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab berikut pengikutnya.
Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab (1701-1793 M) adalah seorang ulama pembaruan. Ajarannya disebut Salafiyah atau terkadang Wahabiyah. Ia dan pengikutnya ingin memurnikan ajaran Islam seperti zaman Rasulullah SAW. Mereka menganggap modernisasi sebagai pengaruh asing yang akan merusak aqidah umat. Mereka menyebutnya sebagai bid’ah dhalalah. Sebagai contoh, mari kita simak dialog menarik antara Sang Pendiri Kerajaan dan ulama Wahabi yang menolak modernisasi berikut ini.
Alkisah, menjelang tahun 1950-an dan setelah ditemukan berbagai ladang minyak di Arab Saudi, Raja Abdul Aziz pun ingin memodernisasi negaranya. Namun, upaya ini sering tidak berjalan mulus. Bukan biaya masalahnya. Tapi, lebih pada sikap para ulama setempat. Ulama yang ingin memurnikan ajaran agama Islam semurni-murninya. Mereka menganggap berbagai hal yang tidak dilakukan para masa Rasulullah SAW dan dikerjakan umat Islam kini adalah bid’ah dhalalah. Sesat. Termasuk modernisasi yang dilakukan Raja Abdul Aziz sang pendiri kerajaan.
Tersebutkan seorang ulama bernama Sheikh Abdullah bin Hasan Al Sheikh. Ia adalah keturunan langsung dari Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab, yang anak cucu dan keturunannya kemudian memakai nama keluarga Al Sheikh. Sepertinya halnya anak keturunan Raja Saudi membawa nama keluarga Al Saud.
Sheikh Abdullah saat itu merupakan qadi (hakim) di Hijaz — sekarang wilayah Mekah-Madinah dan sekitarnya. Ia menentang keras stasiun radio yang didirikan Raja Abdul Aziz di seantero Saudi. Ia beranggapan radio adalah bid’ah, yang tidak ada di zaman Rasulullah maupun pada masa Khulafa ar Rasyidin. Ia juga yakin betul bahwa radio adalah hasil karya iblis atau setan. Ia mengeluh terlalu sering sehingga membuat kesal Sang Raja.
‘’Demi Allah, menurut Anda, bagaimanakah iblis membuat mesin-mesin radio itu bekerja?’’ tanya Sang Raja kepada Si Sheikh.
‘’Demi Allah, aku memang tak tahu,’’ jawab Si Sheikh. ‘’Tetapi aku yakin setan setiap saat mengunjungi pemancar itu, dan pegawaimu di tempat tersebut mempersembahkan sesaji padanya.’’
Raja Abdul Aziz langsung berdiri — saat itu ia sedang berada di majelisnya di Mekah — dan menggandeng tangan Si Sheikh, lalu membawanya ke stasiun radio di istananya. ‘’Lihatlah!’’ katanya kepada Si Sheikh. ‘’Tak ada bekas-bekas sesaji sedikit pun.’’
Dan, di situ memang tak ada bekas darah ataupun bulu hewan yang dijadikan korban untuk sesaji pada setan. Namun, Sheikh Abdullah tetap yakin Sang Raja telah menipunya. Ia kemudian lebih sering berkunjung ke stasiun radio itu, tanpa memberi tahu lebih dulu. Ia berharap suatu saat akan berhasil menangkap basah pegawai studio radio tersebut. Ia bahkan mecoba membujuk operator radio dengan iming-iming uang, agar membocorkan kapan setan biasa datang. Ia merasa yakin setan sendiri yang membawa suara-suara yang didengarnya lewat udara.
Kunjungan Sheikh Abdullah dan pertanyaannya yang tak berkeputusan itu telah membuat kesal para pegawai stasiun radio. Mereka mengeluh kepada Raja Abdul Aziz dan Sang Raja pun memanggi Si Sheikh itu.
‘’Menurut pendapat Anda,’’ Sang Raja bertanya, ‘’Berapa jauh setan bisa atau mau membawa firman Allah?’’
