REPUBLIKA.CO.ID, Satu per satu janji-janji kampanye Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mulai dilaksanakan. Dari membangun dinding perbatasan dengan Meksiko, membatalkan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), keluar dari kemitraan perdagangan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP), hingga pelarangan warga Muslim dan sejumlah negara masuk ke AS. Janji-janji lain akan menyusul untuk dijadikan sebagai kebijakan.
Banyak pihak yang protes terhadap kebijakan Trump. Baik di dalam negeri maupun di luar AS. Namun, Trump tampaknya akan cuek bebek menanggapi berbagai protes itu. Lalu bagaimana bila Trump benar-benar mimindahkan kantor Kedutaan Besar (Kebubes) AS dari Tel Aviv ke Yerusalem sebagaimana janjinya semasa kampanye?
Sejak berdiri Negara Israel pada 1948, AS telah membuka kantor diplomatik di Tel Aviv, ibu kota Yahudi. Begitu juga negara-negara besar lain. Setahun sebelum Perang 1967 barulah mereka membangun perkantoran kedutaan yang luas di Tel Aviv, yang ditempati hingga kini. Beberapa tahun kemudian, mereka juga membuka kantor konsulat di Yerusalem. Tempatnya berpindah-pindah. Yang terakhir mereka menempati sebuah bangunan di lokasi yang disebut Garis Hijau. Yakni sebuah garis —garis-garisnya menggunakan warna hijau— yang memisahkan Yerusalem Barat dengan Yerusalem Timur.
Para pemimpin dan media Arab menyebut Yerusalem sebagai al-Quds al-Mukhtallah atau Yerusalem yang dijajah. Makna yang dimaksud adalah Yerusalem Timur. Bukan seluruh Yerusalem. Pada Perang 1967, Israel berhasil menduduki (baca: menjajah) sejumlah wilayah Arab, termasuk Yerusalem Timur. Lalu pada 1980, Israel mendeklarasikan seluruh Yerusalem sebagai Ibu Kota kesatuan Israel.
Pengakuan itu kemudian menuai kecaman masyarakat internasional. Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bahkan mengeluarkan resolusi untuk mengutuk aneksasi Israel terhadap Yerusalem Timur ini. Mereka menganggap Israel telah melanggar hukum internasional.
Penggunaan istilah al-Quds al-Mukhtallah oleh para pemimpin dan media Arab adalah untuk mengingatkan kepada dunia bahwa Yerusalem Timur bukan bagian dari Negara Yahudi. Ia adalah wilayah Palestina yang dijajah Zionis Israel. Bangsa Palestina memandang Yerusalem Timur merupakan ibu kota masa depan negara mereka. Sikap bangsa Pelestina ini juga telah diakui masyarakat internasional.
Karena masalah yang sangat sensitif ini, hingga sekarang tidak ada satu pun dari 86 negara yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel menempatkan kedutaan besarnya di Yerusalem. Semua Kedubes berada di Tel Aviv. Termasuk El Salvador dan Costa Rica, yang sebelum tahun 1980 membuka kedutaan di Yerusalem. Namun, kedua negara di Amerika Latin itu pada 2006 telah memindahkan kedutaan mereka ke Tel Aviv.
Menurut pengamat Timur Tengah, Abdurrahman al Rasyid, pernah ada peluang Yerusalem Timur kembali ke pangkuan bangsa Palestina. Sayangnya, lanjut al-Rasyid dalam artikelnya di media al-Sharq al-Awsat, peluang itu telah ‘disia-siakan’ oleh delegasi yang dipimpin almarhum presiden Yasir Arafat. Waktu itu, pada 2000, sedang dirancang Perundingan Camp David. Yang terakhir ini tak ada hubungannya dengan Perjanjian Camp David 1978 yang dipimpin presiden AS Jimmy Carter, yang mempertemukan Presiden Mesir Anwar Sadat dengan PM Israel Manachem Begin.
Perundingan kali ini dipimpin presiden AS Bill Clinton dan mengundang presiden Palestina Yasir Arafat dan PM Israel Ehud Barak. Waktu itu, Clinton menawarkan gagasan yang ‘moderat’ untuk mencari solusi konflik Palesina-Israel. Gagasan itu adalah mengembalikan 90 persen wilayah Tepi Barat dan 100 persen wilayah Gaza kepada bangsa Palestina. Kedua wilayah itu lalu dihubungkan dengan jalan cepat/tol di bawah kekuasaan Negara Palestina Merdeka bebas senjata.
Dalam gagasan Clinton itu termasuk dikembalikannya Yerusalem Timur, berikut kompleks al-Haram al-Syarif yang di dalamnya terhadap Masjidil Aqsa dan Kubah Shakhrah. Namun, tidak termasuk Kampung Yahudi dan Tembok Ratapan, yang akan berada di bawah pengawasan lembaga internasional.
Namun, tanpa sebab yang jelas, presiden Arafat akhirnya tidak menghadiri perundingan itu. Sebagai gantinya, ia mengutus sebuah delegasi ke Washington dan menyampaikan penolakan atas gagasan Clinton. Menurut al-Rasyid, gagasan yang sebenarnya ‘masuk akal’ itu kini akan sulit diulang. Diduga, penolakan presiden Arafat waktu itu lantaran mendapat perlawanan dari kelompok-kelompok garis keras Palestina dan juga sejumlah pemimpin negara-negara di Timur Tengah. Sementara di Israel, Ehud Barak kalah telak dalam Pemilu 2001 karena tekanan keras kelompok-kelompok ekstrem di negaranya.
Sejak itu —dan berlangsung hingga kini—, kondisi Yerusalem Timur dan juga wilayah-wilayah Palestina yang diduduki Israel semakin memburuk. Yahudisasi tempat-tempat bersejarah terus berlangsung. Bagian-bagian Tempat Suci Islam dirusak. Para warga Palestina diusir paksa dari rumah dan tanah mereka. Bahkan Israel —lewat perdana menterinya, Benjamin Netanyahu— telah berani melawan resolusi DK PBB yang mengecam dan menuntut penghentian pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina.
Keberanian para pemimpin Israel itu tentu tidak terlepas dari sikap dan pernyataan Presiden Trump yang sejak kampanye sudah terang-terangan membela kepentingan Israel. Menjelang pelantikan sebagai presiden, Trump pun menegaskan akan menganulir resolusi DK PBB yang disahkan di akhir jabatan Barack Obama sebagai presiden. Dalam resolusi yang mengecam pembangunan pemukiman Yahudi di tanah Palestina ini, AS bersikap netral alias absen.
Bukan hanya berani melawan kehendak masyarakat internasional, para pemimpin Israel juga semakin semena-mena. Lihatlah, pekan lalu Pemerintah Israel telah mengumumkan akan membangun 3.000 rumah baru di wilayah Tepi Barat yang didudukinya. Pengumuman ini merupakan yang ketiga kalinya sejak Trump bersinggasana di Gedung Putih. Sebelumnya, mereka juga telah menegaskan akan membangun 2.500 rumah Yahudi di Jalur Gaza dan 560 rumah di wilayah Palestina yang didudukinya di Yerusalem Timur.
Lalu bagaimana bila Presiden Trump -sebagaimana janji kampanyenya- benar-benar memindahkan Kedubes AS ke Yerusalem? Bila itu terjadi, bisa dipastikan Presiden Trump telah menabuh genderang perang di Timur Tengah. Kawasan yang selalu panas oleh berbagai konflik itu akan semakin membara.
Pemindahan Kedubes AS ke Yerusalem akan menjadi bukti bahwa AS mengakui Yerusalem sebagai Ibukota Israel. Ini berarti Presiden Trump melanggar kesepakatan internasional yang dicapai 70 tahun lalu. Pemindahan Kedutaan AS ini juga dianggap sebagai sinyal efektif tentang berakhirnya upaya untuk mendamaikan Israel dan Palestina. Dan, ini berarti ia telah mengobarkan perang di Timur Tengah.
Karena itu, presiden-presiden sebelumnya tidak ada yang berani memindahkan Kedubes AS ke Yerusalem. Meskipun, Kongres AS pada 1995 telah mengeluarkan undang-undang untuk memindahkan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Undang-undang ini tidak pernah dijalankan para Presiden AS sebelumnya, khawatir akan menyulut perang besar di Timur Tengah yang bisa merugikan kepentingan AS sendiri. Apalagi, dari dahulu hingga sekarang konflik Palestina/Arab-Israel dianggap sebagai induk segala konflik di kawasan.