REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Andi Aulia Rahman *)
Pilkada DKI Jakarta memang selalu menjadi magnet bagi rakyat Indonesia. Hampir seluruh rakyat Indonesia (sekalipun tidak punya hak pilih) ikut merasakan atmosfer ketegangan akibat sengitnya kompetisi tersebut.
Di luar semua itu, mari sejenak kita bersyukur kepada Allah SWT bahwa pelaksanaan Pilkada DKI 2017 pada Rabu (15/2) berjalan dengan baik, lancar, dan damai.
Beberapa lembaga survei telah menyebarkan rilis hasil survei mereka kepada masyarakat diantaranya saya kutipkan Polmark (pasangan calon nomor urut 1 memperoleh 17,96 persen suara, paslon nomor urut 2 mendapatkan 42,27 persen, dan paslon nomor urut 3 mendapatkan 39,77 persen) atau SMRC (1:16,7 persen, 2:43,18 persen, dan 3:40,12 persen).
Dari hasil survey tersebut dapat kita simpulkan bahwa Pilkada DKI Jakarta (terpaksa) harus diselesaikan dalam dua putaran! Ahok-Djarot vs Anies-Sandi. Buat saya, pertarungan pilkada putaran kedua akan berlangsung dengan sangat sengit mengingat hasil putaran pertama menunjukkan sebetulnya suara pemilih ibu kota terkonsentrasi pada paslon nomor 2 dan nomor 3 dan bahkan tinggal sedikit saja menyentuh angka emas, yakni 50 persen plus satu suara.
Dengan asumsi bahwa pemilih Ahok-Djarot dan Anies-Sandi di Pilkada DKI Jakarta putaran pertama adalah pemilih yang loyal, maka tentu saja, pemenang Pilkada DKI Jakarta putaran kedua nantinya, mayoritas akan ditentukan oleh pilihan politik para pemilih Agus-Sylvi di putaran pertama.
Lantas pertanyaannya, kemanakah kira-kira suara Agus-Sylvi akan berlabuh? Menjawab pertanyaan tersebut tentu saja tidak bisa serta merta disimpulkan begini dan begitu. Dengan analisa yang masih tumpul ini, perkenankanlah saya menyebutkan beberapa fakta politik yang bisa kita gunakan untuk menganalisis pertanyaan tersebut.
Pertama, kasus Antasari-SBY. Polemik dua tokoh ini sungguh sesuatu yang menarik. Menarik karena polemik ini mengemuka di saat-saat menjelang hari H pencoblosan. Bagi sebagian masyarakat, terlepas dari benar atau tidaknya isu yang Antasari embuskan, menyimpulkan bahwa polemik ini sangat berkaitan dengan Pilkada DKI Jakarta. Dengan adanya polemik dalam kasus Antasari-SBY ini, suka atau tidak suka, memiliki efek yang cukup besar terhadap pilihan politik SBY, AHY, dan para loyalisnya dalam putaran kedua nanti. Dalam konteks ini, akan jatuh dan menguntungkan kepada Anies-Sandi.
Kedua, perseteruan Mega-SBY. Perseteruan dua mantan presiden kita ini tidak ada habisnya. Dimulai saat SBY memutuskan mundur dari jabatan Menkopolhukam Kabinet Gotong-Royong di bawah kepemimpinan Megawati pada 2004 untuk selanjutnya mencalonkan diri menjadi Presiden dan terpilih.
Hingga hari ini, kedua tokoh bangsa tersebut belum selesai berseteru dan bahkan selalu berada dalam posisi "berseberangan" dalam banyak hal, termasuk dalam Pilpres 2009, Pilpres 2014, dan banyak peristiwa politik lainnya. Kalau SBY dan para loyalisnya konsisten dengan “perseteruan” ini, maka bisa dipastikan bahwa pilihan politik sebagian pendukung Agus-Sylvi pada putaran kedua Pilkada DKI Jakarta akan jatuh kepada Anies-Sandi.
Ketiga, konfigurasi politik partai pendukung Agus-Sylvi di tingkat nasional. Hal ini menarik karena apabila kita melihat komposisi partai pendukung Agus-Sylvi saat ini, yaitu Demokrat, PPP, PAN dan PKB, hanya Demokratlah yang di tingkat nasional tidak berkoalisi dengan pemerintah (sebut saja: PDIP).
Selebihnya, PPP, PAN dan PKB adalah partai yang secara nasional adalah koalisi dari partai pendukung pemerintah yang secara bersamaan adalah partai utama pengusung Ahok-Djarot. Kalau saja pimpinan partai tingkat nasional ini menginstruksikan para kadernya di DKI untuk konsisten dengan koalisi nasional, maka bisa dipastikan suara sebagian kader partai yang diberikan untuk Agus-Sylvi di putaran pertama ini akan berlabuh kepada Ahok-Djarot di Putaran kedua.
Keempat, proses persidangan Ahok dalam kasus penistaan agama di PN Jakarta Utara. Fakta ini tidak dapat dipisahkan dalam menentukan pilihan politik sebagian pemilih Agus-Sylvi di putaran pertama ini nantinya. Berkaca kepada persidangan yang ada, seharusnya sebelum putaran kedua berlangsung pada 19 April nanti, putusan pengadilan tingkat pertama seharusnya sudah dibacakan oleh majelis hakim.
Menarik untuk dilihat dan ditunggu, kalau Majelis Hakim menyatakan Ahok bersalah dan dijatuhi hukuman pidana (walaupun masih bisa upaya hukum banding), maka hampir bisa dipastikan mayoritas suara pendukung Agus-Sylvi di putaran pertama ini akan berlabuh kepada Anies-Sandi di putaran kedua.
Alasannya sederhana, mereka tentu tidak rela apabila dipimpin oleh seorang terpidana (sekalipun nantinya putusan hakim masih bisa untuk dibanding ke Pengadilan Tinggi). Fakta ini berlaku sebaliknya dan tentu saja apabila Ahok dinyatakan bebas, maka akan meneguhkan hati para pemilih Agus-Sylvi untuk bermigrasi ke Ahok-Djarot.
Fakta-fakta politik diatas mungkin belum terlalu tajam analisanya dan cukup representatif untuk dipertimbangkan. Akan tetapi, saya meyakini bahwa fakta tersebut sedikit banyak akan menjadi pertimbangan para pemilih Agus-Sylvi untuk melabuhkan pilihan di putaran kedua nanti. Bisa jadi, dan bahkan sangat mungkin, ada fakta-fakta politik lain yang belum saya sebutkan dikarenakan analisa saya yang masih sangat tumpul ini. bahwa nantinya akan ada interest yang akan mempengaruhi pilihan di putaran kedua, itu adalah sesuatu yang sangat wajar.
Tetapi, satu hal yang menjadi doa saya: semoga para pemilih Agus-Sylvi yang nantinya akan bermigrasi di putaran kedua, menentukan pilihannya berdasarkan kompetensi dan program kerja calon. Bukan karena sekadar alasan irasional, walaupun itu sah-sah saja.
Wahai para pendukung Agus-Sylvi, jadi ke manakah suaramu nantinya (akan) berlabuh?
Selamat menentukan!
*) Ketua BEM UI 2015, Tinggal di Kebagusan, Jakarta Selatan