Si Sheikh tercengang. Ia tak mengerti apa yang dimaksud Sang Raja. Abdul Aziz pun bertanya lagi, ‘’Apakah setan akan mampu membawa firman Allah SWT dari sini ke Riyadh? Atau dari Riyadh ke mari?’’
Sheikh Abdullah jadi marah. ‘’Ya Abdul Aziz,’’ katanya, ‘’Anda bercanda tentu saja. Aku tahu dan Anda pun tahu, setan tak akan mungkin membawa firman Allah. Jangankan dari Mekah ke Riyadh atau dari Riyadh ke Mekah, satu potong ayat pendek pun tak mampu.’’
‘’Aku tak bercanda dengan Anda, wahai yang bijaksana,’’ sahut Sang Raja. Kemudian, sekali lagi, Sang Raja membawa Sheikh Abdullah ke stasiun radio. ‘’Aku telah minta kepada imam di Masjid Agung Riyadh untuk pergi ke stasiun radioku di kota itu. Dan, kuminta Anda mau mendengarkan apa yang akan diucapkannya.’’
Sheikh Abdullah menyimak dengan seksama. Beberapa menit kemudian ia mendengarkan lantunan ayat-ayat Alquran gemerisik di pesawat penerima.
‘’Betulkah ini Anda?’’ Ia bertanya lewat alat pemancar. Imam di Masjid Agung Riyadh, sahabat karibnya, lalu menjawab memang benar itu suaranya.
Sheikh Abdullah juga membacakan beberapa ayat suci Alquran. Sahabatnya di Riyadh mengatakan ia bisa mendengar suara itu dengan jelas, di jantung Najd sekitar 1200 km dari Mekah. Akhirnya, Sheikh Abdullah pun yakin. Mulai saat itu ia memberkati radio sebagai salah satu keajaiban dunia. Keajaiban Allah. Ulama lain pun mengikutinya.
Sepenggal kisah di atas saya kutip dari buku The Kingdom karya Robert Lacy terbitan 1981. Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya dengan judul ‘Kerajaan Petrodolar Saudi Arabia’ (cetakan pertama 1986). Kisah-kisah semacam ini ternyata serbaguna dan tepat guna.
Dengan cara yang mirip, hanya sedikit variasi di sana-sini, Raja Abdul Aziz pun berhasil membujuk kaum ulama untuk menerima modernisasi di Saudi, antara lain stasiun radio tadi, pesawat telepon, televisi, dan seterusnya. Namun, untuk itu, Sang Raja juga tidak jarang mengalah selangkah untuk kemudian maju beberapa langkah. Misalnya soal peringatan hari nasional — dimaksudkan untuk menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan kepada bangsa dan negara —, soal mendirikan sekolah, universitas, rumah sakit, hingga perempuan bekerja, menyetir mobil, dan seterusnya.
Dengan sikap para ulama Saudi seperti digambarkan pada diri Sheikh Abdullah pada kisah tadi, upaya modernisasi di Saudi memang sedikit lambat, terutama yang terkait dengan hak-hak kaum perempuan. Ia masih kalah jauh dengan negara-negara tetangganya di Teluk — Uni Emirat Arab (UEA), Kuwait, Qatar, Oman, dan Bahrain. Bahkan UEA kini mempunyai menteri termuda di dunia, versi Guinness Book of World Records. Dan, dia adalah perempuan. Namanya Shamma binti Suhail Faris Al Mazrui. Ketika diangkat menjadi menteri pemuda pada 2016 usianya baru 22 tahun.
Kendati demikian, proses modernisasi di Saudi tampaknya akan terus berlanjut meskipun lamban. Raja Abdullah bin Abdul Aziz (jadi raja 2005-2015) telah memperbolehkan perempuan bekerja, kuliah, dan menjadi anggota Dewan Syuro. Selanjutnya, Raja Salman yang sekarang telah mengeluarkan dekrit yang memperbolehkan perempuan menyetir mobil. Dekrit ini diyakini akan menjadi awal bagi pelonggaran berbagai peraturan lain yang selama ini dianggap membelenggu hak-hak dan kebebasan kaum perempuan Saudi. Tujuannya, menjadikan kaum perempuan mitra sejajar dengan kaum laki-laki untuk sama-sama membangun negeri.