Kamis 01 Sep 2016 14:38 WIB

Pesan-Pesan Haji (Bagian 1)

Ustaz Shamsi Ali
Foto: Agung Supriyanto/Republika
Ustaz Shamsi Ali

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Imam Shamsi Ali*

Salah satu penyakit yang seringkali menjangkiti umat ini adalah penyakit 'at-tab'idh'. Sebuah penyakit yang menjangkiti umat dan berakibat kepada berbagai paradoks dalam hidupnya.

Penyakit at-tab'idh termanifetasi dalam ragam bentuk. Satu di antaranya adalah memilah-milah ajaran ini ke dalam ruang-ruang yang berbeda. Artinya, penyakit ini, tidak sampai kepada mengingkari sebagian ajaran Islam. Tapi, berpandangan jika masing-masing aspek ajaran itu 'terputus' (disconnected) antara satu dengan yang lainnya. Padahal sejatinya, ajaran Islam itu adalah sebuah ajaran yang bersifat utuh, lengkap, dan saling terikat.

Haji sebagai misal adalah satu dari rukun Islam yang lima. Kewajiban yang seumur sekali ini diyakini oleh seluruh anggota umat sebagai kewajiban 'aini' (fardi) yang mengikat jika persyaratan-persyaratannya telah terpenuhi.

Seluruh rangkaian praktik ritual ibadah haji, sesungguhnya memiliki kaitan dengan nilai-nilai kehidupan sosial dalam Islam. Dengan kata lain, ajaran haji sebagai aspek ubudiyah Islam berkaitan dekat dengan nilai sosial kehidupan sebagai aspek mu'amalah Islam.

Masalahnya kemudian adalah penyakit at-tab'idh tadi menjadi pemutus keterkaitan itu. Seolah haji tidak lebih dari rangkaian formalitas ritual yang selesai dengan selesainya tawaf wada'. Akibatnya, di saat jamaah telah kembali ke tempat asal masing-masing, mereka merasa kehidupannya kembali seperti biasa. Tidak terjadi perubahan positif apapun.

Ironisnya, karena sering kali haji diidentifikasi dengan hitungan pahala, maka makna kemabruran dalam haji tidak memiliki signifikansi sosial. Perilaku jamaah bahkan bisa menjadi lebih buruk karena haji dianggap penghapus dosa, sekaligus tameng untuk melakukan dosa lainnya. Apalagi, ketika haji dianggap prestise sosial, maka pelaku haji boleh jadi menumbuh suburkan 'arogansi sosial' yang sangat berbahaya.

Miniatur hidup

Haji sesungguhnya adalah gambaran lingkaran hidup manusia itu sendiri. Seluruh rangkaian praktik ritual haji menggambarkan perputaran hidup manusia, dari kelahiran hingga kematian. Dengan kata lain, haji sejatinya 'rewinding' (memutar kembali) kehidupan untuk penyegaran dan penyadaran sekaligus tentang hidup yang sesungguhnya.

Haji dimulai dengan ihram. Ihram tidak lain adalah 'niat' ibadah haji itu sendiri. Penamaan khusus niat haji atau umrah ini bukan berarti tidak memiliki makna.

Ihram berarti kesucian. Dengan kesucian itulah 'perjalanan' haji dimulai. Dan dengan kesucian (fitrah) semua manusia memulai perjalanan hidupnya. Karena memang hidup adalah perjalanan dari sebuah titik poin menuju kepada titik poin yang sama.

Maka, memulai ihram di miqat yang telah ditentukan itu, merupakan 'penyegaran' fitrah kemanusiaan di saat kita dilahirkan. (Bersambung)

* Presiden, Nusantara Foundation & Muslim Foundation of America

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement