Senin 30 May 2016 06:00 WIB

Makna Pelukan Paus dengan Sheikh Al Azhar

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Inilah fakta sejarah. Lebih dari seribu tahun Al Azhar merupakan rujukan mayoritas umat Islam di seluruh dunia. Utamanya Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Termasuk ketika Kesultanan Turki Usmani mencapai puncaknya. Saat Istanbul jadi pusat pemerintahan Kekhalifahan Islam yang kekuasaannya menjangkau separuh dunia.  

Pada waktu itu pun Al Azhar tetap tak kehilangan sinarnya. Ratusan atau bahkan ribuan pemuda Muslim dari Asia dan Afrika pergi ke Al Azhar menuntut ilmu. Para khalifah Usmani silih berganti memerintahkan orang-orang Turki sendiri belajar ke Al Azhar. 

Sejak pertengahan abad ke-20 bahkan Al Azhar juga mengirimkan para ‘pasukan’ dakwah ke berbagai penjuru dunia. Terutama ke negara-negara yang ada komunitas Muslimnya. Mereka diterima dengan baik di setiap negara tujuan. Ini tidak terlepas dari posisi Al Azhar sebagai pengibar Aswaja.

Yang terakhir itu perlu digarisbawahi lantaran Aswaja selalu mengedepankan sikap moderat (washatiyah), toleran (tasamuh), kasih sayang (rahmatan lil alamin), damai (as salam), dan modern (al ‘ashry/berkemajuan). Sikap seperti ini tidak akan pernah menimbulkan persoalan, resistensi, ataupun konflik horizontal.

Ideologi Aswaja diterjemahkan Al Azhar dengan mengajarkan perbandingan mazhab. Utamanya empat mazhab yang jadi rujukan -- Syafi’i, Hambali, Hanafi, dan Maliki. Imam Besar (Grand Sheikh) Al Azhar, Prof Dr Mahmud Syaltut, pada 1959 bahkan memperbolehkan Mazhab Ja’fari diajarkan di Al Azhar. Mazhab Ja’fari merupakan rujukan pengikut Syiah.

Sikap seperti itu telah menjadikan Al Azhar sebagai institusi yang inklusif. Terbuka terhadap hal-hal baik. Dari mana pun sumbernya. Dari Barat sekali pun. Para guru besar Al Azhar banyak yang lulusan dari universitas terkemuka di Barat. Termasuk Grand Sheikh Al Azhar sekarang, Dr Ahmad Tayib. Ia adalah doktor dari Universitas Sorbonne, Perancis.

Semua itu perlu dijelaskan, untuk memberi makna di balik pelukan Sheikh Al Azhar Dr Ahmad Tayib dengan Paus Fransiskus di Vatikan beberapa hari lalu. Sebuah pelukan yang mengisyaratkan cairnya ketegangan kedua institusi yang telah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir ini.

Media al Sharq al Awsat menyebutkan, Al Azhar merupakan pihak yang selalu ingin menjalin hubungan baik dengan Vatikan. Jalinan hubungan ini telah berlangsung pada 1950-an dan mencapai puncaknya setelah Konsili Vatikan II (1962-1965). Juga pada masa Paus Yohanes Paulus II. Namun, hubungan kedua institusi mulai renggang pada masa Paus Benediktus XVI. 

Gara-garanya, ketika memberi kuliah umum di Universitas Regensberg, Jerman, pada 2006, ia tiba-tiba menghujat Islam. Katanya, mengutip pernyataan Kaisar Byzantium Manuel II Paleologus (Kaisar Kristen Ortodoks), ‘‘Tunjukkan kepadaku apa kabar baru yang dibawa Muhammad, dan kalian akan menjumpai hal-hal yang tidak manusiawi, sebagaimana perintahnya menyebarkan dengan pedang agama yang dipeluknya.’’

Ketika Al Azhar meminta penjelasan dari Benediktus, ia tak menanggapinya. Bahkan pada 2011, ia menuai kritikan lebih tajam dari umat Islam menyusul pernyataannya ‘strategi kekerasan yang mengincar umat Kristen’. Pernyataannya ini dinilai telah mendiskreditkan umat Islam, menyusul serangan bom di luar gereja di Kota Iskandariyah, Mesir. 

Untungnya, penerus Benediktus, Paus Fransiskus dikenal lebih moderat dan terbuka. Sejak duduk di tahta Vatikan pada 2013, ia sangat menjaga perasaan umat Islam. Ia juga tidak latah menjadi Islamophobia. Bahkan ia menerima dengan baik para pengungsi dari Suriah di kantornya.

Ia juga selalu menyerukan untuk diakhirinya kekerasan di negara-negara Arab dan Islam. Baginya, Islam adalah agama besar dengan jumlah pemeluk yang besar pula. Ia juga menginginkan hubungan baik dengan umat Islam dan institusi-institusinya. 

Sejak masa Fransiskus itu, hubungan kedua institusi pun mulai terjalin kembali. Puncaknya, ketika Sheikh Al Azhar berkunjung ke Vatikan atas undangan Paus Fransiskus. Kata Sheikh Al Azhar, kunjungannya ke Vatikan ‘sebagai upaya menyebarkan persatuan dan perdamaian dunia’.

Pertemuan itu diawali dengan pelukan, disusul saling memberi hadiah, diteruskan dengan bincang-bincang. Mereka bersepakat menyelenggarakan konferensi internasional demi menciptakan perdamaian dunia. Ketika ditanya komentarnya mengenai pertemuan ini, Fransiskus hanya mengatakan, ‘‘Pesannya adalah pertemuan ini.’’

Dari Vatikan Sheikh Al Azhar pergi ke Paris untuk menghadiri konferensi ‘Dialog Barat-Timur’. Pada pembukaan konferensi yang dihadiri para tokoh penting -- agamawan, budayawan, akademisi, dan politisi --, Sheikh Al Azhar menyampaikan kuliah umum menyangkut hubungan Timur-Barat. 

Sheikh Al Azhar menegaskan penjajahan Israel terhadap Palestina dan yahudisasi tempat-tempat suci di Jerusalem merupakan penyebab utama ketegangan hubungan Timur-Barat. Karena itu, ia menuntut agar masalah Palestina segera diselesaikan secara adil dan menyeluruh.

Tentang kehidupan antarumat beragama dan identitas bangsa-bangsa, Sheikh Al Azhar membedakan antara globalisasi (al ‘ulimah) dan internasionalisasi (al ‘alamiyah). Baginya, globalisasi justru menambah persoalan. Bukan penyelesaian. Globalisasi mengandung makna dominanisasi. Ia pun menyerukan untuk menggantinya dengan internasionalisasi, yang bermakna perdamaian, keadilan, dunia ilmu pengetahuan, kesetaraan, dan penghargaan satu sama lain.

Ia melihat globalisasi -- karena mengandung makna pemaksaan (dominanisasi) -- telah menyebabkan ketegangan di antara kompok-kelompok masyarakat. Munculnya gerakan Islamophobia, menurutnya, merupakan bagian dari gerakan globalisasi ini, lantaran ada semacam pemaksaan dari kelompok dominan.

Karena itu, menurutnya, gerakan globalisasi telah mempersulit membaurnya kelompok-kelompok minoritas di tengah dominasi mayoritas. Di negara-negara Barat misalnya, akibat dari Islamophobia yang muncul lantaran gerakan globalisasi, telah menyebabkan ‘perlawanan’ dari kelompok-kelompok Muslim sebagai upaya mempertahankan identitas. 

Padahal, boleh jadi, mereka merupakan generasi kedua atau ketiga yang lahir dan besar di negara-negara tersebut. Karena itu mereka seharusnya juga diperlakukan sama dan setara dengan kelompok-kelompok lain, terutama kelompok dominan (mayoritas). Hal yang sama tentu juga harus berlaku untuk kelompok-kelompok minoritas lain. Seperti umat Kristiani di negara-negara Timur Tengah, Rohingya di Myanmar, dan sebagainya.

Sheikh Al Azhar lalu mencontohkan pengalaman Rasulullah SAW ketika mebentuk negara di Madinah yang tertuang dalam Piagam Madinah. Yaitu sebuah negara modern yang menjamin pluralitas masyarakat. Sebuah negara yang mengatur hak dan kewajiban yang setara di antara kelompok-kelompok masyarakat. Semua negara semustinya bisa mencontoh Piagam Madinah ini.

Di sinilah urgensi pertemuan Sheikh Al Azhar dengan Paus di Vatikan dan kunjungannya ke Paris. Yang satu adalah pemimpin tertinggi Al Azhar. Sebuah lembaga besar Islam yang bisa dikatakan kiblat dan wakil dari Ahlu as Sunnah wal Jamaah, yang dianut oleh mayoritas umat Islam. Yang lainnya adalah pemimpin tertinggi Katolik.

Pertemuan kedua pemimpin kelompok besar warga dunia ini -- jumlahnya melebihi separoh penduduk bumi -- diharapkan bisa mengurangi ketegangan yang berlangsung saat ini. Termasuk bagaimana memerangi kelompok-kelompok radikalis dan teroris yang telah menjadi ancaman perdamaian masyarakat internasional. 

 

 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement