Sabtu 29 Apr 2017 05:00 WIB

Meramal, Akal, Tawakal

Harri Ash Shiddiqie
Foto: dok.Istimewa
Harri Ash Shiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Harri Ash Shiddiqie *)

Macbeth bingung, tukang nujum meramal kelak ia menjadi raja. Begitulah karya yang ditulis William Shakespeare. 

Ramalan pertama telah menjadi fakta. Berkat keberhasilannya mengalahkan pemberontak, Raja Duncan menganugerahkan gelar dan menjadikan penguasa di Cawdor.

Paduka raja bermalam di kediamannya. Macbeth bingung, ragu. Raja sedemikian baik hati, kini membunuhnya? Tidak mungkin, ia tidak bisa. Tetapi istrinya, Lady Macbeth, yang berambisi menjadi ratu terus menggosok. Raja lalu dibunuh. Macbeth memang menjadi raja, tetapi kisah makin riuh karena bunuh membunuh berikutnya.

Apakah meramal hanya milik tukang nujum? Tidak. Sejak dulu para ilmuwan juga menduga, semacam meramal juga. Mereka menghitung-hitung kapan terjadi gerhana bulan, dan Edison menduga-duga pijaran filamen bola lampu listrik menjadi lebih tahan lama bila tegangan listriknya tinggi.

Tukang nujum menggunakan kemenyan, ilmuwan menduga berdasarkan teori, dilengkapi analisis, perhitungan fakta empiris dan rasional. Ah, agar elok, dugaan itu diberi nama indah : Hipotesa.

Awal abad 20, Edison masih hidup, Einstein sedang menyusun teori relativitasnya, Becquerel mendapat Nobel berkat radioaktif. Desain telekomunikasi gelombang radio telah menembus jarak, cuaca dan waktu. Mobil bertenaga bensin banyak berkeliaran, produksi pesawat terbang mulai diuji coba. Saat itu, ilmu fisika sepertinya hendak berkata : Apapun fenomenanya, kami bisa menjelaskannya.

Ada persamaan Maxwell tentang elektromagnet, siklus Otto dan Carnot juga sudah tersedia. Teori tentang  fluida, juga aerodinamika untuk pesawat yang mengangkasa juga sudah tertata. Apalagi? Bila sebuah planet atau komet sudah diketahui lokasi dan kecepatannya pada hari ini, bukankah ia sudah bisa ditentukan di mana keberadaannya seratus tahun kemudian? 

Muncul paham determinisme. Berdasar data masa lalu, sudah bisa ditentukan masa depannya. Itu berarti : Apa  yang sedang dipelajari mahasiswa, dimana ia belajar, seberapa prestasinya, sudah bisa ditentukan nasibnya  di masa depan. Selalu ada keterkaitan, sebab-akibat.

Di jaman itu, Freud-pun menyatakan, mimpi yang dialami seseorang adalah akibat dari sebab-sebab pengalaman masa lalu kehidupannya. Determinisme tumbuh di astronomi, fisika sampai mimpi.

Tak lama, tahun 1927 paham determinisme menabrak tembok ketika Heisenberg dalam Mekanika Kuantum menyatakan “Prinsip Ketidakpastian”.  Ini permulaan indeterminisme. Percobaan Heisenberg di laboratorium pada wilayah atomik tak bisa menentukan posisi dan kecepatan sebuah partikel. Ia hanya tahu kemungkinannya, probabilitas.  Tokoh sekaliber Einstein masygul, hampir-hampir ia tidak bisa percaya, muncul perkataannya yang terkenal : Tuhan tidak bermain dadu.

Tembok Heisenberg tak bisa diruntuhkan, indeterminisme berkembang, bahkan merambah pada nasib manusia.    Nasib tidak bisa ditentukan berdasar masa lalunya. Bisa saja seorang mahasiswa belajar di kedokteran,  ternyata menjadi artis. 

Dulu, agar menjadi bangsawan atau raja, harus dirunut menjadi prajurit lebih dulu, memimpin pasukan berperang, cakap dan menang, lalu diberi gelar bangsawan dan tanah kekuasaan, seperti yang dialami Macbeth. 

Indeterminisme mematahkannya, tak heran bila seorang artis film bisa jadi presiden, itu telah dibuktikan Ronald Reagan. Kini, ramai-ramai terjadi di Indonesia, wajah terkenal, bisa jadi politikus. Masih ingat dengan Ponari, dukun cilik dari Jombang? Andai saat itu ia dewasa dan ada pemilu, bisa jadi ada partai mengusungnya.

