Jumat 15 Jul 2016 07:58 WIB

Terorisme: Musuh Bersama Manusia (Bagian 3-Habis)

Red: M Akbar
Ustaz Shamsi Ali
Foto: Agung Supriyanto/Republika
Ustaz Shamsi Ali

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali (Presiden Nusantara Foundation)

Pada bagian sebelumnya disebutkan betapa keadilan menjadi pilar keamanan. Ketidakadilan dalam berbagai sisi hidup manusia, khususnya politik dan ekonomi, telah menjadi akar utama dalam kemarahan mereka yang terzalimi. Kemarahan yang diekspresikan inilah tanpa pertimbangan rasionalitas dan moralitas, membawa destruksi besar dalam kehidupan. Dan ini pulalah yang lazimnya disebut "teror".

Demikian pula dengan penafsiran literal, atau penafsiran yang sarat dengan kepentingan sesaat, seringkali justeru menumbuh suburkan sentimen amarah yang tidak terkontrol. Ayat-ayat yang mengeritik tentang prilaku sebagian "Bani Israel" dalam Alquran misalnya seringkali ditafsirkan sebagai "permusuhan abadi" dengan orang-orang Yahudi.

Padahal kritikan itu bukan pada kelompok orang tertenu, melainkan prilakunya sebagian di antara mereka. Bahkan, jika ternyata prilaku yang demikian ada pada umat ini maka kritikan itu berlaku justru bagi umat ini. (Baca >> Terorisme: Musuh Bersama Manusia)

Ketiga, umat ini harus bersatu dan tegas dalam oposisi terhadap terorisme. Sebagaimana ditegaskan di awal tulisan ini, terorisme adalah antitesis dari segala "kebajikan". Anti Tuhan, anti rasul, anti agama, anti keadilan dan kemanusiaan, bahkan pintu neraka. Hal ini seharusnya menjadi alasan yang jelas jika terorisme adalah musuh bersama umat ini.

Saya sadar bahwa dalam penafsiran teks-teks agama maupun dalam memahami isu-isu yang berkembang dalam dunia kita, termasuk dunia perpolitikan, ada perbedaan-perbedaan di antara umat ini dalam melihatnya. Saya menilai hal ini wajar dan alami. Sebab ikhtilaf atas masalah-masalah khilafiyaat adalah alami. Jika dipaksakan untuk disatukan tentunya akan melahirkan ketidak alamian dalam beragama.

Namun demikian, saya yakin seyakin-yakinnya, terorisme adalah kegelapan yang jelas mengancam semua manusia. Oleh karenanya tidak mungkin ada dua Muslim atau kelompok Muslim yang berbeda pendapat dalam hal ini. Bahwa terorisme tidak saja tidak memiliki agama. Tapi musuh agama yang harus dijadikan musuh bersama.

Saya juga ingin mengatakan bahwa peperangan terhadap terorisme tidak perlu memakai embel-embel "tetapi". Kita mengutuk terorisme....tetapi...Lalu berbagai alasan kita ungkapkan seolah terorisme kemudian mendapat pembenaran pada akhirnya.

Ambillah sebagai misal. Kita mengutuk terorisme, tetapi semua itu karena Amerika dan Barat. Saya ingin melihat kejahatan dan kejahatan lainnya ditempatkan saja dalam satu ember yang sama. Keburukan Amerika dan Barat dalam hal kebijakan luar negerinya jangan menjadi alasan seolah terorisme kemudian mendapat justifikasi. Kejahatan adalah kejahatan dan kebaikan adalah kebaikan. Kejahatan tidak boleh dibenaran karena adanya kejahatan lain.

Empat, membangun kerjasama kemanusiaan.

Sebagaimana judul tulisan ini, bahwa terorisme adalah musuh manusia bersama maka melawan terorisme juga harus menjadi perlawanan manusia secara bersama-sama. Terorisme adalah musuh bersama. Oleh karenanya harus bersama dalam memeranginya.

Dunia kita adalah dunia global. Dunia yang diikat oleh "interkoneksi" (interconnectedness) yang sangat kuat. Tidak seorangpun atau sekelompok orangpun yang mampu melakukan tugas dunia. Bahkan tidak oleh negara super power sekalipun.

Kecepatan informasi dengan kecanggihan teknologi telekomunikasi menjadikan dunia kita semakin sempit. Bahkan sesunguhnya kita semua hidup dalam satu atap yang sama. Tinggal memilih satu dari dua pilihan. Bersama-sama memelihara rumah bersama (shared home) ini. Atau sebaliknya saling mencakar hingga rumah ini ambruk dan hancur.

Oleh karenanya umat ini harus mampu berada di garda terdepan untuk menbangun "kerjasama kemanusiaan" termasuk menghadapi "kejahatan terorisme" dunia saat ini. Dan kita memiliki segala justifikasi keagamaan untuk membangun kerjasama ini. Bukankah Allah menyampaikan:

"Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang wanita. Lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal..." (Al-Hujurat:13).

Kata kunci pada ayat itu adalah "wahai manusia...." Dan "saling mengenal". Bahwa untuk terbangunnya dunia yang damai, adil dan sejahtera, diperlukan kesadaran "Bhinneka tunggal ika". satu keluarga kemanusiaan dengan keragaman yang banyak.

Tapi keragaman itu dapat menjadi potensi positif besar di saat dibangun di atas "ta'aruf" (saling mengenal). Atau dalam bahasa lainnya manusia diharapkan membangun sikap dan komitmen "care and share" di antara mereka. Sikap dan komitmen inilah yang harus dibangun dalam menghadapi bahaya laten terorisme di mana saja. Semoga.

New York, 13 Juli 2016

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement