REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Gilang Akbar Prambadi, Wartawan Republika
Proyek membentuk tim sepak bola yang tangguh begitu ambisius digarap oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Kemampuan timnas mencapai partai final Piala AFF tahun 2016 seolah jadi pelatuk ambisi tersebut.
Wajar saja optimisme sangat membumbung di hati para pengurus PSSI. Prestasi menembus partai final kompetisi antarnegara ASEAN tentu tidak bisa dipandang sembarangan. Tak semua timnas bisa langsung berlari kencang hingga partai pamungkas dengan kondisi baru bangun dari pembekuan kegiatan oleh FIFA dua tahun lamanya.
Memulai ambisinya, PSSI merekrut pelatih dengan riwayat menjanjikan langsung dari Spanyol, Luis Milla. Pemain-pemain muda yang pernah sukses bersama timnas U-19 kembali dikumpulkan. Beberapa diantaranya diboyong masuk ke timnas U-22 dan diajak untuk ikut seleksi Garuda Senior.
Untuk melengkapi paket ambisi tersebut, pemain berdarah Manado yang lahir di negeri orang dipanggil pulang. Striker 19 tahun bernama Ezra Walian resmi jadi warga negara Indonesia lewat surat yang langsung ditandatangani Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.
Lengkap sudah semua persiapan yang dilakukan oleh PSSI. Tentunya, dorongan doa dan harapan dari masyarakat Indonesia juga turut serta mengiringi PSSI menggapai ambisinya tersebut.
Satu yang masyarakat inginkan. Andai memang prestasi hanya bisa diraih dengan cara yang tak instan, maka setidaknya timnas yang sekarang bisa memberikan hiburan. Dengan nahkoda yang berasal dari Spanyol, peningkatan dari segi permainan sangat masyarakat nantikan.
Timnas dengan kualitas permainan ala tiki taka Negeri Matador pun muncul di benak para pecinta sepak bola Tanah Air. Pamor Milla yang andal meramu skuat muda dengan pernah membawa Spanyol junior menjuarai Piala Eropa U-21 diyakini mampu mewujudkan impian tersebut.
Hingga kemudian semua bayangan itu tiba-tiba rusak saat menyaksikan timnas U-22 berlaga melawan Myanmar U-22 Selasa (21/3) lalu. Berharap melihat tiki taka, masyarakat justru disuguhi permainan timnas yang tak jauh dari kata istimewa. Minim kreativitas dan visi yang terbatas membuat Garuda Muda besutan Milla dipermak 1-3 di rumah sendiri.
Stadion Pakansari Cibinong, Kabupaten Bogor yang kala itu jadi medan laga pun seolah saksi dari tak sinkronnya ambisi dengan kenyataan di lapangan. Gaya tiki taka yang dipopulerkan klub raksasa La Liga Spanyol, Barcelona sama sekali tak terlihat saat itu rumput hijau.
Umpan-umpan lambung masih jadi senjata tumpul yang terus dipraktekkan. Operan dari kaki ke kaki tak terlihat di lapangan. Sektor belakang pun tak bisa membentuk perisai pertahanan yang bisa diandalkan. Jika boleh membandingkan, permainan timnas U-19 era emas racikan Indra Sjafri terus terang masih lebih menghibur. Tentunya juga, lebih tajam dan layak dibanggakan.
Kecewa? Sudah pasti! Tetap berharap? Tentu saja harus. Josep Guardiola saja kelimpungan mengurus tim dengan limpahan pemain berkualitas seperti Manchester City. Padahal, pelatih asal Spanyol itu masyhur dikenal dengan identitasnya sebagai juru taktik ahli tiki taka. Baik di Barcelona maupun Bayern Muenchen.
Semoga masyarakat paham dengan situasi yang Milla hadapi saat ini. Tentu tak ada yang instan. Tapi mempertanyakan wajah permainan yang tak juga berubah sesuai yang digemborkan tentu saja layak kita melontar tanya : Apanya yang Tiki-taka?