Menyedihkan, indeterminisme kebablasan banyak juga penganutnya. Menjadi wakil rakyat tak perlu wawasan luas dengan ijazah tinggi. Meski sekolah tak selesai, tak apalah pakai ijazah yang bisa dibeli.

Tidur dikenal dalam islam sebagai mati kecil. Mimpi yang terjadi di sana, oleh kaum determinis direduksi sebagai peristiwa sebab-akibat yang mekanistis (Freud adalah materialis yang mencampakkan agama, menyebutnya ilusi). Ilmu Psikologi memang berkembang, tapi ilmu tentang mimpi tak maju-maju (sampai ada yang berseloroh, adakah “pil” hebat, yang setelah meminumnya lalu mimpi indah bersama Marilyn Monroe?)

Selain Freud yang sombong dengan pendapatnya tentang mimpi, di masa kini juga muncul orang-orang yang meneriakkan kebebasan, termasuk bebas berpikir. Alquran ditafsirkan sebebas-bebasnya, sekehendaknya. 

Menurut mereka, Alquran hanya berlaku di tanah Arab dan di jaman sekitar 1500 tahun lalu. Mengarungi di negeri yang lain dan waktu yang lain, tafsirannya boleh lain. Pakaian misalnya, di negeri maju dan modern bernama Eropa tidak apa-apa Muslimah pakai rok, tak apa-apa bila duduk terlihat sedikit pahanya. Memakai ekstrapolasi pada hari ini di abad 21, juga tidak apa-apa memakai rok mini. Juga tetap tidak apa-apa bila di mushalla pinggir pantai seorang Muslimah menjadi imam shalat pakai bikini.

Kesombongan akal pikiran manusia bablas melabrak apa saja. Padahal, untuk kasus mimpi saja ia tak mampu mengolah dan mendesainnya. Alam sekitar manusia masih sangat misterius, gaib. Tubuh manusia menempati ruang, umurnya berkait dengan waktu, tetapi pikiran bisa menembus dimensi ruang-waktu, sesaat di bulan, sesaat berikutnya di wajah muslimah cantik di pegunungan. 

Adakah dimensi lain untuk pikiran, cinta dan ketakutan? Dunia (apalagi akhirat) tak memadai bila hanya dilihat dengan kacamata determinisme: sebab-akibat. Dan tetap tak memadai meski ditambah kacamata indeterminisme yang menyatakan probabilitas.

Manusia itu lemah, bahkan tak tahu secara pasti apa yang diusahakan esok ( QS.31:34). Setiap Muslim, di setiap saat, di setiap detik kehidupan, selalu memiliki urusan yang bergantung kepada Allah (QS. Al Ikhlas : 2). Itu menjadikan seorang muslim meneguhkan dirinya dengan tawakal, berserah diri kepada Allah, merasa tak mampu berbuat apa-apa, tak berdaya, tak punya kekuatan, bahkan tak punya kesadaran, bila Allah tidak mencurahkannya.

Tatkala bertawakal, tatkala berserah diri kepada Allah (islam), maka Allah dengan kasih sayang-Nya tetap terus mencurahkan rahmatNya berupa kesehatan, kekuatan, kemampuan. Otot yang bisa bergerak, mata yang bisa memandang, otak yang mampu menghitung. Berdasar anugerah rahmat atau kekuatan itu, seorang Muslim wajib berusaha maksimum sejauh kemampuannya (dalam Alquran dinyatakan dengan redaksi : Sungguh-sungguh; lihat QS.17:19), terus bergerak maju (QS. 3:159) agar kehidupannya menjadi lebih baik. Shalat lebih khusyuk, menciptakan generasi penerus yang lebih mulia, berjuang dan berdakwah agar keluarga, lingkungan dan bangsanya lebih islami. 

Seiring dengan upayanya yang maksimum itu, setiap saat sang Muslim tetap selalu berserah diri untuk mengabdi, ia makhluk yang tak punya apa-apa, tak bisa apa-apa, dan bukan apa-apa. Seluruhnya bergantung kepada Allah, kepada ketentuan Allah.

Tawakal itu berserah diri, berusaha dengan maksimum, bergerak maju sambil selalu tetap mengabdi, berserah diri. 

Ya, Allah jadikan hamba termasuk orang yang beriman dan setiap saat bertawakal kepada-Mu. Amin.

*) Dosen penyuka sastra dan teknologi, di Jember.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement