Senin 16 Jan 2017 21:27 WIB

Debat Publik Pilkada, Siapa yang Paling Kinclong?

Red: M.Iqbal
Dosen Fisipol Universitas Jambi Mochammad Farisi
Foto: Dokpri
Dosen Fisipol Universitas Jambi Mochammad Farisi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mochammad Farisi *)

Debat pasangan calon kepala daerah yang berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) selalu menarik untuk diikuti. Meskipun tidak dapat dimungkiri biasanya debat hanya menarik bagi khalayak yang berpendidikan menengah ke atas dan wilayah perkotaan.

Namun, seiring dengan massifnya pemberitaan mengenai politik beberapa tahun belakangan ini, masyarakat mulai melek politik dan memberikan penilaian positif bahwa debat merupakan langkah baru dalam percaturan politik Indonesia. Bahwa melalui debat ini para netizen dapat melihat dan mempelajari karakter, tampang, kecerdasan, dan kemampuan, pengalaman serta program yang dilontarkan calon. 

Masyarakat harus aktif mengikuti jalannya debat untuk mencatat dan memberikan penilaian dari debat tersebut sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan pilihan, apakah calon pantas atau tidak menjadi kepala daerah lima tahun ke depan. 

Debat pilkada dapat diartikan adu argumen antara para calon tentang visi dan misi serta program kerja lima tahun ke depan. Debat yang berkualitas adalah debat yang menyajikan data ilimiah, tidak normatif tetapi solutif melalui program-program yang masuk akal dengan indikator pencapian yang terukur. 

Misalnya dalam hal pendidikan, calon harus tahu berapa jumlah TK, SD, SMP, SMA, jumlah guru, bagaimana kualitas guru, kondisi sarana dan prasarana sekolah, kesejahteraan guru dan segudang permasalahan lainnya. Dengan begitu mereka dapat membuat program solutif disesuaikan dengan kondisi keuangan daerah dengan indikator pencapaian yang terukur pada tahun pertama sampai tahun kelima. 

Debat adalah bagian dari kampanye, yang merupakan komunikasi politik untuk merebut hati masyarakat. Untuk itu diperlukan keterampilan berkomunikasi (communication skills), pengetahuan yang mendalam tentang materi/tema, sikap jujur, dan menawan. Dalam konteks komunikasi politik, seorang calon dituntut memiliki daya tarik (attractiveness) untuk memengaruhi pemilih, misalnya cara berbicara yang sopan, murah senyum, cara berpakaian yang rapi dan postur tubuh yang ideal, hal itu akan menimbulkan daya simpati bagi pemilih pemula khususnya para gadis dan ibu rumah tangga.

Keterampilan berkomunikasi dalam istilah politik sering disebut retorika, yaitu teknik atau seni dalam memilih kata-kata yang dapat memengaruhi khalayak. Pada saat debat, kemampuan beretorika berarti calon harus dapat berbicara jelas supaya mudah dimengerti, singkat untuk menghemat waktu, efektif, dan mengesankan artinya memiliki pengaruh atau efek pada khalayak. 

Berdasarkan pengalaman penulis saat menjadi moderator debat, para calon memiliki waktu sangat terbatas untuk menjelaskan visi dan misinya. Untuk itu kemampuan beretorika sangat penting dikuasai misalnya; tidak perlu mengatakan yang terhormat bapak A, B, C, dst.

Cukup hadirin dan masyarakat yang saya hormati. Jangan berbicara terlalu cepat perhatikan tempo dan intonasi suara, perhatikan penunjuk waktu untuk mengatur panjang pendek jawaban, tunjukkan rasa percaya diri dan semangat tapi jangan overconfident, tampil dengan penuh pesona, wajah berseri dan jujur.

Dalam debat, semua perilaku anda akan diperhatikan oleh masyarakat, mulai dari penampilan, gerak tubuh, dan tingkah laku. Pemilihan pakaian yang serasi, elegan, dan sederhana memberikan kesan positif bagi masyarakat. Gerak tubuh, tangan, dan bahu yang rileks saat berbicara serta senyum yang tulus akan menguatkan simpati rakyat. Tingkahlaku yang sopan ditunjukkan dengan berjabat tangan dan pelukan kecil di awal dan di akhir debat menunjukkan kerendahan hati.

Tujuan beretorika dalam debat adalah mempengaruhi pemirsa untuk memilihnya. Cara merebut hati masyarakat sebenarnya tidak sulit, pelajari isu-isu apa saja yang menjadi pokok persoalan di masyarakat (misalnya kestabilan harga perkebunan, infrastuktur jalan, pelayanan publik, dll). Kemudian analisis dan buat ide-ide atau terobosan yang solutif. 

Sewaktu menjadi tim ahli debat pilkada 2015 tidak sedikit tim sukses yang menghubungi penulis dan bertanya bocoran soal pertanyaan dalam debat. Tentu penulis menolak secara halus dan mengatakan bahwa selama visi, misi dan program memang dibuat oleh sang calon dan betul-betul hadir sebagai solusi dari permasalahan masyarakat, calon tidak akan kesulitan menjawab pertanyaan dalam debat.

Retorika sudah berkembang sejak abad ke 5 SM di kalangan kaum Yunani dengan mengajarkan pengetahuan tentang politik dan pemerintahan khususnya kemampuan berpidato. Georgias tokoh sofisme Yunani mengatakan bahwa “kebenaran suatu pendapat hanya dapat dibuktikan jika tercapai kemenangan dalam pembicaraan”. 

Untuk itu tidak tabu dalam suatu debat mengkritik program calon lain, yang dirasa tidak masuk akal, tidak menjelaskan langkah konkret atau hanya di tataran teori dan terkesan normatif saja. Untuk menggairahkan suasana debat justru para calon harus menampilkan keunggulan diferensiasi program. Jangan menghindari debat dan boleh saling serang tapi tetap santun dan beretika.

Apakah debat memengaruhi pemilih? Studi-studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa dabat tidak banyak mempengaruhi pemilih, kecuali bagi massa yang belum menentukan pilihan (undecided atau swing voters). Pada umumnya pemilih telah menetapkan pilihan sebelum dilakukan kampanye, sehingga sebenarnya debat hanya mempertegas pilihan masyarakat saja. 

Penilaian siapa yang menang dan kalah debat tergantung para pendukung masing-masing calon. Namun begitu, acara debat pilkada menurut penulis tetap penting ditradisikan untuk membuat demokrasi Indonesia semakin sehat dan berkualitas serta mengetahui bagaimana karakter, integritas, dan komitmen masing-masing calon.

*) Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jambi 

 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement