Selasa 11 Oct 2016 16:47 WIB

Mendamba Kepala Daerah yang Antikorupsi

Red: M.Iqbal
 Mochamad Farisi, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jambi
Foto: Dokpri
Mochamad Farisi, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jambi

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Mochammad Farisi, SH., LL.M, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jambi, Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi

Menarik melihat hasil jajak pendapat yang diselenggarakan salah satu media cetak nasional periode 28-30 September 2016 yang lalu terkait pelaksanaan otonomi daerah dan kinerja pemerintahan daerah. Dari temuan penelitian yang dilakukan di 14 kota besar di Indonesia, ternyata masalah korupsi menjadi persoalan yang paling penting atau mendesak diatasi di daerah saat ini (33,6 persen).

Setelah korupsi, secara berturut-turut masalah yang masih ditemukan, yaitu birokrasi yang berbelit (11,9 persen), pajak yang bertambah (9,3 persen), infrastuktur (8,6 persen), lapangan pekerjaan (7,1 persen), ekonomi/kesejahteraan (6,9 persen), keamanan (4,5 persen), sosial, yaitu pendidikan dan kesehatan (3,8 persen), dan lainnya. Berdasarkan jajak pendapat, 68,5 persen responden juga menyatakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah juga dianggap belum berhasil mendorong munculnya pemerintahan yang bersih dari korupsi.

Wajar bila masyarakat menyatakan bahwa korupsi menjadi masalah utama pembangunan di daerah. Tak tanggung-tanggung berdasarkan data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri menyatakan sebanyak 294 orang kepala daerah terjerat kasus korupsi dan diperkirakan jumlahnya akan meningkat hingga 300 orang pada akhir 2013.

Sementara berdasarkan Laporan Tahunan KPK 2015, sejak 2004-2015 terdapat 17 gubernur dan 49 bupati/walikota dan wakilnya terjerat kasus korupsi. Persoalan korupsi di daerah biasanya terkait penyalahgunaan wewenang dan jabatan.

Kekuasaan penyelanggaraan pemerintahan dalam beberapa situasi disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan/atau kelompok tertentu. Area korupsi yang biasa dimainkan begitu beragam.

Pertama, politisasi birokrasi, yaitu kepala daerah menggunakan kriteria politis dari pada kriteria berbasis merit system dalam memilih pejabat SKPD. Kedua, pengelolaan perizinan terkadang ditunggangi praktek pemburu rente dari oknum pejabat daerah.

Dan ketiga kebijakan anggaran, yaitu praktik mengarahkan anggaran di luar kepentingan rakyat dalam penyusunan dan pelaksanaan APBD.

Biaya pilkada dan korupsi

Bila kita mundur ke belakang, mengapa banyak kepala daerah yang terlibat kasus korupsi? karena biaya saat mengikuti pilkada sangat tinggi bahkan sampai harus berutang kepada pemodal besar. Pada akhirnya setelah sang calon terpilih, dia harus memberikan imbalan berupa kemudahan-kemudahan perizinan dan kuota proyek yang terkoneksi dengan dengan kepala daerah atau parpol.

Inilah biang dari perbuatan korupsi kepala daerah. Berdasarkan data litbang Kementerian Dalam negeri atas pendanaan pilkada serentak 2015, menunjukkan biaya yang dikeluarkan pasangan calon untuk pilkada tingkat kabupaten/kota bisa mencapai Rp 15 miliar hingga Rp 30 miliar.

Penulis coba sedikit mengilustrasikan untuk apa saja biaya yang mencapai miliaran tersebut. Misalnya pilkada di Kabupaten Muaro Jambi, terdapat 150 desa dan lima kelurahan, berarti akan ada 155 orang yang menjadi koordinator atau ketua tim sukses untuk tiap-tiap desa.

Bila satu koordinator mendapat dana Rp 10 juta saja, maka calon akan merogoh kocek Rp 1,55 miliar. Biaya tersebut baru digunakan untuk perkenalan saja belum lagi untuk menggerakkan mesin partai, membuat kaos, kampanye terbuka, mengundang artis, dan lain-lain.

Biaya miliaran yang tersebut diatas penulis perkirakan bisa makin membesar di pilkada serentak 2017. Ini karena UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan bahwa pasangan calon kepala daerah diizinkan menambah alat peraga kampanye (APK) dengan batasan yang ditentukan selain yang sudah ditanggung oleh negara.

Dengan semakin besarnya pengeluaran kampanye menambah kekhawatiran akan semakin memicu korupsi bila sang calon menang dan menjadi kepala daerah. Logika sederhananya, kepala daerah baru tersebut harus mengembalikan modal yang telah dikeluarkan dalam proses pilkada.

Permasalahannya pendapatan resmi kepala daerah sangat kecil. Plus dengan tunjungan hanya Rp 5,6 juta–Rp. 8,7 juta, sehingga yang bersangkutan akan mencari segala macam cara untuk menutupi kebutuhan dana segara.

Sehingga tak heran praktik-praktik korupsi tidak dapat dielakkan lagi. Biaya politik yang terlalu tinggi dan tidak seimbang dengan pemasukan resmi ini akan membuat calon yang mengeluarkan banyak uang pasti akan mengijonkan posisinya nanti untuk ditukar dengan berbagai izin atau pengadaan barang.

Jadi orang bijak

Seorang tokoh Henry George Bohn mengatakan “orang bijak belajar dari kesalahan orang lain, sedangkan orang bodoh belajar dari kesalahan mereka sendiri”.

Praktik-praktik korupsi kepala daerah sudah banyak terendus oleh KPK. Dan seperti kita tahu sudah banyak pula kepala daerah yang dipenjarakan.

Untuk itu, kita semua mulai dari penyelenggara pamilu, partai, pasangan calon kepala daerah, dan rakyat harus menjadi orang bijak. Sederhananya dengan mengoptimalkan pengawasan dan audit laporan dana kampanye calon kepala daerah serta membangun iklim saling mengawasi dan mau melaporkan kepada Badan Pengawas Pemilu bila ada indikasi terjadi pelanggaran di setiap tahapan pilkada.

Masyarakat juga harus cerdas dengan memilih calon kepala daerah yang punya track record dan perspektif antikorupsi. Mereka bercirikan mau melaporkan secara jujur Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), memiliki dana kampanye paling kecil, melaporkan secara jujur dan terbuka laporan dana kampanye, tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of interest) dengan pengusaha/pemodal besar, mempunyai program nyata tentang transparansi akuntabilitas kinerja pemda dengan menerapkan teknologi penopang birokrasi seperti e-budgeting, e-purchasing system, e-catalog dan pajak online.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement