Selasa 16 Jun 2015 07:02 WIB

Mari Budayakan Eksekusi

Red: M Akbar
ilustrasi manajemen
Foto: pixabay.com
ilustrasi manajemen

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mukhlis Yusuf (Konsultan Manajemen)

Bila Anda dihadapkan pada pertanyaan: tahap mana yang paling sulit, menyusun atau mengeksekusi strategi perusahaan atau organisasi? Jawaban atas pertanyaan itu biasanya bervariasi. Terkadang, ditentukan juga oleh ukuran atau bidang bisnis dan organisasi.

Kebanyakan forum manajemen yang kami fasilitasi memilih jawaban eksekusi lebih sulit dan lebih menantang ketimbang formulasi atau perencanaan strategi. Mengapa demikian? Padahal, bila kita gagal merencanakan berarti kita sudah merencanakan kegagalan?

Bahkan dalam ilmu sipil, gagal merencanakan dan menghitung struktur bangunan atau jembatan dengan akurat, justru yang direncanakan adalah proses terjadinya kehancuran bangunan atau jembatan. Bukankah demikian?

Dalam banyak kasus, kerap kami temui penyebab kesulitan dalam eksekusi atau implementasi strategi organisasi atau perusahaan bukan disebabkan oleh buruknya perencanaan. Kesulitan yang muncul justru banyak disebabkan oleh hal yang teramat sederhana.

Penyebab sederhana itu adalah kita gagal menindaklanjuti semua keputusan yang telah ditetapkan pimpinan atau manajer organisasi atau perusahaan. Energi kita seperti kurang darah untuk mentindaklanjuti semua kesepakatan dalam rapat-rapat manajemen. Kita kerap berperilaku saling mengandalkan. Andal-andalan, begitulah istilah lapangannya.

Kadangkala, kita juga luput menyepakati siapa penanggungjawab setiap keputusan yang telah diambil (person in charge/PIC). Kita juga kerap luput menentukan tenggat waktu atau target waktu dari keputusan yang telah diambil (due date).

Lebih sering lagi, pimpinan atau manajer tidak rajin menjalankan fungsi Plan-Do-Check-Act (PDCA) untuk memastikan inisiatif agar dituntaskan, meski PIC dan due date telah ditetapkan.

Eksekusi lebih banyak membutuhkan proses kepemimpinan agar efektif. Kadang ada tensi, air mata, ketegangan, bahkan demo karyawan dan kesalahpahaman antaranggota tim. Tak jarang juga hal itu terjadi pada pimpinan dengan karyawan dan anggota timnya.

Belum lagi, dalam berbagai kasus BUMN, aturan-aturan dalam tata kelola dan administrasi yang super ketat, dapat melibatkan diri kita dalam masalah hukum. Padahal langkah itu dilakukan untuk tujuan baik, sesuai dengan misi dan strategi perusahaan.

Kasus terakhir, Dahlan Iskan, mantan CEO PLN ditetapkan menjadi tersangka oleh Kejaksaan Agung. Ia dituding melanggar proses administrasi pembebasan lahan dalam pembangunan gardu PLN yang sedang giat membangun. Kita hargai proses hukum dengan prinsip praduga tak bersalah.

Kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas. Sahabat saya, Sandiaga Uno, menambahkan satu lagi: kerja ikhlas. Saya menyimpulkannya menjadi kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, dan kerja tuntas, 4 AS.

Soal disiplin menjalankan fungsi manajemen berbasis PDCA, saya terkesan pada PT. Astra International, Tbk. Mereka telah sukses mengadopsi budaya eksekusi dan implementasi secara efektif. Mereka menjadikan value-based leadership berbasis Catur Dharma dalam Astra Management System.

Program peningkatan kompetensi telah menjadi program yang dijalankan secara intensif pada berbagai level manajemen. Semuanya dikemas melalui program yang dirancang Astra Management Development (AMD) dengan melibatkan para mitra spesialis melalui standar yang ketat.

Esensi kepemimpinan dapat kita maknai "get the right things done", menjalankan hal yang benar menurut para pemimpin. Itulah kerja tuntas. Tak ada prajurit yang bodoh, melainkan jenderal yang malas. Sebagaimana halnya juga, tak ada karyawan atau anggota tim yang tak kompeten, melainkan pimpinan yang salah memilih dan malas melatihnya.

Sekarang, mari kita melihat sumberdaya manusia kita. Sudahkah kita memiliki anggota tim organisasi atau perusahaan yang tepat?

Bila sudah, giatlah bergerak dan menuntaskan keputusan yang telah ditetapkan. Bila belum, rasanya lebih bijak jika kita mengakui bahwa boleh jadi kita jangan-jangan perlu pengembangan dan lebih berdisiplin diri. Boleh jadi, jangan-jangan kita justru menjadi bagian dari masalah dan bukan bagian dari solusi.

Sebab, budaya eksekusi selalu dimulai dari role model dalam menggerakkan roda eksekusi. Boleh jadi harus dimulai dari Anda, bukan orang lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement